Cari Berita

Juvenile Justice, Ketika Hakim Dihadapkan pada Dilema Keadilan Anak

article | Serba-serbi | 2025-09-12 08:45:19

Drama Korea Juvenile Justice garapan Netflix ini bukan sekadar tontonan ruang sidang biasa. Lebih dari itu, serial yang rilis pada 2022 ini adalah refleksi hukum, kritik sosial, sekaligus potret dilemanya hakim ketika berhadapan dengan perkara anak. Dengan alur yang menegangkan dan penuh emosi, drama ini memaksa kita bertanya: ketika anak melakukan kejahatan, apakah mereka layak dihukum seperti orang dewasa?Sejak menit awal, Juvenile Justice langsung menghantam penonton dengan adegan sidang penuh tensi, tangis orang tua, hingga perdebatan hukum yang rumit. Dari situ, penonton langsung tahu bahwa drama ini tidak akan menyuguhkan sidang yang datar, melainkan pertarungan moral antara hukuman dan rehabilitasi.Tokoh utama Sim Eun-seok (Kim Hye-soo) digambarkan sebagai hakim yang keras dan tanpa kompromi terhadap pelaku kejahatan anak. Tapi seiring berjalannya cerita, ia juga dihadapkan pada kenyataan pahit: banyak dari anak-anak ini adalah korban dari keluarga yang rusak, tekanan sosial, bahkan kemiskinan. Di sinilah drama ini menjadi menarik, ia menyoroti absurditas sistem hukum yang sering lebih cepat menghukum daripada memahami akar masalah.Secara sinematografi, drama ini tidak menawarkan visual glamor khas K-drama romantis. Fokusnya ada pada ekspresi para aktor, sorot mata hakim yang dingin, hingga teriakan orang tua di ruang sidang. Kamera dengan cerdas menangkap ketegangan, amarah, dan harapan yang bertubrukan di balik palu hakim.Pesan utama dari Juvenile Justice jelas: hukum anak bukan semata soal menghukum, tapi juga soal menyelamatkan masa depan. Relevan dengan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” yang juga jadi dasar Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Serial ini sekaligus mengingatkan bahwa hukum tidak boleh kehilangan sisi kemanusiaannya.Secara keseluruhan, Juvenile Justice adalah tontonan paket lengkap: akting solid, naskah tajam, pesan sosial kuat, dan refleksi hukum yang relevan. Ia tidak hanya membuat kita berpikir, tapi juga marah, sedih, sekaligus tergerak untuk melihat hukum dengan lebih manusiawi. (SNR/LDR)

Kejamnya Ayah Kandung Siksa Arie Hanggara dan Lahirnya Aturan Perlindungan Anak

article | History Law | 2025-04-19 16:10:53

Jakarta- Pada 1984, Indonesia pernah digegerkan dengan kekejaman Machtino yang menyiksa anak kandungnya Arie Hanggara yang masih anak-anak hingga tewas. Ikut menyiksa juga si ibu tiri, Santi. Bagaimana kisah kelam itu bisa terjadi?Dikutip dari buku ‘Kisah Arie Hanggara dan Kekerasan yang Menghantui Anak-Anak, Sabtu (19/4/2025), disebutkan Arie Hanggara adalah anak kedua dari pasangan Machtino Eddiwan dan Dahlia Nasution. Arie tewas setelah dipukuli Machtino dan Santi pada 8 November 1984, karena dituduh mencuri uang di sekolahnya.  Bocah kelas 1 SD itu dipukuli dengan tangan ayahnya dan gagang sapu. Tak sempat mendapatkan pertolongan, Arie meninggal dalam perjalanan saat akan dibawa ke RSCM. Kasus pun bergulir ke meja hijau. Kala itu UU Perlindungan Anak belum lahir. Yang ada hanyalah aturan yang termuat dalam  KUHP yaitu Pasal 290, 292, 293, 294, 297. “Pada tanggal 23 Juli 1979 lahir UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian disusul pada tanggal 29 Februari 1988 lahir Peraturan Pelaksana Nomor 2 Tahun 1988 tentang Kesejahteraan Anak,” ungkap buku itu.Persidangan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada tahun 1985 dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) JR Bangun. Dalam dakwaaanya, JPU menuntut si ayah dengan hukuman 20 tahun penjara. Sedangkan, Santi, saat itu dituntut ancaman hukuman 15 tahun penjara. Setelah beberapa kali persidangan, majelis hakim yang diketuai Reni Reynowati menjatuhkan hukuman kepada Machtino Eddiwan selama 5 tahun penjara dan Santi selama 2 tahun penjara. “Santi dihukum lebih ringan dengan alasan sekadar membantu Machtino dengan membenturkan kepala Arie ke tembok yang berakibat mati kepada anak korban,” tulis M Rizal dengan judul ‘Mengapa Sekejam Itu kepada Arie Hanggara’.Kekejaman kasus itu akhirnya diangkat ke film layar lebar dengan judul ‘Arie Hanggara’ pada 1985. Selain itu, kasus ini juga mendorong Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak atau Convention on the Rights of the Child pada 5 September 1990 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-hak Anak.Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, Indonesia berdasarkan asas pacta sunt servanda (itikad baik) berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Konvensi Hak  Anak, khususnya memenuhi hak-hak anak secara umum. Termasuk memberikan perlindungan dan penghargaan kepada anak agar terhindar dari kekerasan dan pengabaian dalam lingkungan sosial. Sehingga sebagai upaya penguatan hukum perlindungan anak, lahirlah UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya yaitu Pasal 81 ayat 1 yang mengatur ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan minimal tiga tahun bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.  Disusul dengan lahirnya UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (EES/asp)