Dalam
sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system),
pelaksanaan putusan pengadilan bukan hanya sekedar akhir dari proses hukum,
melainkan awal dari proses pembinaan kembali terpidana. Di sinilah kita harus
memahami peran strategis Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat) berada,
dalam sejarah hukum acara pidana Indonesia, peran Hakim Wasmat pertama kali
diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP Lama).
Secara
historis, pembentukan Hakim Wasmat didasari oleh semangat agar pengadilan tidak
“lepas tangan” setelah palu diketuk oleh Majelis Hakim, melainkan turut
memastikan bahwa pemidanaan berjalan sesuai dengan tujuan permasyarakatan.
Namun, dalam perkembangannya, peran Hakim Wasmat dirasa perlu diperkuat untuk
menjawab tantangan zaman dan kompleksitas pemidanaan modern.
Kehadiran
KUHAP Baru menawarkan pembaruan yang signifikan dibandingkan dengan KUHAP Lama.
Secara filosofis, pergeseran pengaturan dalam KUHAP Baru dari Pasal 353 sampai
dengan Pasal 359 menunjukkan transisi dari pengawasan yang bersifat
administratif pasif menjadi pengawasan yang bersifat substantif-kolaboratif.
Baca Juga: Jalankan Wasmat, PN Sibolga Blusukan Pastikan Pelaksanaan Putusan Pidana
Jika
dalam KUHAP Lama Pasal 277, tugas Hakim Wasmat difokuskan pada pengawasan
pelaksanaan putusan pidana perampasan kemerdekaan semata, KUHAP Baru memperluas
pengawasan secara lebih luas yang mencerminkan filosofis pemidanaan yang bukan
lagi sekedar pembalasan (retributif), melainkan juga rehabilitatif dan
restoratif.
Penguatan
pertama yang paling terlihat terdapat pada aspek kelembagaan dan kuantitas.
Pada KUHAP Lama, Pasal 277 hanya menyebutkan adanya hakim (tunggal) yang diberi
tugas khusus. Sementara itu, Pasal 353 ayat (1) KUHAP Baru secara tegas
mengamanatkan bahwa pada setiap pengadilan harus ada paling sedikit 3 (tiga)
Hakim yang diberi tugas khusus sebagai Hakim Wasmat.
Peningkatan
jumlah hakim ini bukan tanpa alasan, hal ini adalah bentuk pengakuan secara
tidak langsung bahwa beban kerja pengawasan pemidanaan membutuhkan atensi yang
lebih besar dan kolektif, bukan sekedar tugas tambahan yang dibebankan pada 1 (satu)
orang hakim saja.
Perluasan
wewenang juga terlihat nyata pada objek pengawasannya. Dalam KUHAP Lama, fokus
utamanya adalah “pidana perampasan kemerdekaan”. Sebaliknya, KUHAP Baru Pasal
353 ayat (1) memperluas mandat pengawasan mencakup putusan yang menjatuhkan
pidana pokok, pidana tambahan, pidana yang bersifat khusus, dan tindakan.
Perluasan ini sangat penting karena mengingat perkembangan hukum pidana modern
(KUHP Baru) mengenal beragam jenis sanksi, termasuk sanksi tindakan dan pidana
khusus yang memerlukan pemantauan ketat agar tujuan hukum tercapai tanpa
melanggar hak asasi terpidana.
Aspek
kolaboratif dan transparansi menjadi poin pembeda yang revolusioner dalam KUHAP
Baru. Pasal 353 ayat (4) KUHAP Baru mewajibkan Hakim Wasmat untuk melibatkan
pihak lain yang terkait dengan proses penegakan hukum. Pihak-pihak tersebut
meliputi Penyidik, Advokat (selaku mewakili kepentingan Terpidana dan
keluarganya), Pembimbing Kemasyarakatan, Korban tindak pidana, hingga
kementerian di bidang keuangan untuk urusan perampasan barang. Pelibatan korban
dan advokat dalam tahap eksekusi putusan pidana ini tidak ditemukan secara
eksplisit dalam KUHAP Lama, hal ini menandakan adanya pergeseran ke arah
transparansi dan perlindungan hak asasi manusia yang lebih komprehensif.
