
Beberapa waktu lalu, peradilan di Indonesia digemparkan oleh insiden kericuhan dalam sidang kasus dugaan pencemaran nama baik yang melibatkan Razman Nasution sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Kericuhan terjadi saat Razman meluapkan emosinya dan berusaha menghampiri Hotman Paris, yang saat itu memberikan kesaksian. Ketegangan semakin memuncak ketika salah satu anggota tim kuasa hukum Razman bernama M. Firdaus Oiwobo naik ke atas meja persidangan, menginjaknya, dan melontarkan kata-kata kasar. Kejadian tersebut terekam kamera media dan kemudian viral di media sosial.
Mahkamah Agung (MA) dalam konferensi pers menanggapi insiden tersebut dengan tegas. MA mengecam keras kericuhan yang terjadi dalam persidangan karena tindakan tersebut dinilai tidak pantas dan tidak tertib. Lebih lanjut, MA menyatakan bahwa peristiwa tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan merendahkan dan melecehkan marwah pengadilan atau contempt of court. MA menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi, siapa pun pelakunya harus bertanggung jawab sesuai ketentuan hukum yang berlaku, baik secara pidana maupun etik.
Menindak lanjuti hal tersebut, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian. Kemudian selanjutnya pada 11 Februari 2025, Pengadilan Tinggi Ambon dan Pengadilan Tinggi Banten mengeluarkan penetapan untuk membekukan Berita Acara Sumpah (BAS) Advokat atas nama Razman Arif Nasution dan M. Firdaus Oiwobo.
Tindakan Pembekuan BAS Advokat tersebut tidak dilakukan secara gegabah oleh Mahkamah Agung. Sebelumnya, pada 8 Februari 2025, KAI merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk membekukan Berita Acara Sumpah Advokat M. Firdaus Oiwobo. Dukungan juga datang dari organisasi advokat PERADIN pada 13 Februari 2025.
PERADIN adalah organisasi advokat yang menaungi Razman Arif Nasution, menyatakan dalam suratnya bahwa penindakan tersebut bagian dari penindakan tata tertib dan pembebanan etika bagi advokat sudah tepat dan benar oleh karenanya dengan ini mengucapkan ribuan terimakasih. Keputusan pembekuan BAS Advokat tersebut kemudian menimbulkan diskursus mengenai keabsahan serta dampaknya terhadap profesi advokat secara keseluruhan. Hal ini menarik untuk dikaji secara mendalam dalam dinamika hukum di Indonesia.
Kekuatan Hukum Sumpah Advokat
Sumpah advokat merupakan salah satu tahapan wajib bagi seseorang yang ingin menjalankan profesi sebagai advokat di Indonesia. Pelaksanaan sumpah ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan harus dilakukan di hadapan pengadilan tinggi. Pasal 4 ayat (1) UU Advokat menyebutkan bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh dalam sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
Pasal tersebut dalam perkembangannya kemudian diubah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015, yang menyatakan bahwa frasa "di sidang terbuka Pengadilan Tinggi" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat tertentu seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI). Maka implikasi hukumnya, sumpah advokat adalah syarat seorang Advokat dapat menjalankan profesinya yang dibuktikan dengan BAS.
Mewujudkan Tujuan Hukum
Gustav Radburch dalam Introduction to Jurisprudence seperti yang dikutip Satjipto Rahardjo bukunya Ilmu Hukum menyebutkan setidaknya terdapat 3 (tiga) tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Apabila hukum yang ada di masyarakat telah memenuhi ketiga unsur tersebut maka dapat dikatakan tujuan hukum telah tercapai. Ketiganya bersinergi untuk menciptakan hukum yang ideal.
Jika dikaji dari perspektif kepastian hukum, memang sampai saat ini belum ada aturan hukum yang tegas yang menyatakan adanya aturan terkait pembekuan BAS Advokat sehingga menimbulkan konsekuensi kepada Advokat untuk menjalankan profesinya. Namun, jika dikaji dalam kerangka hukum yang lebih luas, dalam hal ini Negara juga sudah mengatur mengenai hal tersebut. Sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini berkesinambungan juga dengan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) Pasal 2 ayat (2) Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Perbuatan membuat kegaduhan di ruang persidangan dapat dikualifisir sebagai perbuatan yang tidak beradab dan juga MA yang bertanggungjawab dalam terselengaranya peradilan Negara mempunyai kewenangan terhadap menerapkan dan juga menegakkan hal tersebut. Ini memberikan konsekuensi logis bahwa MA mempunyai hak untuk menegakkan sanksi kepada siapapun yang melakukan perbuatan yang tidak beradab dalam peradilan Negara khususnya dalam persidangan.
Kemudian disebutkan pula pada Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal senada juga dijumpai dalam Pasal 218 jo. 232 ayat (2) dan (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa setiap orang yang hadir dalam ruang sidang wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan.
Peristiwa contempt of court tersebut adalah tindakan yang mengakibatkan hambatan dan rintangan dengan cara tidak menunjukan sikap hormat dan bahkan menganggu jalannya persidangan sehingga peradilan yang sederhana cepat, dan biaya ringan tidak tercapai. Aturan hukum tersebut kemudian juga menjadi pertimbangan dan kewenangan MA dalam menerbitkan penetapan pembekuan BAS Advokat kedua oknum tersebut.
Jika dikaji perspektif Hukum Admistrasi Negara terdapat asas contrarius actus, yang dapat diartikan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), juga berwenang untuk membekukan, mencabut dan membatalkannya keputusan tersebut. Sepanjang tidak ada pembatasan sampai kapan Badan atau pejabat dapat membekukan, mencabut atau membatalkannya maka boleh dilakukan asalkan sesuai prosedur dan substansi. Sehingga dari asas tersebut dapat disimpulkan bahwa Ketua Pengadilan Tinggi jelas berwenang untuk menerbitkan penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat. Dikutip dari artikel di dandapala.com penulis Dr Tri Cahya Indra Permana yang berjudul Keabsahan Pembekuan Sumpah Advokat Razman Nasution dan Implikasinya.
Jika dikaji dari perspektif kemanfaatan hukum, penerbitan penetapan pembekuan BAS Advokat tersebut juga mendapat dukungan masif dari profesi advokat sendiri. Selain yang telah dijelaskan di atas bahwa organisasi advokat PERADIN yang merekomendasikan yang notabene juga adalah organisasi dimana salah satu oknum advokat tersebut bernaung. Beberapa waktu lalu puluhan advokat juga berbondong-bondong ke pengadilan memberikan dukungan simbolik untuk pembekuan BAS advokat tersebut. Hal ini dapat terlihat dari fenomena para Advokat se Banyumas Raya yang memberikan dukungan kepada insan peradilan dengan melakukan aksi keprihatinan di halaman Pengadilan Negeri Purwokerto.
Dikutip dari dandapala.com pada tanggal 13 Februari 2025, puluhan advokat dari berbagai organisasi di Banyumas, Jawa Tengah, menggelar aksi dukungan moral di depan Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Mereka menyampaikan aspirasi agar Mahkamah Agung dan institusi terkait mengambil langkah tegas terhadap siapa pun yang melecehkan simbol-simbol keadilan negara. Advokat adalah profesi yang mulia dan harus menjaga integritas serta kewibawaan peradilan.
Dalam dinamika sosial media juga terlihat banyak komentar positif juga terkait pembekuan BAS Advokat tersebut. Dalam hal ini kepentingan masyarakat adalah memiliki penegak hukum yang menjunjung tinggi adab dan moralitas. Penindakan tegas terhadap oknum advokat tersebut dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat sehingga tidak dapat dimungkinkan oknum advokat yang tidak bermoral beraktivitas dunia peradilan.
Jika dikaji dari perspektif keadilan dan moralitas, keadilan bukan hanya konsep yuridis, melainkan pada hakikatnya merupakan konsep etis dan moral. Sebagai konsep moral, keadilan bertujuan mengusahakan perbaikan bagi semua orang. Menurut Sidharta dalam bukunya Aliran Hukum Kodrat, moralitas merupakan keseluruhan norma, nilai, dan sikap yang dianut oleh seseorang atau masyarakat, sedangkan moral adalah dasar untuk menentukan benar atau salah atas tindakan manusia.
Hal ini kemudian dapat dikorelasikan dalam penyumpahan di Pengadilan Tinggi, advokat melafalkan sumpah advokat yang antara lain berbunyi:
"Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta ahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Advokat;."
Dari pengertian tentang keadilan dan moralitas yang dikaitkan dengan pelafalan sumpah advokat, terkandung makna bahwa advokat harus menegakkan moralitas serta menjaga tingkah laku dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab. Oleh karena itu, jika dihubungkan dengan peristiwa penghinaan terhadap pengadilan/ contempt of court tersebut, tindakan tersebut adalah perbuatan yang tidak bermoral dan mencederai sumpah yang telah dilafalkan oleh advokat itu sendiri. Hal ini menjadi dasar pijakan bagi Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi untuk menjatuhkan sanksi berupa pembekuan BAS Advokat sebagai bentuk perwujudan asas keadilan dan menjaga nilai moralitas dalam peradilan khususnya dalam persidangan.
Dapat disimpulkan bahwa, jika dikaji dari ketiga asas hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, penetapan pembekuan Berita Acara Sumpah Advokat tersebut telah memenuhi ketiga unsur tersebut. Dalam hal ini, perlu dimaknai bahwa langkah yang diambil oleh Mahkamah Agung sudah tepat dan terukur sehingga perlu diapresiasi bersama.
Pembekuan BAS Bukanlah Ancaman Terhadap Independensi Advokat
Advokat sebagai penegak hukum yang memiliki peran penting dalam sistem peradilan harus independen dan bebas dari intervensi. Jika dikaji secara ontologis yang tertera dalam bagian konsideran pertimbangan UU Advokat bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia;
Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum. Dengan adanya independensi, maka advokat dapat membela masyarakat (public defender) dan memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa rasa takut, campur tangan, dan tekanan dari pihak manapun juga. Kebebasan profesi advokat (independence of the legal profession) merupakan syarat mutlak terciptanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary) dengan tetap bertanggungjawab terhadap etik profesi.
Namun seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa independensi tersebut kemudian tentunya harus berdasarkan etika dan profesi yang berlaku. Dengan dibuktikan adanya surat dari organisasi advokat yang menyatakan bahwa kedua oknum advokat telah melanggar etik. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan kewenangan dari organisasi advokat pada Pasal 9 ayat (1) UU Advokat yang menyatakan Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.
Dalam kerangka ini perlu dimaknai bahwa independensi tersebut tentunya dibatasi dengan etika profesi sehingga Mahkamah Agung dalam hal ini Pengadilan Tinggi atas hal tersebut mempunyai wewenang dan tanggung jawab moral untuk menegakkan hal tersebut sesuai dengan sumpah advokat yang dilafalkan di Pengadilan Tinggi. Selain itu juga hal tersebut juga dimaknai bahwa penetapan pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tersebut bukanlah tindakan yang sewenang-wenang yang dapat mengancam independensi advokat. Sehingga tentunya para Advokat tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat.
Justru jika disikapi secara arif dan bijaksana ini tentunya hal ini dapat memberikan perlindungan bagi para advokat yang senantiasa menegakan moral dan etika. Hal tersebut karena memberikan rasa aman kepada advokat yang sedang beracara karena akan memungkinkan untuk tidak bertemu atau berhadapan dengan advokat yang tidak bermoral dan tidak beradab sehingga kedepan akan meminimalisir dampak kerugian yang terjadi.
Demi mewujudkan Cita Luhur Negara dan Keadilan
Tentunya hal ini dapat dimaknai secara positif bahwa bagian dari mewujudkan cita luhur dari Advokat yaitu profesi terhormat (officium Nobile). Dinamika terkait multibar organisasi advokat yang kemudian menciptakan celah hukum bagi para advokat yang sudah dihukum dan dikeluarkan oleh Organisasi Advokat namun karena masih banyak pilihan organisasi advokat yang lain. Hal tersebut kemudian Oknum advokat masih dapat menjalankan profesinya karena berpindah organisasi advokat yang lain. Celah hukum tersebut akhirnya mencederai peradaban hukum yang perlu dibangun bersama.
Meskipun begitu, dalam pembekuan BAS Advokat juga tetap memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (UPB), yaitu setidak-tidaknya menerapkan asas kecermatan, asas kehati-hatian dan asas kemanfaatan. Sehingga sudah selayaknya terhadap Advokat yang melanggar sumpah Advokat dan/atau melakukan contempt of court dilakukan Pembekuan BAS Advokat oleh Pengadilan Tinggi tentunya dapat menjadi solusi atas kebuntuan permasalahan tersebut.
Dalam salah satu isi sumpahnya, advokat wajib menjaga tingkah laku dan akan menjalankan kewajiban sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai Advokat. Dengan demikian, dalam hal ditemukannya adanya pelanggaran sumpah dan jabatan Advokat dalam proses persidangan atau perbuatan advokat yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan atau perbuatan yang mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas penegakan hukum di pengadilan yang mengakibatkan terganggunya rasa aman bagi hakim, aparatur pengadilan dan masyarakat pencari keadilan atau perbuatan yang menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan atau perbuatan tercela lainnya yang merendahkan marwah dan wibawa peradilan, maka sanksi Pembekuan BAS Advokat dapat diterapkan.
Jika disimpulkan bahwa penetapan pembekuan BAS advokat selain telah memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai perwujudan tujuan hukum, perlu juga dimaknai bahwa pembekuan BAS bukanlah tindakan sewenang-wenang yang mengancam independensi advokat, melainkan bentuk perlindungan bagi advokat yang telah menjunjung etika profesi advokat. Sehingga tentunya para advokat di Indonesia tidak perlu khawatir selama menjalankan etika profesi yang berlaku sesuai sumpah advokat yang diucapkan di Pengadilan Tinggi. Peristiwa ini menjadi momen penting bagi dunia peradilan bahwa penghinaan terhadap pengadilan bukan hanya merendahkan wibawa lembaga peradilan, tetapi juga mencederai nilai-nilai keadilan yang dijunjung tinggi oleh Bangsa dan Negara yang kita cintai.