Cari Berita

Wajah Peradilan Kita: Menjembatani Rigiditas Prosedur dengan Pelayanan Humanis

David Ronaldo-Staf pada Kepaniteraan Muda Hukum PN Serang - Dandapala Contributor 2025-10-31 11:50:05
Dok. Penulis.

Reformasi birokrasi yudisial telah memanifestasikan dirinya dalam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai "wajah" peradilan yang modern dan akuntabel. Namun, realitas operasionalnya, meja PTSP sering menjadi episentrum friksi emosional. Petugas PTSP setiap hari dihadapkan pada pencari keadilan yang hadir dengan beban psikologis, frustrasi, dan ekspektasi penyelesaian instan. Interaksi sarat emosi ini terlalu sering berakhir dengan persepsi publik bahwa mereka "dipersulit" dan berhadapan dengan birokrasi kaku.

Ironisnya, persepsi "mempersulit" tersebut seringkali merupakan ketaatan petugas terhadap pedoman rigid Mahkamah Agung. Kesenjangan fundamental ini menciptakan dilema. Artikel ini berargumen bahwa kegagalan menjembatani kesenjangan tersebut seringkali bukan pada validitas prosedur, melainkan pada defisit kecakapan komunikasi petugas PTSP dalam menerjemahkan bahasa hukum yang kaku menjadi pelayanan humanis.

SK KMA Nomor 026/KMA/SK/II/2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan meletakkan standar perilaku ideal. Regulasi ini mengamanatkan petugas wajib berperilaku "adil dan tidak diskriminatif", "cermat", "profesional", serta "santun dan ramah". Standar ini juga mengharuskan petugas "tidak mempersulit" namun "tidak menyimpang dari prosedur". Di sinilah letak paradoksnya. Tuntutan "santun dan ramah" menjadi tantangan psikologis di tengah amarah publik.

Baca Juga: Integrasi Reward & Punishment dengan Strategi Kindness: Jalan Etis Menuju Peradilan Agung

Tuntutan simultan "tidak mempersulit" dan "tidak menyimpang dari prosedur" seringkali kontradiktif di mata publik. Ketika petugas, demi kepatuhan prosedur, meminta kelengkapan administrasi, ia otomatis dipersepsikan "mempersulit".

SK KMA 026/2012 ini secara implisit menuntut kompetensi komunikasi krisis dan de-eskalasi. Tanpa kemampuan ini, petugas gagal memberikan pelayanan "santun dan ramah" secara substantif. Kecakapan komunikasi petugas diuji maksimal ketika harus menyampaikan penolakan atau batasan layanan, yang menjadi sumber frustrasi pencari keadilan.

Pertama, batasan yurisdiksi layanan. Masyarakat sering datang dengan asumsi petugas PTSP dapat memberi konsultasi hukum substantif atau mengomentari putusan.  Akan tetapi, SK KMA 026/2012 menetapkan demarkasi tegas. Pelayanan pengadilan didefinisikan limitatif, meliputi Pelayanan Administrasi Persidangan, Bantuan Hukum, Pengaduan, dan Permohonan Informasi. Regulasi ini memberi klausul eksklusi fundamental: "Segala ketentuan mengenai teknis hukum acara atau yang berkaitan dengan Putusan pengadilan bukanlah obyek dari pelayanan pengadilan...". Petugas tidak cakap hanya akan berkata, "Itu bukan urusan saya". Petugas terampil akan memvalidasi emosi pencari keadilan sebelum menjelaskan mengapa ia tidak dapat melanggar prinsip independensi yudisial dengan mengomentari substansi putusan.

Kedua, kewajiban menyampaikan penolakan atas informasi yang dikecualikan. Berdasarkan SK KMA Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011, tidak semua informasi di pengadilan bersifat terbuka. Regulasi ini secara rigid mengkategorikan informasi sebagai "dikecualikan", misalnya "Informasi dalam proses musyawarah hakim, termasuk advisblaad", "Identitas lengkap hakim dan pegawai yang diberikan sanksi", "Identitas pelapor yang melaporkan dugaan pelanggaran hakim dan pegawai", serta "Catatan dan dokumen yang diperoleh dalam proses mediasi di pengadilan".

Bagi publik, penolakan ini bukti tidak transparan, tidak terampilnya petugas gagal menjelaskan konteks pengecualian ini. Padahal, kecakapan komunikasi yuridis memungkinkan petugas membingkai ulang penolakan; bukan sebagai "menutupi", melainkan "melindungi" kerahasiaan deliberasi hakim, privasi pelapor, atau kerahasiaan proses mediasi demi kepentingan para pihak.

Ketiga, keharusan menuntut formalitas prosedur. Contohnya penanganan pengaduan. Ketika pencari keadilan datang dengan emosi tinggi untuk mengadukan perilaku aparat, mereka ingin didengar saat itu juga. Namun, SK KMA Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengaduan menetapkan pengaduan "hanya dapat diterima dan ditangani... apabila disampaikan secara tertulis oleh Pelapor". Petugas yang kaku akan menyodorkan formulir dan memicu eskalasi konflik.

Sebaliknya, petugas yang cakap komunikasi akan melakukan active listening terlebih dahulu, membiarkan pelapor meluapkan emosi. Baru kemudian ia menjelaskan bahwa prosedur tertulis diperlukan justru untuk melindungi pelapor, agar pengaduannya tercatat resmi dan dapat ditindaklanjuti secara akuntabel. Perbedaan "ditolak" dan "dibantu" hanya terletak pada kemampuan petugas mengartikulasikan tujuan di balik prosedur formal.

Aspek krusial terakhir adalah kemampuan mengelola ekspektasi publik terhadap waktu. Persepsi publik menyamakan "pelayanan" dengan "kecepatan", namun prosedur yudisial dirancang untuk "kecermatan".

SK KMA 1-144/2011 membedakan dua alur layanan informasi: "Prosedur Khusus" dan "Prosedur Biasa". Publik selalu mengasumsikan berhak atas "Prosedur Khusus", yang cepat dan langsung, padahal ini hanya berlaku untuk informasi yang sudah tersedia dan tidak memerlukan izin.

 Jika informasi "bervolume besar" atau "harus mendapat izin dan diputuskan oleh PPID", petugas wajib memberlakukan "Prosedur Biasa". Prosedur ini legal memberi waktu 5 hari kerja bagi PPID untuk uji konsekuensi dan 3 hari kerja bagi unit kerja mencari data. Gagal mengkomunikasikan mengapa perlu waktu hingga 9 hari kerja akan memicu konflik. Petugas harus menjelaskan penundaan ini bukan kelalaian, melainkan proses legal untuk memastikan akurasi.

Kegagalan komunikasi terkait waktu juga terjadi dalam hal pengaburan informasi. Seorang pihak yang baru bercerai ingin segera mendapat salinan putusan. Petugas PTSP menolak memberikannya saat itu juga, memicu amarah. Padahal, petugas sedang mematuhi Bagian VI dari SK KMA 1-144/2011 yang imperatif memerintahkan Petugas Informasi "wajib mengaburkan informasi yang dapat mengungkap identitas pihak-pihak" dalam perkara tertentu, termasuk "Perkawinan dan perkara lain yang timbul akibat sengketa perkawinan". P

etugas yang tidak cakap berkomunikasi gagal menjelaskan penundaan ini adalah amanat hukum untuk melindungi privasi. Petugas terampil akan berkata, "Kami perlu waktu 1-2 hari, karena SK KMA mewajibkan kami melindungi data pribadi Bapak/Ibu dalam salinan ini agar tidak disalahgunakan."

Baca Juga: Meneroka Konfigurasi Rechterlijk Pardon dalam UU SPPA

Secara konklusif, persepsi publik bahwa pelayanan pengadilan "sulit" dan "tidak ramah" adalah masalah kompleks. Meski rigiditas prosedur (SK KMA 1-144/2011, SK KMA 026/2012, SK KMA 076/2009) berkontribusi, akar masalah yang sering terabaikan adalah defisit kecakapan komunikasi di lini terdepan. Regulasi tersebut mengatur apa yang boleh dilakukan, apa batasannya, dan berapa lama waktunya.

Namun, regulasi diam mengenai bagaimana mengkomunikasikan batasan, penolakan, dan penundaan itu secara empatik. Wajah peradilan pada akhirnya ditentukan oleh intonasi dan pilihan kata petugas PTSP. Investasi institusional pada pelatihan soft skill, de-eskalasi, mendengarkan aktif, dan menerjemahkan bahasa hukum yang kaku menjadi pelayanan manusiawi, sama pentingnya dengan penyusunan prosedur itu sendiri. (ldr)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…