Cari Berita

Saran dalam Efektifitas dan Efisiensi Penerapan Pidana Denda dalam KUHP Nasional

Steven Putra Harefa- Hakim PN Kab. Madiun - Dandapala Contributor 2025-09-24 15:35:02
Dok. Penulis.

Pidana Denda

Pidana denda merupakan salah satu pidana pokok dalam KUHP Nasional. Pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Pidana denda semakin sistematis dan rigid diatur dalam KUHP Nasional.

Pidana denda berada pada urutan keempat teringan sesuai Pasal 65 ayat (2) KUHP Nasional. Adapun pengaturan umum pidana denda dapat dilihat dalam Pasal 78 sampai Pasal 84 KUHP Nasional.

Baca Juga: Antinomi Hukum Tujuan Pemidanaan dan Pidana Penjara Pengganti dalam KUHP Baru

Mengenai pidana denda ini yang dibayarkan akan menjadi pemasukan bagi Negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (disingkat PNBP) sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Negara Republik Indonesia.

Saran Efektifitas dan Efisiensi Penerapan Pidana Denda Bagi Terpidana dan Demi Peningkatan Anggaran Bagi Mahkamah Agung

Artikel ini berangkat dari slogan John F. Kennedy yang berbunyi “jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negara”.  Penulis selaku praktisi inginnya agar pidana denda dapat diterapkan lebih efektif, efisien dan praktis.

Tujuannya semata-mata untuk mengurangi penerapan penjatuhan pidana penjara dan dapat menerapkan pidana denda apabila ada kemampuan Terdakwa maupun Keluarganya yang pada akhirnya dapat mengurangi jumlah WBP di Lapas yang sudah overcapacity dan memasyarakatkan terpidana.

Hal ini sejalan juga dengan maksud the founding father KUHP Nasional, yaitu jika memenuhi aturan, lebih baik menjatuhkan pidana yang menguntungkan bagi Terdakwa sesuai asas Lex Favor Reo dalam arti luas. Selain itu, dengan penerapan pidana denda, maka pada akhirnya memberikan input yang baik juga kepada Negara melalui pemasukan PNBP ke kas negara.

Bagaimana pelaksanaan pidana denda ini ketika diterapkan Hakim dalam menjatuhkan pidana denda? Khawatirnya ketika dijatuhkan pidana denda, tetapi tidak dibayarkan maka diganti dengan pidana lainnya. Memang benar bahwa telah ditentukan apa saja syarat-syarat penjatuhan pidana denda yang pada pokoknya melihat kemampuan Terdakwa.

Berangkat dari isu-isu tersebut, maka ada beberapa aturan yang perlu Penulis sampaikan, yaitu:

  1. PERMA Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif;
  2. Pasal 7 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa penitipan uang restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada tata cara penitipan uang jaminan penangguhan penahanan;
  3. Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHP yang menyebutkan bahwa uang jaminan penangguhan penahanan disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri;

Penerapan pidana denda agar lebih praktis dapat juga memuat cara alternatif dengan pendekatan 3 dasar hukum yang Penulis uraikan di atas. Jadi PERMA RJ memberikan kesempatan pembayaran ganti rugi di persidangan jika tercapai kesepakatan perdamaian.

Pengalaman penulis, ketika persidangan menerapkan mekanisme RJ, maka persidangan jadinya lebih hidup dikarenakan adanya dialog yang dibangun oleh Hakim untuk menengahi kemauan antara Terdakwa / Keluarganya dengan Korban.

Demikian juga hal yang sama yang Penulis harapkan dalam penerapan pidana denda. Aturan yang dapat mendukung yaitu Pasal 7 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2022 dan Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Jadi, denda bisa dititipkan di Kepaniteraan Pengadilan hingga menunggu putusan berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ancaman kategori denda dalam pasal tindak pidana.

Jadi, ketika Terdakwa dan keluarga Terdakwa di persidangan mengatakan mampu membayar denda, lalu Hakim dapat memerintahkan agar Keluarga Terdakwa untuk menitipkan uang tersebut ke Kepaniteraan. Lalu nantinya Hakim akan mempertimbangkan dan menjatuhkan putusan apakah pidana penjara atau pidana denda.

Jika pemidanaan berupa pidana denda dan putusan berkekuatan hukum tetap, uang tersebut dapat dieksekusi oleh Penuntut Umum dengan penyerahan dari Kepaniteraan Pengadilan ke Penuntut Umum. Jika dijatuhkan pidana lainnya, misalnya pidana penjara, maka uang tersebut dapat dikembalikan kepada keluarga Terdakwa. Pendapat penulis bukan berarti mengurangi makna dari syarat-syarat penjatuhan pidana denda.

Dengan skema penerapan pidana denda tersebut, maka akan semakin membuka peluang yang optimal dalam penerapan pidana denda, karena menurut Penulis akan ada kekhawatiran Hakim dalam menjatuhkan pidana denda tetapi tidak sanggup membayar, lalu hartanya dilelang ternyata Terpidana tidak memiliki harta, lalu dijatuhkan pidana pengganti.

Padahal keluarganya Terdakwa yang memiliki harta yang cukup mau membayarkan pidana denda. Hakim memiliki kewajiban agar pemidanaan yang dijatuhkan dapat dilaksanakan Terdakwa.

Pemasukan PNBP terhadap pidana denda ternyata masuk dalam pemasukan dari Kejaksaan. Hampir semua PNBP yang timbul akibat dari pemidanaan yang dijatuhkan Hakim merupakan PNBP yang berasal dari Kejaksaan Republik Indonesia sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang Berlaku pada Kejaksaan Negara Republik Indonesia, kecuali mengenai denda tilang.

Pasal 4 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100 Tahun 2024 tentang Penyetoran dan Pencatatan atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Pembayaran yang Berasal dari Denda Tindak Pidana Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan pada pokoknya bahwa dari hasil rekonsiliasi terdapat pembagian pemasukan PNBP, yaitu sebesar 40% pada Bagian Anggaran Kejaksaan Republik Indonesia, sebesar 30% pada Bagian Anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia dan sebesar 30% pada Bagian Anggaran Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Rekonsiliasi yang terbentuk menurut Penulis karena dilandasi Integrated Criminal Justice System. Oleh karena pemasukan PNBPnya sama-sama dari pidana denda, maka seharusnya mengenai penerapan pidana denda dan mungkin pidana lainnya yang menghasilkan PNBP sesuai KUHP Nasional seharusnya juga dapat terjadi rekonsiliasi agar terjadi pembagian pemasukan PNBP.

Baca Juga: Pertautan Delik Korupsi dalam UU Tipikor dan KUHP Nasional 2023

Melalui saran Penulis ini, maka pada akhirnya memberikan input yang baik juga bagi penegakan hukum dalam efektifitas dan efisiensi penerapan pidana denda. Selain itu memberikan input yang baik juga bagi Mahkamah Agung, yaitu pemasukan PNBP ke negara melalui Mahkamah Agung, yang pada akhirnya diharapkan negara lebih memperhatikan kenaikan anggaran Mahkamah Agung. Sekiranya saran Penulis tersebut dapat dibaca oleh pembentuk RUU KUHAP dan pembentuk Rancangan PP Pelaksana KUHP/KUHAP nantinya jika memiliki manfaat dalam penegakan hukum. (al/ ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI