Mutasi merupakan bagian dari dinamika tak terelakkan dalam perputaran roda organisasi. Menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung (MA) Nomor: 48/KMA/SK/II/2017, mutasi (alih tempat) adalah perpindahan tugas seorang hakim atau pimpinan pengadilan dari satu tempat ke tempat tugas baru, namun dalam pos jabatan yang setara. Program ini bertujuan untuk mengisi kekosongan jabatan, bentuk penyegaran dan penambahan wawasan, meminimalisir terjadinya penyimpangan, hingga menjadi sarana pelaksanaan reward and punishment.
Setelah lima tahun menjalankan tugas, kini giliran hakim angkatan VIII memasuki masa mutasi reguler. Namun, pelaksanaan kali ini terasa lebih dinamis. Dalam upaya mendorong meritokrasi, Direktorat Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) menggagas inovasi Self Assessment Questionnaire (SAQ), yakni penilaian individu berbasis kinerja.
Baca Juga: Transformasi Mutasi Hakim: Kini Giliran Hakim Angkatan 8 dan 9
Terdapat beragam indikator penilaian SAQ seperti capaian perkara, keberhasilan mediasi/diversi, penerapan keadilan restoratif, serta partisipasi dalam program di satker yang akan menentukan penempatan hakim selanjutnya. Prestasi pelatihan, publikasi ilmiah, hingga keterlibatan organisasi juga menjadi poin pertimbangan.
Penerapan SAQ merupakan langkah yang layak diapresiasi. Inovasi ini merupakan bagian dari upaya modernisasi tata kelola organisasi yang objektif dan terukur. Di beberapa kesempatan, Ketua MA Prof. Sunarto bahkan menegaskan proses mutasi hakim kali ini dilaksanakan "by data", dan bukan "by rasa".
Persepsi Hakim
Meskipun proses penempatan diukur melalui variabel kuantitatif, implementasi SAQ tetap menuai beragam respons dari para hakim angkatan VIII. Hal ini tercermin dalam hasil survei yang melibatkan 807 responden terhadap pengumuman Tim Promosi dan Mutasi (TPM) tanggal 3 Juli 2025. Menurut 301 orang (37%), mutasi telah melebihi ekspektasi mereka serta 123 lainnya (15%) merasa sesuai dengan harapan. Sejumlah 120 orang (15%) menganggap penempatan belum memenuhi ekspektasi, namun tetap optimis dengan sistem baru. Sementara itu, 259 orang (32%) menilai sistem mutasi masih bisa ditingkatkan.
Persepsi Hakim Angkatan VIII terhadap Hasil TPM
Sumber: Diolah dari WhatsApp Channel Info Badilum
Tingkat persepsi hakim di atas dapat dianalisis melalui teori keadilan (equity theory) yang dikembangkan oleh Stacy Adams (1963). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap karyawan berusaha untuk mencapai keseimbangan antara kontribusi mereka terhadap pekerjaan, dengan apa yang mereka terima sebagai imbalan (sumber: EBSCO). Pada konteks mutasi hakim, data input dapat berupa indikator SAQ seperti tingkat penyelesaian perkara, keberhasilan mediasi/diversi/kesepakatan perdamaian, partisipasi aktif dalam program kelembagaan, serta jumlah pelatihan dan publikasi. Hasil pengolahan dari seluruh input kemudian melahirkan hasil akhir (output) berupa lokasi penugasan yang baru.
Sumber: GeeksforGeeks
Setiap lokasi satuan kerja (satker) pasti memiliki karakteristik unik dan tantangan geografis yang berbeda satu sama lain. Beragam faktor seperti kemudahan akses transportasi, ketersediaan fasilitas publik, jarak dengan homebase, kearifan lokal masyarakat, serta kondisi keamanan di wilayah setempat akan sangat mempengaruhi minat penempatan dalam kuesioner SAQ. Tak bisa dipungkiri, hal ini pasti akan menimbulkan kesenjangan minat antara satu wilayah dengan yang lain. Alhasil, preferensi para hakim akan cenderung terkonsentrasi pada beberapa tujuan tertentu yang dianggap menarik, sedangkan sebagian satker lainnya belum menjadi prioritas utama.
Hasil survei menunjukkan 47% hakim merasa penempatan berbasis SAQ masih belum sesuai harapan atau masih ada ruang untuk peningkatan. Masalahnya, akan sangat sulit bagi SAQ untuk sepenuhnya mengakomodir preferensi semua orang, disebabkan alokasi penempatan sangat bergantung pada ketersediaan formasi hakim di tiap satker. Akibatnya, timbul ketimpangan yang dipersepsikan (perceived inequity) karena seseorang merasa kontribusinya ternyata tidak diganjar oleh kompensasi yang ia harapkan (sumber: AllVoices). Dengan kata lain, terjadi mismatch antara ekspektasi ideal pada saat pengisian SAQ, dengan realitas faktual ketika hasil TPM diumumkan.
Evaluasi SAQ: Perspektif Keadilan Organisasi
Meskipun bukan merupakan formula yang akan menyenangkan seluruh pihak, penting untuk tetap mengevaluasi pelaksanaan SAQ, apalagi jika sistem ini konsisten digunakan sebagai algoritma penentuan mutasi hakim berikutnya. Sebagai pisau analisis, konsep keadilan organisasi (organizational justice) yang diusung Greenberg (1987) dapat menjadi kerangka berpikir dalam proses pengambilan kebijakan.
Greenberg membagi keadilan organisasi menjadi tiga dimensi utama (sumber: CQ Net)
Pertama, keadilan distributif (distributive justice) adalah ketika timbul kepercayaan bahwa organisasi memberikan penghargaan yang adil. Hasil survei menunjukkan 53% responden merasa sistem SAQ telah memberikan hasil yang layak dan sesuai harapan. Meskipun belum mencerminkan tingkat kepuasan menyeluruh, perlu diingat bahwa tidak ada sistem yang memuaskan semua orang. Maka dari itu, parameter evaluasi sebaiknya tidak hanya berfokus pada hasil kepuasan semata, melainkan lebih pada transparansi algoritma SAQ menghasilkan rekomendasi.
Kedua, proses dan akuntabilitas pengambilan keputusan hingga menghasilkan keputusan akhir merupakan pembahasan dalam keadilan prosedural (procedural justice). Beberapa satker dengan tingkat preferensi tinggi merupakan suatu "komoditas" yang hanya bisa diperoleh dengan nilai tukar tertentu. Dalam hal ini, SAQ berfungsi sebagai alat untuk mengonversi kontribusi, rekam jejak, dan prestasi hakim di suatu periode, menjadi semacam "token". Selanjutnya, token ini merepresentasikan nilai tukar yang berguna untuk mengakuisisi komoditas. Dengan kata lain: semakin tinggi jumlah token, maka semakin besar pula peluang untuk memperoleh penempatan yang diharapkan.
Dalam upaya meningkatkan transparansi, Ditjen Badilum dapat mempertimbangkan pencantuman jumlah token yang dibutuhkan untuk "mengakuisisi" suatu satker. Kebijakan ini dapat mendorong agar hakim semakin termotivasi meningkatkan skor SAQ mereka. Jika pun terjadi deviasi dalam perhitungan skor─seperti penempatan khusus karena alasan kesehatan, kondisi keluarga, status pernikahan sesama institusi MA, atau kebutuhan organisasi lainnya─maka alasan ini sebaiknya tetap dicantumkan dalam pengumuman. Seluruh keterbukaan ini merupakan landasan penting untuk mewujudkan keadilan prosedural.
Ketiga, keadilan interaksional (interactional justice) mengacu pada cara organisasi memperlakukan seseorang saat keputusan dibuat. Saat ini, Ditjen Badilum telah memiliki inovasi Ruang Tamu Virtual dan Lentera (Layanan Elektronik Terpadu), sebagai sarana komunikasi dua arah antara para hakim dan pemangku kebijakan. Melalui saluran tersebut, hakim dapat menyampaikan kondisi khusus atau dinamika lain yang mungkin tidak terakomodir dalam kuesioner SAQ. Maka dari itu, penting agar seluruh informasi yang bersifat eksepsional dapat terintegrasi dalam sistem penilaian SAQ, sehingga hasil rekomendasi mampu mencerminkan pertimbangan menyeluruh dari aspek teknis maupun nonteknis.
Baca Juga: Mengenal SAQ, Penentu Penempatan Hakim Angkatan 8 dan Cakim Angkatan 9
Terakhir, implementasi SAQ merupakan langkah kecil, namun berdampak besar bagi transformasi manajemen peradilan. Meskipun telah mendorong pendekatan yang lebih objektif dan terukur, pelaksanaan SAQ harus diberi ruang evaluasi, demi menjamin akuntabilitas dan keterbukaan sistem. Melalui perbaikan yang berkelanjutan, kebijakan ini memegang peranan penting dalam mewujudkan salah satu misi MA, yakni meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan. (LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI