Didik Nursetiawan S.H.

Penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dalam perkara narkotika dimungkinkan bagi Terdakwa yang terbukti sebagai Penyalah Guna, meskipun Penuntut Umum tidak mendakwakan Pasal 127 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika. Sebagai pedoman, Hakim dapat merujuk pada SEMA Nomor 3/2015 dan SEMA Nomor 1/2017 yang mengatur bahwa penerapan pidana di bawah minimum khusus dapat dilakukan dengan memperhatikan kriteria penting: terdakwa terbukti sebagai penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, barang bukti yang ditemukan jumlahnya relatif kecil, dan dalam hal tertangkap tidak sedang memakai narkotika namun ditemukan barang bukti kecil serta hasil tes urine positif. Ketentuan ini menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara narkotika dengan memperhatikan aspek keadilan dan kemanusiaan.


Perkembangan terbaru, Mahkamah Agung melalui SEMA Nomor 3/2023 memberikan rumusan yang lebih komprehensif. Adapun dalam salah satu poin rumusan SEMA Nomor 3/2023 menyebutkan dalam hal Terdakwa didakwa Pasal 114 ayat (1) UU Narkotika dengan barang bukti sesuai ketentuan SEMA Nomor 4/2010 jo. SEMA Nomor 3/2015 jo. SEMA Nomor 1/2017, hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan pidana dengan menyimpangi ancaman pidana penjara minimum khusus. Namun demikian, pidana dendanya tetap harus sesuai dengan ancaman dalam pasal tersebut. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum namun tetap dalam koridor kepastian hukum.


Persoalan menarik muncul ketika hasil tes urine terdakwa negatif, sementara fakta persidangan justru menunjukkan bahwa maksud terdakwa membeli, memiliki, dan menguasai narkotika adalah untuk dipakai sendiri. Dalam praktik peradilan, Penuntut Umum seringkali hanya mendakwakan Pasal 112 atau 114 tanpa mendakwakan Pasal 127 ayat (1) huruf a, meskipun barang bukti yang ditemukan relatif kecil dan tidak ditemukan bukti adanya tujuan pengedaran. Alasan utama Penuntut Umum tidak mendakwakan pasal penyalah guna narkotika adalah karena hasil tes urine terdakwa yang negatif, meskipun indikasi-indikasi lain mengarah pada penyalahgunaan untuk diri sendiri.


Mahkamah Agung telah memberikan beberapa preseden penting melalui putusannya. Putusan MA Nomor 1386 K/Pid.Sus/2011 tanggal 3 Agustus 2011 menjadi tonggak penting karena memutus perkara narkotika yang pada tingkat penyidikan tidak dilakukan tes urine terhadap Terdakwa. Mahkamah Agung berpendapat bahwa karena tindakan penguasaan atau kepemilikan narkotika oleh Terdakwa dalam jumlah relatif kecil dan ditujukan untuk digunakan sendiri, maka lebih tepat diterapkan ketentuan Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.


Putusan lain yang menerapkan pidana penjara dengan menyimpagi pidana penjara minimum khusus meskipun tes urine terdakwa negatif dapat dilihat dalam Putusan PN Putussibau Nomor 14/Pid.Sus/2021/PN Pts dan Nomor 25/Pid.Sus/2021/PN Pts yang keduanya dikuatkan hingga tingkat kasasi. Kedua putusan ini memperlihatkan bahwa penerapan pidana penjara di bawah minimum khusus dapat diterapkan meski hasil tes urine negatif, sepanjang dalam persidangan benar terbukti bahwa narkotika yang dimiliki terdakwa relatif kecil sesuai SEMA Nomor 7/2009 jo. SEMA Nomor 4/2010, tujuannya untuk dipakai sendiri, dan tidak ada bukti keterlibatan dalam peredaran narkotika. Putusan-putusan ini memperkuat prinsip bahwa penegakan hukum harus memperhatikan aspek keadilan substantif, tidak semata-mata pada aspek formal prosedural.


Dalam mempertimbangkan hasil tes urine negatif, Hakim harus benar-benar menilai secara kasuistis berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa seringkali terdakwa ditangkap pada saat baru menerima pesanan narkotika dan belum sempat memakainya, atau jangka waktu pemakaian sebelumnya sudah terlampau lama sehingga hasil tes urine menjadi negatif. Oleh karena itu, demi terciptanya kebenaran materiil dan mengedepankan asas keadilan hukum faktor waktu dan kondisi penangkapan ini juga sepatutnya menjadi pertimbangan penting dalam menilai status terdakwa sebagai penyalah guna.

SEMA Nomor 3/2023 memberikan angin segar dalam perkembangan hukum perkara narkotika dengan tidak lagi menjadikan hasil tes urine positif sebagai syarat untuk dapat menerapkan pidana penjara menyimpangi minimum khusus. Namun demikian, hakim tetap wajib mempertimbangkan jumlah barang bukti sesuai ketentuan SEMA yang berlaku. Hal ini mencerminkan evolusi pemikiran hukum yang lebih progresif dalam memandang perkara narkotika, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pembaruan hukum pidana yang tidak semata-mata mengedepankan aspek pembalasan, tetapi juga memperhatikan aspek pembinaan dan pemulihan bagi pelaku tindak pidana narkotika, khususnya bagi mereka yang terbukti sebagai penyalah guna.