Secara
mekanisme administrasi juga mengalami pengetatan dalam rangka menjaga
akuntabilitas. Dalam KUHAP Lama Pasal 278, Jaksa hanya mengirimkan tembusan
berita acara pelaksanaan putusan kepada pengadilan. Namun, dalam Pasal 354 ayat
(2) KUHAP Baru, Jaksa diwajibkan mengirimkan tembusan tidak hanya kepada
pengadilan, tetapi juga kepada Penyidik, Advokat, dan Korban tindak pidana. Hal
ini memberikan akses informasi yang lebih berimbang bagi semua pihak,
memastikan bahwa korban mengetahui status pelaku dan advokat dapat memantau
kliennya, sehingga meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang dalam proses
eksekusi.
Dari
sisi fungsi pengamatan, Pasal 356 KUHAP Baru mempertahankan esensi dari Pasal
280 KUHAP Lama, yaitu pengamatan untuk bahan penelitian demi ketepatan
pemidanaan yang bermanfaat yang diperoleh dari perilaku narapidana atau
pembinaan lembaga permasyarakatan.
Namun,
KUHAP Baru mempertegas bahwa pengamatan ini tetap dilaksanakan bahkan setelah
terpidana selesai menjalani pidana, serta berlaku pula bagi pemidanaan
bersyarat. Hal ini menegaskan bahwa tanggung jawab negara melalui pengadilan
tidak berhenti saat narapidana keluar dari gerbang penjara, melainkan berlanjut
pada proses reintegrasi sosial.
Hubungan
hukum antara Hakim Wasmat dan Lembaga Permasyarakatan juga diatur lebih rigid.
Pasal 357 KUHAP Baru mewajibkan Kepala Lembaga Permasyarakatan menyampaikan
informasi secara berkala mengenai perilaku narapidana kepada Hakim Wasmat.
Lebih jauh lagi, Pasal 358 KUHAP Baru membuka ruang diskusi (musyawarah) antara
Hakim Wasmat dan Kepala Lembaga Permasyarakatan mengenai cara pembinaan
narapidana tertentu jika dipandang perlu. Ketentuan ini serupa dengan Pasal 281
dan 282 KUHAP Lama, namun dengan dukungan struktur “tiga hakim” dan pelibatan
pihak eksternal, kualitas “pembicaraan” atau rekomendasi yang dihasilkan
diharapkan lebih bernilai dan berdampak.
Salah
satu penguatan akuntabilitas yang signifikan adalah pada mekanisme pelaporan.
KUHAP Lama Pasal 283 hanya menyebutkan bahwa hasil pengawasan dilaporkan kepada
ketua pengadilan “secara berkala” tanpa batasan waktu yang spesifik.
Ketidakjelasan ini sering kali membuat fungsi Hakim Wasmat menjadi formalitas
belaka. KUHAP Baru memperbaiki kelemahan ini melalui Pasal 359 yang secara
tegas mengatur bahwa laporan hasil pengawasan dan pengamatan wajib disampaikan
kepada ketua pengadilan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Ketentuan waktu yang
spesifik tersebut mengatur agar Hakim Wasmat untuk bekerja secara aktif dan
rutin, bukan hanya kegiatan insidentil.
Secara
keseluruhan, perubahan pengaturan Hakim Wasmat dalam kUHAP Baru merefleksikan
semangat pembaruan hukum yang menempatkan pengadilan sebagai garda terakhir,
tidak hanya dalam memutus perkara, tetapi juga dalam menjamin pelaksanaan
putusan yang manusiawi dan efektif. Perluasan objek pengawasan, penambahan
personal hakim, serta pelibatan korban dan masyarakat sipil (advokat) adalah
langkah maju untuk mencegah praktik-praktik yang tidak diperkenalkan secara
aturan hukum.
Sebagai
kesimpulan, Pasal 353 sampai dengan Pasal 359 KUHAP Baru bukan sekedar
penyalinan ulang dari KUHAP Lama, melainkan sebuah transformasi fundamental.
Transformasi ini mengubah wajah Hakim Wasmat dari sekedar “pengawasan
administratif” menjadi “pengawas substantif” yang proaktif dalam proses
peradilan pidana. Dengan demikian, diharapkan tujuan pemidanaan yang
sesungguhnya, yakni memasyarakatkan kembali terpidana dan memberikan rasa
keadilan bagi korban dapat terwujud secara nyata. (ldr)
Tulisan merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga.
Referensi
[1] Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Baca Juga: Pastikan Pelaksanaan Putusan, PN Sidikalang Laksanakan Wasmat ke Lapas
[2] Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Naskah Final Paripurna)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI