Cari Berita

Menyelisik Sejarah Adagium Lebih Baik Membebaskan 1000 Orang Bersalah Daripada Menghukum 1 Orang Tidak Bersalah

Raja Bonar Wansi Siregar - Dandapala Contributor 2025-05-03 16:25:50
Dok. Redaksi

Hakim merupakan profesi yang mulia atau sering disebut "Nobile Officium". Ini dikarenakan Hakim merupakan figur sentral dalam menegakan hukum dan keadilan. Bahkan dalam ruang lingkup hukum pidana, nasib seorang Terdakwa ditentukan oleh ketukan palu Hakim.

Dalam dunia peradilan, tentu kita tidak asing lagi dengan adagium yang mengatakan "Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah". Adagium ini memiliki nilai yang sangat mendalam, bagi seorang Hakim. Tentu itu wajar, dikarenakan di tangan Hakimlah hukuman seseorang ditentukan.

Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara pidana, Hakim didasarkan pada alat bukti yang diajukan ke persidangan, sehingga tidak ada kewajiban bagi Hakim untuk menyatakan setiap Terdakwa yang diperiksa, terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Inilah sebabnya, mengapa tugas dari seorang Hakim adalah untuk mengadili setiap Terdakwa yang diajukan ke persidangan dan bukan untuk menghukumnya.     

Baca Juga: Hakim: Bukan Sekadar Pengadil, Tetapi Juga A Healer

Dalam kasus tertentu, Hakim bisa diperhadapkan pada kasus yang minim pembuktian. Adanya adagium tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman (guidance) bagi Hakim dalam menentukan keyakinan, apakah Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana atau tidak. Namun tahukah anda, sejak kapan adagium tersebut mulai dikenal?

Seorang Filsuf dari Inggris bernama William Blackstone yang dalam hukum pidana dikenal dengan rasio Blackstone, dalam bukunya Commentaries on the Laws of England (1765-1769) memberikan gagasan bahwa, "Lebih baik sepuluh orang yang bersalah lolos daripada satu orang yang tidak bersalah menderita." Pernyataan ini mencerminkan keyakinan bahwa hukuman yang salah lebih merusak daripada membiarkan beberapa pelaku kejahatan lolos dari hukuman.

Jika menilik lebih jauh lagi dalam hukum inggris, rasio Blackstone tersebut dipelopori oleh Hale (sekitar 100 tahun sebelumnya) dan John Fortescue (sekitar 300 tahun sebelumnya). Keduanya adalah ahli hukum yang berpengaruh pada masanya. Hale menulis: "lebih baik lima orang bersalah lolos tanpa hukuman, daripada satu orang yang tidak bersalah mati." Sementara itu Fortescue dalam karyanya De Laudibus Legum Angliae (sekitar tahun 1470), menyatakan bahwa "seseorang lebih suka jika dua puluh orang bersalah lolos dari hukuman mati, daripada satu orang yang tidak bersalah dihukum dan menderita hukuman mati."

Ternyata apa yang dikemukakan oleh William Blackstone, Hale dan John Fortescue tersebut sebelumnya telah ditulis oleh seorang ahli teori hukum Yahudi bernama Maimonides. Kira-kira 300 tahun sebelum Fortescue (sekitar tahun 1170), Maimonides menulis bahwa "Yang Maha Tinggi telah menutup pintu ini" terhadap penggunaan bukti yang bersifat dugaan, karena "lebih baik dan lebih memuaskan membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum mati satu orang yang tidak bersalah."

Landasan filosofis dari prinsip tersebut terletak pada penghormatan terhadap hak asasi manusia dan martabat individu. Hukuman yang salah tidak hanya merugikan individu yang dihukum, tetapi juga mencederai integritas sistem hukum itu sendiri. Kesalahan dalam sistem hukum, yang menghukum orang yang tidak bersalah, dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum tersebut.

Menurut penulis idealnya seorang Hakim dalam mengadili suatu perkara, harus menghukum Terdakwa yang terbukti bersalah dan sebaliknya membebaskan jika tidak terbukti bersalah. Namun seperti yang diuraikan di atas, jika Hakim sedang memeriksa perkara yang pembuktiannya sangat minim, atau Hakim ragu-ragu dalam menyatakan Terdakwa terbukti bersalah, maka Hakim jangan ragu untuk membebaskan Terdakwa. Karena untuk menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, Hakim harus benar-benar yakin dan tidak ragu (beyond reasonable doubt). 

Adanya prinsip kehati-hatian (prudent) dalam mengadili suatu perkara, sangatlah dibutuhkan seorang Hakim, agar tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Jika seorang Terdakwa yang tidak bersalah dihukum, maka pertanggungjawaban moral berada pada diri Hakim. Namun sebaliknya jika seorang Terdakwa yang bersalah dibebaskan, maka pertanggungjawaban moral berada pada diri Terdakwa.

Referensi:

https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/irman-ichandri/lebih-baik-bebaskan-1000-yang-bersalah-daripada-menghukum-1-yang-tak-bersalah-231V

Baca Juga: Mengenang Pledoi Indonesia Menggugat 1930 Bukti Kesakralan Ruang Sidang Pengadilan

https://en.wikipedia.org/wiki/Blackstone%27s_ratio


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum