Cari Berita

Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan

Dr. Boedi Haryantho S.H. M.H. - Dandapala Contributor 2025-02-09 09:00:40
Dr. Boedi Haryantho, S.H.,M.H.

UU Kepailitan di Indonesia tidak memberikan perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Lalu bagaimana seharusnya?

Kepailitan merupakan suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor yang ditujukan untuk membagi harta tersebut untuk membayar utang-utang debitor kepada para kreditornya secara pari passu atau berimbang, kecuali ada kreditor yang memiliki hak istimewa untuk didahulukan. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.

Kepailitan terhadap suatu subjek hukum baik perseorangan (natuurlijke persoon, individual insolvency) maupun badan hukum atau perusahaan (rechtspersoon, corporate insolvency) dapat terjadi jika beberapa persyaratan yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat terpenuhi, antara lain minimal ada dua kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Persyaratan tersebut tanpa membedakan apakah debitor hanya sekedar tidak bersedia membayar kreditornya karena adanya alasan-alasan tertentu, misalnya jika kreditor tidak melaksanakan prestasi yang telah diperjanjikan sebelumnya, atau memang benar debitor sudah dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utang nya tersebut (insolven).

Memperhatikan syarat kepailitan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut, sedangkan hukum kepailitan dalam hal ini sama sekali tidak melarang dan mengatur mengenai kemungkinan dipailitkannya debitor yang masih memiliki kekayaan yang masih cukup untuk membayar utang-utangnya. Hal ini dapat merugikan perusahaan yang sebenarnya masih dalam keadaan solven pada saat Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan pailit. Kondisi tersebut bisa terjadi karena Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia mengatur demikian.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut tidak mensyaratkan kondisi atau hal lain selain dua hal tersebut, termasuk tidak mensyaratkan solvabilitas debitor. Hal ini berarti bahwa apabila hakim hanya menggunakan parameter dua hal tersebut, maka tidak dapat disalahkan dan bahkan telah melaksanakan ketentuan undang-undang. Bahkan dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengharuskan hakim untuk mengabulkan permohonan pailit tersebut.

Penerapan hukum kepailitan dalam hal ini Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 oleh hakim pengadilan niaga secara legistis, tekstual dan sinkronis, dapat menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks serta menciptakan suatu ketidakadilan untuk kasus tertentu, seperti dalam kasus-kasus kepailitan terhadap debitor yang sangat solven dalam kasus kepailitan tersebut di atas. Di sinilah perlunya pembatasan untuk kasus tertentu. Oleh karena itu, solvabilitas perusahaan harus dipertimbangkan oleh hakim yang memutus permohonan pailit.

Landasan Filosofis Tidak Diberlakukannya Insolvency Test di Indonesia

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 cenderung lebih memudahkan kreditor dalam mengajukan permohonan pailit. Permohonan dengan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta diketahui debitor memiliki dua kreditor permohonan pengajuan pailit dapat langsung diterima serta diputuskan oleh hakim. Selain itu, disertai prinsip pembuktian sederhana membuat debitor semakin mudah untuk dipailitkan. 

Debitor susah untuk membela diri dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Kondisi keuangan debitor tidak dipandang sebagai pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Hal ini seringkali dipandang sebagai asal mula terjadinya ketidakadilan bagi debitor karena permasalahan antara kreditor dan debitor dalam perkara kepailitan terkadang bukan disebabkan oleh alasan debitor tidak mampu membayar tapi debitor tidak mau membayar karena ada sengketa perdata mengenai pelaksanaan perjanjian antara debitor dan kreditor.

Secara filosofis terjadi ketidakadilan terhadap debitor, khususnya terhadap debitor yang berada dalam keadaan keuangan sehat dan memiliki aset jauh lebih besar dari pada utangnya. Kondisi keuangan debitor yang sehat dan usaha yang prospektif tidak dapat dijadikan alasan untuk hakim menolak permohonan pailit. 

Dalam hukum kepailitan di Indonesia, pada umumnya terjadi hanya untuk pemenuhan unsur jumlah kreditor lebih dari satu dan keadaan gagal bayar (tidak membayar) salah satu utang yang jatuh tempo, maka keadaan tersebut dapat dimohonkan pailit, pemenuhan unsur ini seringkali tidak melihat keadaan debitor apakah solven (mampu membayar) atau insolvensi. Hal ini karena dasar diterima atau ditolaknya permohonan pailit di Indonesia hanya didasarkan pada sistem pembuktian sederhana terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) terkait pembuktian sederhana yang hanya menyandarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) terkait persyaratan dapat tidaknya debitor dipailitkan justru berisi aturan yang sangat longgar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit karena tidak adanya pengujian apakah benar seorang debitor telah dalam keadaan tidak mampu (insolvency test). 

Tidak diaturnya insolvensi test untuk menentukkan kepailitan di Indonesia adalah berkaitan dengan asas actori incumbit probitio yang dianut dalam hukum pembuktian di Indonesia. Asas tersebut terdapat dalam Pasal 163 HIR yang bermakna, barangsiapa yang mendalilkan hak maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut. 

Berkaitan dengan hal tersebut Ricardo Simanjuntak berpendapat bahwa hukum acara perdata di Indonesia menganut asas actori incumbit probitio sehingga apabila insolvensi tes diterapkan maka pemohon pailit harus bisa membuktikan termohon pailit berada dalam keadaan insolvensi. Atas kondisi tersebut akan menjadi semakin rumit jika pemohon tidak bisa untuk mengakses laporan keuangan termohon.

Tidak diaturnya insolvensi tes dalam hukum kepailitan di Indonesia erat kaitannya dengan sistem pembuktian di dalam Hukum Kepailitan Indonesia menerapkan prinsip pembuktian sederhana. Pembuktian secara sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir. Pembuktian sederhana merupakan suatu syarat absolut yang membatasi kewenangan dari pengadilan niaga dalam upaya membuktikan apakah seorang debitor yang dimohonkan pailit tersebut terbukti mempunyai sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta tidak dapatnya debitor tersebut untuk melunasi utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut. 

Adanya prinsip pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan di Indonesia inilah yang menjadi alasan tidak diterapkannya insolvensi tes di Indonesia. Adanya ketentuan untuk membuktikan terlebih dahulu seorang debitor benar-benar insolvent atau yang lazim disebut insolvency test akan mengakibatkan pemohon pailit dibebani kewajiban membuktikan bahwa usaha termohon sudah kolaps, modalnya di bawah 50 persen, dan terus tergerus utang. Masalah ini akan dibuktikan di pemeriksaan awal, semacam dismissal process di Pengadilan Tata Usaha Negara. Keberadaan insolvensi tes akan membuat pembuktian tidak lagi dapat dilakukan dengan sederhana karena masih harus dilakukan beberapa tahapan.

Perlindungan Hukum Terhadap Debitor Solven Yang Beritikad Baik

Itikad baik dalam perkara kepailitan ini tidak hanya berupa “niat” atau “keinginan” semata tetapi niat dan keinginan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata berupa hal-hal yang mengarah untuk melakukan pembayaran utang debitor kepada kreditor. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Jadi itikad baik dapat dilihat dari dua aspek yaitu; aspek subyektif dimana itikad baik tersebut masih bersifat “niat” atau “will” atau kehendak dan aspek obyektif, dimana itikad baik bersifat “act” atau “tindakan” yang dapat menimbulkan hubungan hukum.

Hal yang perlu untuk diperhatikan dalam perkara kepailitan adalah adanya itikad buruk yang tidak hanya datang dari debitor tetapi juga dari kreditor. Proses kepailitan digunakan oleh kreditor yang beritikad buruk untuk mengancam debitor yang tidak mau membayar utangnya, bukan karena tidak mampu (unable) untuk membayar utangnya, bahkan yang nilai tagihannya tidak sebanding dengan nilai aset yang dimiliki termohon, karena dalam UU Kepailitan di Indonesia, tidak adanya persyaratan minimum utang yang dijadikan dasar pengajuan permohonan pailit. 

Salah satu tujuan hukum kepailitan seperti yang disebutkan di atas yaitu melindungi debitor yang jujur dan beritikad baik dari para kreditornya. Debitor yang dianggap masih punya prospek dan itikad baik untuk meneruskan usahanya bisa mendapatkan bantuan dana baru sehingga dapat melanjutkan perusahaannya kembali. Hal ini karena ketidakmampuan debitor membayar utang tidak selalu karena kesalahan debitor sendiri dan apabila debitor tersebut diberi kesempatan akan dapat bangkit kembali meneruskan kegiatan usahanya dan mampu membayar utang-utangnya.

Debitor yang beritikad baik dalam kepailitan adalah debitor yang tidak menyalahgunakan keadaan pailit sebagai sarana untuk menguntungkan dirinya sendiri, bersedia membukakan secara jujur tentang keberadaan seluruh hartanya dan utang-utang lainnya serta kooperatif dalam mengusahakan pembayaran utang-utangnya. Oleh karena itu, meskipun digolongkan sebagai hukum kepailitan modern, pelaku bankkruptcy fraud yang dengan sengaja menggunakan peristiwa kepailitan untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain masih tetap dianggap sebagai suatu kejahatan terhadap harta benda dan dijatuhi hukuman pidana.

Sampai dengan saat ini Undang-Undang Kepailitan yang berlaku tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Perlindungan hukum secara preventif yang diberikan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya diberikan setelah terjadinya putusan pailit melalui sarana perdamaian. Atas kondisi tersebut asas itikad baik serta asas solvabilitas dapat menjadi landasan bagi debitor yang sebenarnya masih solven untuk memperoleh perlindungan.

Hakikat penerapan asas solvabilitas adalah memberikan perlindungan hukum bagi debitor yang solven terhadap kreditor beritikad buruk yang hendak menyalah gunakan instrumen hukum kepailitan untuk keuntungan dirinya sendiri maupun keuntungan pihak lain, misalnya kreditor yang sengaja mempailitkan debitor dengan niat ingin mendapatkan aset debitor dengan harga murah melalui lelang dan lain-lain. 

Penggunaan instrumen hukum kepailitan untuk tujuan-tujuan yang menyimpang dari hakikat tujuan hukum kepailitan oleh pihak- pihak yang bertitikad tidak baik harus dapat dicegah dengan penataan dan penyempurnaan aturan kepailitan itu sendiri. 

Asas solvabiltas semestinya menjadi landasan bagi hakim pada saat hendak memutus  permohonan pailit. Sebelum memutus perkara terlebih dahulu Majelis Hakim harus melakukan penilaian terhadap usaha debitur apakah layak untuk dijatuhi pailit atau masih dapat diperbaiki. Hal ini memiliki koherensi dengan ketentuan Passal 1131 KUHPerdata yang menempatkan harta debitor yang mengalami pailit sebagai jaminan umum bagi para kreditornya, sehingga dengan demikian akan menjadi tidak relevan secara filosofis apabila debitor yang sebenarnya masih solven namun kemudian dipailitkan. Hal tersebut berkaitan erat dengan kondisi bahwa dengan adanya kepailitan apabila jumlah harta debitor lebih besar dari hutangnya maka tidak akan terjadi perebutan harta debitor oleh para kreditor karena dengan jumlah harta yang lebih besar akan menjamin semua kreditor memperoleh pelunasan. 

Perubahan pola pikir serta analisis dari para hakim Niaga dalam hal ini mutlak diperlukan guna memberikan perlindungan hukum bagi debitor solven yang beritikad baik. Adapun perlindungan hukum tersebut dapat dilaksanakan dengan cara bahwa hakim niaga tidak telampau kaku dalam menerapkan syarat-syarat kepailitan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tetapi  dalam memutus perkara kepailitan majelis hakim niaga juga wajib menggali nilai-nilai keadilan, kewajaran dan kepatutan yang ada didalam masyarakat. Keberadaan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 seyogyanya telah memberikan celah bagi Hakim Pengadilan Niaga untuk melakukan suatu terobosan hukum, yaitu dengan cara menerapkan ketentuan-ketentuan hukum tak tertulis namun dianggap mampu memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang berperkara.

Jika ketentuan ini dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami, nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka oleh undang-undang Hakim dibebani tugas sebagai legislator judgé maka sesungguhnya penerapan asas solvabilitas acara pemeriksaan sederhana dalam koridor permohonan pailit masih dapat dilakukan dengan menggunakan ketentuan Pasal 8 ayat (6) tanpa perlu mengubah ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 

Konstruksi tersebut di atas merupakan saran untuk memberikan perlindungan hukum represif bagi debitor. Dalam pembuktiannya, itikad baik debitor wajib dibuktikan oleh Hakim sepanjang terdapat penolakan dari debitor atas permohonan permyataan pailit yang diajukan kreditornya dengan alasan dirinya masih solven, sehingga selain debitor harus membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitor, diukur dari perbandingan rasio utangnya dengan assetnya.

Kesimpulan

Landasan filosofis tidak diberlakukannya insolvensi tes dalam undang-undang kepailitan di Indonesia adalah, pertama, pembuktian dalam perkara perdata di Indonesia dibebankan pada pihak yang mendalilkan adanya suatu hak. Dalam hal ini tidak mudah untuk membuktikan pihak debitor berada dalam kondisi insloven apabila debitor bukan perusahaan publik. Kedua, begitu mudahnya untuk berutang di Indonesia sehingga apabila insolvensi tes diterapkan di Indonesia akan berpotensi merugikan banyak kreditor karena pembuktiannya tidak lagi dapat dilakukan secara sederhana. 

Undang-Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum preventif bagi debitor solven yang beritikad baik pada saat sebelum dijatuhkan putusan pailit. Perlindungan hukum terhadap debitor solven yang beritikad baik dapat diperoleh secara represif dengan membuktikan di hadapan persidangan bahwa debitor masih dalam kondisi solven. 

Dalam pembuktiannya, itikad baik debitor wajib dibuktikan oleh Hakim sepanjang terdapat penolakan dari debitor atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan kreditornya dengan alasan dirinya masih solven, sehingga selain debitor harus membuktikan solvabilitasnya, Hakim juga harus membuktikan itikad baik debitor, diukur dari perbandingan rasio utangnya dengan assetnya. (Boedi Haryantho)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum