Reformasi birokrasi yudisial telah
memanifestasikan dirinya dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai
"wajah" peradilan yang modern dan akuntabel. Namun, realitas
operasionalnya, meja PTSP sering menjadi episentrum friksi emosional. Petugas
PTSP setiap hari dihadapkan pada pencari keadilan yang hadir dengan beban
psikologis, frustrasi, dan ekspektasi penyelesaian instan. Interaksi sarat
emosi ini terlalu sering berakhir dengan persepsi publik bahwa mereka
"dipersulit" dan berhadapan dengan birokrasi kaku.
Ironisnya, persepsi
"mempersulit" tersebut seringkali merupakan ketaatan petugas terhadap
pedoman rigid Mahkamah Agung. Kesenjangan fundamental ini menciptakan dilema.
Artikel ini berargumen bahwa kegagalan menjembatani kesenjangan tersebut
seringkali bukan pada validitas prosedur, melainkan pada defisit kecakapan
komunikasi petugas PTSP dalam menerjemahkan bahasa hukum yang kaku menjadi
pelayanan humanis.
SK KMA Nomor
026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan meletakkan standar
perilaku ideal. Regulasi ini mengamanatkan petugas wajib berperilaku "adil
dan tidak diskriminatif", "cermat", "profesional",
serta "santun dan ramah". Standar ini juga mengharuskan petugas
"tidak mempersulit" namun "tidak menyimpang dari prosedur".
Di sinilah letak paradoksnya. Tuntutan "santun dan ramah" menjadi
tantangan psikologis di tengah amarah publik.
Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung
Tuntutan simultan
"tidak mempersulit" dan "tidak menyimpang dari prosedur"
seringkali kontradiktif di mata publik. Ketika petugas, demi kepatuhan
prosedur, meminta kelengkapan administrasi, ia otomatis dipersepsikan
"mempersulit".
SK KMA 026/2012 ini
secara implisit menuntut kompetensi komunikasi krisis dan de-eskalasi. Tanpa
kemampuan ini, petugas gagal memberikan pelayanan "santun dan ramah"
secara substantif. Kecakapan komunikasi petugas diuji maksimal ketika harus
menyampaikan penolakan atau batasan layanan, yang menjadi sumber frustrasi
pencari keadilan.
Pertama, batasan
yurisdiksi layanan. Masyarakat sering datang dengan asumsi petugas PTSP dapat
memberi konsultasi hukum substantif atau mengomentari putusan. Akan tetapi, SK KMA 026/2012 menetapkan
demarkasi tegas. Pelayanan pengadilan didefinisikan limitatif, meliputi
Pelayanan Administrasi Persidangan, Bantuan Hukum, Pengaduan, dan Permohonan
Informasi. Regulasi ini memberi klausul eksklusi fundamental: "Segala
ketentuan mengenai teknis hukum acara atau yang berkaitan dengan Putusan
pengadilan bukanlah obyek dari pelayanan pengadilan...". Petugas tidak
cakap hanya akan berkata, "Itu bukan urusan saya". Petugas terampil
akan memvalidasi emosi pencari keadilan sebelum menjelaskan mengapa ia tidak
dapat melanggar prinsip independensi yudisial dengan mengomentari substansi
putusan.
Kedua, kewajiban
menyampaikan penolakan atas informasi yang dikecualikan. Berdasarkan SK KMA
Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011, tidak semua informasi di pengadilan bersifat
terbuka. Regulasi ini secara rigid mengkategorikan informasi sebagai
"dikecualikan", misalnya "Informasi dalam proses musyawarah
hakim, termasuk advisblaad", "Identitas lengkap hakim dan pegawai
yang diberikan sanksi", "Identitas pelapor yang melaporkan dugaan
pelanggaran hakim dan pegawai", serta "Catatan dan dokumen yang
diperoleh dalam proses mediasi di pengadilan".
Bagi publik, penolakan
ini bukti tidak transparan, tidak terampilnya petugas gagal menjelaskan konteks
pengecualian ini. Padahal, kecakapan komunikasi yuridis memungkinkan petugas
membingkai ulang penolakan; bukan sebagai "menutupi", melainkan
"melindungi" kerahasiaan deliberasi hakim, privasi pelapor, atau
kerahasiaan proses mediasi demi kepentingan para pihak.
Ketiga, keharusan
menuntut formalitas prosedur. Contohnya penanganan pengaduan. Ketika pencari
keadilan datang dengan emosi tinggi untuk mengadukan perilaku aparat, mereka
ingin didengar saat itu juga. Namun, SK KMA Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan menetapkan pengaduan "hanya dapat
diterima dan ditangani... apabila disampaikan secara tertulis oleh
Pelapor". Petugas yang kaku akan menyodorkan formulir dan memicu eskalasi
konflik.
Sebaliknya, petugas yang
cakap komunikasi akan melakukan active listening terlebih dahulu,
membiarkan pelapor meluapkan emosi. Baru kemudian ia menjelaskan bahwa prosedur
tertulis diperlukan justru untuk melindungi pelapor, agar pengaduannya
tercatat resmi dan dapat ditindaklanjuti secara akuntabel. Perbedaan
"ditolak" dan "dibantu" hanya terletak pada kemampuan
petugas mengartikulasikan tujuan di balik prosedur formal.
Aspek krusial terakhir
adalah kemampuan mengelola ekspektasi publik terhadap waktu. Persepsi publik menyamakan
"pelayanan" dengan "kecepatan", namun prosedur yudisial
dirancang untuk "kecermatan".
SK KMA 1-144/2011
membedakan dua alur layanan informasi: "Prosedur Khusus" dan
"Prosedur Biasa". Publik selalu mengasumsikan berhak atas
"Prosedur Khusus", yang cepat dan langsung, padahal ini hanya berlaku
untuk informasi yang sudah tersedia dan tidak memerlukan izin.
Jika informasi "bervolume besar"
atau "harus mendapat izin dan diputuskan oleh PPID", petugas wajib
memberlakukan "Prosedur Biasa". Prosedur ini legal memberi waktu 5
hari kerja bagi PPID untuk uji konsekuensi dan 3 hari kerja bagi unit kerja
mencari data. Gagal mengkomunikasikan mengapa perlu waktu hingga 9 hari kerja
akan memicu konflik. Petugas harus menjelaskan penundaan ini bukan kelalaian, melainkan
proses legal untuk memastikan akurasi.
Kegagalan komunikasi
terkait waktu juga terjadi dalam hal pengaburan informasi. Seorang pihak yang
baru bercerai ingin segera mendapat salinan putusan. Petugas PTSP menolak
memberikannya saat itu juga, memicu amarah. Padahal, petugas sedang mematuhi
Bagian VI dari SK KMA 1-144/2011 yang imperatif memerintahkan Petugas Informasi
"wajib mengaburkan informasi yang dapat mengungkap identitas
pihak-pihak" dalam perkara tertentu, termasuk "Perkawinan dan perkara
lain yang timbul akibat sengketa perkawinan". P
etugas yang tidak cakap
berkomunikasi gagal menjelaskan penundaan ini adalah amanat hukum untuk
melindungi privasi. Petugas terampil akan berkata, "Kami perlu waktu 1-2
hari, karena SK KMA mewajibkan kami melindungi data pribadi Bapak/Ibu dalam
salinan ini agar tidak disalahgunakan."
Baca Juga: Meneroka Konfigurasi Rechterlijk Pardon dalam UU SPPA
Secara konklusif,
persepsi publik bahwa pelayanan pengadilan "sulit" dan "tidak
ramah" adalah masalah kompleks. Meski rigiditas prosedur (SK KMA
1-144/2011, SK KMA 026/2012, SK KMA 076/2009) berkontribusi, akar masalah yang
sering terabaikan adalah defisit kecakapan komunikasi di lini terdepan.
Regulasi tersebut mengatur apa yang boleh dilakukan, apa
batasannya, dan berapa lama waktunya.
Namun, regulasi diam mengenai bagaimana mengkomunikasikan batasan, penolakan, dan penundaan itu secara empatik. Wajah peradilan pada akhirnya ditentukan oleh intonasi dan pilihan kata petugas PTSP. Investasi institusional pada pelatihan soft skill, de-eskalasi, mendengarkan aktif, dan menerjemahkan bahasa hukum yang kaku menjadi pelayanan manusiawi, sama pentingnya dengan penyusunan prosedur itu sendiri. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI