Cari Berita

Modernisasi Prosedural: JIN Protocol VS Rogatory dalam Kepailitan Lintas Batas Negara

Ari Gunawan-Hakim Yustisial BSDK MA RI - Dandapala Contributor 2025-12-15 16:15:52
Dok. Penulis.

Dalam era globalisasi, perusahaan multinasional sering kali memiliki aset dan kewajiban di lebih dari satu negara. Di satu sisi, bisnis telah melintasi batas-batas negara, sehingga kejatuhan satu Perusahaan apalagi konglomerat multinasional pasti akan memicu keterlibatan banyak sistem hukum dari berbagai yurisdiksi.

Namun, ironisnya, prinsip dasar dan substansi banyak sistem hukum tersebut masih bersifat sangat domestik, yang pada akhirnya mempersulit proses pengumpulan dan distribusi aset global perusahaan yang bangkrut secara tertib, efisien, dan adil.

Ketika terjadi kepailitan (insolvency), koordinasi antar yurisdiksi menjadi krusial untuk memastikan distribusi aset yang adil dan efisien. Inti permasalahannya adalah fragmentasi hukum. Ketika sebuah perusahaan atau grup multinasional bangkrut, realitas komersialnya yang tunggal terpecah menjadi beberapa proses hukum di berbagai forum yang menerapkan undang-undang yang berbeda secara independen.

Baca Juga: Urgensi Prinsip Solvabilitas Bagi Hakim di Kasus Kepailitan

Kondisi ini jauh dari ideal untuk mengumpulkan, mendistribusikan, dan memaksimalkan aset debitur secara tertib. Perpecahan prosedural ini memicu timbulnya pertanyaan-pertanyaan hukum yang rumit, misalnya mengenai pengakuan putusan asing atau bantuan yang harus diberikan pengadilan kepada administrator asing.

 Akibatnya, muncul risiko keputusan yang saling bertentangan, praktik pemilihan forum (mencari pengadilan yang paling menguntungkan), dan potensi kesewenang-wenangan, karena hasil akhir bergantung pada lokasi aset dan pihak terkait. Dampak akhirnya bagi perdagangan adalah biaya yang membengkak, penundaan yang lama, dan ketidakpastian yang merusak.

Solusi ideal yang dipegang teguh oleh komunitas kepailitan internasional adalah universalisme dan untuk itu perlu adanya  satu pengadilan sentral yang menerapkan satu set hukum tunggal untuk mengatur seluruh kepailitan multinasional. Adanya konvensi internasional berdasarkan prinsip ini akan memberikan wewenang kepada satu pengadilan untuk membekukan semua proses hukum terkait secara global (penangguhan worldwide) guna melindungi aset secara efektif dan memfasilitasi rehabilitasi.

Sebagai otoritas tunggal, pengadilan ini juga akan menyelaraskan kepentingan semua pemangku kepentingan dalam skala global. Lebih lanjut, hukum kepailitan yang terpadu akan menjamin keseragaman dalam prioritas klaim dan distribusi, sehingga memastikan perlakuan yang sama bagi kreditur di seluruh dunia.

Hukum kepailitan suatu negara pada dasarnya merupakan produk dari kompromi sosial, ekonomi, dan politik yang unik. Setiap kerangka hukum ini berfungsi sebagai respons langsung terhadap tuntutan politik dan kebijakan domestik warganya.

Oleh karena itu, hukum kepailitan nasional menunjukkan variasi yang signifikan di berbagai sistem di seluruh dunia. Perbedaan-perbedaan ini bervariasi, mulai dari detail teknis seperti cara memperlakukan kreditur dari luar negeri, hingga perbedaan filosofis mendasar mengenai tujuan akhir kepailitan yakni memprioritaskan pembayaran kembali kepada kreditur atau melestarikan pekerjaan;

Universalisme yang dimodifikasi adalah suatu konsep kepailitan lintas batas, menurut Lord Hoffman, di mana pengadilan domestik wajib berkolaborasi dengan pengadilan di yurisdiksi likuidasi utama untuk menjamin distribusi seluruh aset perusahaan kepada kreditur di bawah satu kerangka distribusi tunggal.

Kolaborasi ini harus tunduk pada klausul keadilan dan kebijakan publik lokal. Secara praktis, pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan sistem distribusi yang paling seragam yang dapat dicapai melalui kerja sama antar pengadilan, dengan tetap mengakui dan menghormati masalah kebijakan publik domestik di tengah adanya berbagai proses hukum yang saling bersaing.

Kerja sama antar-pengadilan sangat krusial bagi pendekatan ini. Mengingat bahwa akar dari banyak masalah kepailitan lintas batas adalah fragmentasi proses hukum (proses yang terpisah-pisah), solusi yang logis adalah membangun rasa koherensi dan kesatuan di antara pengadilan-pengadilan yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kembali efek dari satu proses hukum yang terpadu, meskipun secara teknis kasus tersebut ditangani oleh banyak pengadilan.

Indonesia sendiri sampai saat ini belum mempunyai  kerangka hukum kepailitan  lintas batas secara komprehensip, UU Kepailitan yang ada sekarang yakni UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang, yakni  mengenai Harta Pailit di Luar Negeri (Pasal 212): yang menyebutkan Kreditur yang, setelah pernyataan pailit, menggunakan benda milik harta pailit yang berada di luar negeri (dan tidak dijaminkan secara khusus) untuk melunasi seluruh atau sebagian piutangnya, wajib mengembalikan semua yang telah diperolehnya kepada harta pailit dan aturan yang lain yakni Mengenai Pemindahan Piutang: yang pada pokoknya Kreditur yang memindahkan seluruh atau sebagian piutangnya kepada pihak ketiga dengan tujuan agar pihak ketiga tersebut bisa mendapatkan pelunasan secara didahulukan dari aset pailit yang ada di luar negeri, juga wajib mengganti apa pun yang diperolehnya.

Indonesia juga saat ini belum meratifikasi maupun mengakomodir terkait prinsip prinsip yang ada di UNCITRAL Model Law. Seyogyanya Indonesia juga dapat menerapkan UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency (1997), karena pedoman ini dirancang untuk membantu negara untuk melengkapi undang-undang kepailitan mereka dengan kerangka kerja yang modern, harmonis, dan adil agar dapat menangani secara lebih efektif kasus-kasus proses hukum lintas batas.

Jika seadainya nanti Indonesia meratifikasi atau mengakomodir ketentuan ketentuan dalam UNCITRAL Model Law yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita masih relevan menerapkan  ketentuan yang ada sekarang khususnya menganai Letter of Rogatory yang digunakan sebagai mekanisme untuk melakukan bantuan teknis hukum pada masalah perdata lintas batas negara atau kita dapat menggunakan  mekanisme lainnya yakni Judiciary Insolvency Networking (JIN) Protocol sebagai pengganti dari mekanisme Letter of Rogatory.

Pembahasan

Guna menjawab pertanyaan diatas kita harus tahu apa itu Letter of Rogatory dan  apa itu JIN Protocol  dan bagaimana mekanisme dari kedua sistem tersebut dalam pelaksanaannya;

Letters of Rogatori

Letter of Rogatory mencakup permintaan bantuan teknis hukum dan penyampaian dokumen peradilan dalam masalah perdata. Ruang lingkupnya mencakup surat permintaan dari negara lain atau juga sebaliknya permintaan dari dalam negeri ke negara lain.

Bantuan teknis yang dimaksud tidak  hanya terbatas pada bantuan mencari atau mengidentifikasi orang, mencari atau mengidentifikasi aset-aset atau properti, memperoleh keterangan saksi, memperoleh dokumen atau alat bukti lainnya, tetapi termasuk juga pelaksanaan proses keperdataan.

Selain bantuan teknis maka rogatory juga mencakup bantuan penyampaian dokumen termasuk surat gugatan pada kasus perdata, surat panggilan sidang perkara perdata, surat pemeriksaan saksi, surat pernyataan upaya hukum, surat pernyataan pemeriksaan berkas, putusan atau penetapan pengadilan, surat-surat, akta-akta, dan dokumen keperdataan lainnya.

Mekanisme dari Letter of Rogatory baik bantuan teknis mapun penyampaian dokumen apabila berasal dari Indonesia maka pengadilan di Indonesia melalui Mahkamah Agung mengajukan permintaan penyampaian dokumen peradilan dalam masalah perdata kepada negara tujuan dengan ketentuan harus memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan oleh negara tujuan.

Mahkamah Agung meneruskan permintaan penyampaian dokumen peradilan dalam masalah perdata kepada negara tujuan melalui Kementerian Luar Negeri yang ditangani oleh Direktorat Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya, Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional.

Dalam hal dokumen peradilan ditujukan kepada warga negara asing atau badan hukum asing dan Direktorat Konsuler/Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI dan BHI), Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler, dalam hal dokumen peradilan ditujukan kepada warga negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri dan terakhir Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan RI di luar negeri meneruskan permintaan penyampaian dokumen peradilan kepada otoritas berwenang atau pihak lainnya sesuai dengan ketentuan hukum negara tujuan

Karakteristik dari Letter of Rogatory menggunakan proses diplomatik dan melalui jalur resmi sehingga dapat memakan waktu lama serta sifatnya kepada negara tujuan adalah sifatnya tidak mengikat dikarenakan negara penerima dapat menolak jika bertentangan dengan hukum domestik atau kebijakan publik.  Karakteristik lainnya Letter of Rogatory juga fokus pada tindakan spesifik: dan tidak mencakup pengakuan otomatis prosedur kepailitan asing.

Kelebihan dari Letter of Rogatory adalah sifatnya yang Fleksibel, sehingga dapat digunakan di negara yang belum meratifikasi perjanjian insolvensi lintas batas. Kekurangan dari Letter of Rogatory adalah prosesnya  lambat, birokrasi tinggi, dan tidak ada jaminan kepastian hukum.

Judicial Insolvency Networking Core Protocol

Definisi dari "Judicial Insolvency Networking Protocol" mengacu pada serangkaian pedoman, kesepakatan, atau kerangka kerja yang dibuat oleh jaringan pengadilan (khususnya yang menangani masalah kepailitan atau restrukturisasi) untuk memfasilitasi komunikasi dan kerja sama antar-pengadilan dalam kasus kepailitan lintas batas negara (cross-border insolvency).

Protokol ini bertujuan untuk menciptakan proses yang lebih efisien dan efektif ketika suatu perusahaan atau debitur menghadapi proses kepailitan atau penyesuaian utang di lebih dari satu yurisdiksi.

Mekanisme dari panduan JIN (JIN Guidelines) mengatur prinsip komunikasi antar-pengadilan, sementara modalitas berfokus pada mekanisme praktis pelaksanaannya (memulai, menerima, dan berinteraksi). Oleh karena itu, Modalitas membahas detail penting seperti waktu, metode, bahasa, sifat kasus (termasuk kerahasiaan), dan persetujuan pihak terkait.

Fitur kunci dari Modalitas adalah pengenalan fasilitator (seorang hakim atau pejabat administrasi) yang bertugas memulai atau menerima komunikasi atas nama pengadilan. rincian fasilitator, serta bahasa dan teknologi komunikasi yang tersedia, didorong untuk dipublikasikan di situs web pengadilan.

Karakteristik utama dari Judicial Insolvency Networking Protocol (seperti yang diwakili oleh JIN Guidelines dan Modalities of Court-to-Court Communication dari Judicial Insolvency Network) antara lain yakni dengan melihat tujuan, prinsip/ fokus, dan mekanisme praktisnya dengan tujuan utama dari protokol ini adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penanganan kasus kepailitan yang melibatkan lebih dari satu negara (cross-border insolvency).

Peningkatan efisiensi ini dicapai melalui koordinasi prosedur dan pertukaran informasi yang cepat antar-pengadilan yang berbeda yurisdiksi dan pada akhirnya, koordinasi tersebut bertujuan untuk mengurangi konflik prosedural, meminimalkan biaya litigasi, dan memastikan resolusi yang lebih terpadu dan tepat waktu.

Kelebihan mekanisme JIN Core Protocol  yakni tentunya proses lebih cepat dan efisien, mengurangi biaya dan waktu dan serta meningkatkan kepastian hukum dan perlindungan aset secara holistik sedangkan kekurangan  JIN Core Protocol   adalah memerlukan adopsi undang-undang nasional  serta konflik hukum masih mungkin jika negara lain tidak meratifikasi model UNCITRAL.

Kesimpulan

Letter of Rogatory dan JIN Core Protocol memiliki fungsi yang berbeda dalam kerja sama lintas batas, dan JIN Core Protocol umumnya tidak dapat sepenuhnya menggantikan Letter of Rogatory, melainkan berfungsi sebagai alternatif yang lebih modern, efisien, dan khusus untuk jenis kerja sama tertentu. JIN Core Protocol tidak menggantikan Letter of Rogatory, tetapi menyediakan jalur komunikasi paralel yang lebih cepat dan informal yang sangat penting untuk koordinasi kasus kepailitan lintas batas.

Letter of Rogatory tetap menjadi mekanisme yang diperlukan dan resmi untuk meminta bantuan hukum substantif yang melibatkan yurisdiksi dan kedaulatan negara lain.  Letter of Rogatory masih relevan sebagai alat darurat atau untuk negara yang belum memiliki kerangka kerja lintas batas yang maju.

Namun, untuk kasus kepailitan kompleks dengan aset tersebar di banyak yurisdiksi, Judicial Insolvency Protocol menawarkan efisiensi, kepastian hukum, dan perlindungan aset yang lebih baik. Indonesia, dengan adopsi sebagian prinsip UNCITRAL, sudah bergerak menuju sistem yang lebih modern, tetapi tantangan koordinasi dengan negara non-UNCITRAL tetap ada.

Harapan ke depan yakni adanya peningkatan kerja sama bilateral dan multilateral, serta harmonisasi regulasi, akan semakin mengurangi ketergantungan pada surat rogasi yang lambat dan sangat birokratis.

 

Reference

1.  Chong, Steven. (2019). The Judicial Insolvency Network: A Ready Response in an Imperfect World. Makalah dipresentasikan pada World Enforcement Conference, Shanghai, 22 Januari 2019. Supreme Court of Singapore.

2.  Direktorat Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya Kemenlu RI. (2021). Penanganan Bantuan Teknis Hukum dalam Masalah Perdata Lintas Negara. Jakarta.

3.  Gunawan, Ari, Budi Prayitno, Wigati Pujiningrum, Rizkiansyah, dan Aria Suyudi. (2025). Naskah Urgensi Tata Cara Pemberian Pengakuan dan Bantuan atas Permohonan Pengakuan Proses Kepailitan Asing serta Kerja Sama Antar Pengadilan Lintas Negara. Jakarta: Lintera bekerja sama dengan Pustrajak Kumdil MARI.

Baca Juga: Melampaui Bedrog: Rekonstruksi Makna 'Penipuan' Dalam Pasal 126 Ayat (5) UU Kepailitan Untuk Proteksi Boedel Pailit

 

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…