Jakarta- Pinjaman dengan bunga mencekik sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Kini bermetamorfosis menjadi pinjaman online (pinjol) ilegal. Lalu apakah aturan zaman Belanda terhadap praktik serupa itu masih bisa dipakai saat ini?
Dalam perkembangan sosial masyarakat Indonesia saat ini, banyak masyarakat terjerat praktik lintah darat yang identik dengan pinjaman online (pinjol). Karakteristik utama dari pinjaman tersebut adalah suku bunga yang sangat tinggi dan memberatkan. Meskipun masyarakat sudah mengetahui besarnya bunga sejak awal, desakan ekonomi serta kemudahan pencairan tanpa agunan membuat banyak orang tergiur untuk mengajukan pinjaman.
Praktik lintah darat atau pinjaman online (pinjol) ini sering kali berujung pada sengketa hukum yang dibawa ke pengadilan. Bunga yang tidak wajar dan jauh melebihi jumlah pinjaman pokok menyebabkan banyak peminjam kesulitan untuk melunasi utang mereka. Namun, terdapat peraturan warisan zaman kolonial Belanda yang masih berlaku hingga saat ini dan dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam menangani kasus semacam ini.
Dengan menerapkan aturan tersebut, hakim dapat berperan dalam menegakkan keadilan serta melindungi masyarakat dari praktik lintah darat yang merugikan.
Tim Dandapala akan menerangkan dalam berbagai fakta- fakta singkat yaitu:
1. Lahir Di Tengah Paceklik Ekonomi Di Zaman Kolonial
Pada tahun 1916 terjadi terjadi depresi ekonomi. Wilayah Hindia–Belanda, mengalami penurunan harga hasil pertanian banyak penduduk Hindia – Belanda yang bekerja di sektor pertanian, mengalami keadaan terdesak secara ekonomi. Banyak penduduk Hindia – Belanda yang bekerja di sektor pertanian, mengalami keadaan terdesak secara ekonomi. Keadaan tersebut menimbulkan permasalahan ekonomi baru, pihak debitur (yang dirugikan) justru semakin sulit memenuhi kebutuhannya. Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Woeker Besluit sebagai instrumen hukum untuk melindungi kepentingan penduduk Hindia – Belanda. Pemanfaatan keadaan terhadap pihak lain yang berada dalam keadaan terdesak, dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak patut. Dalam perkembangannya Woeker Besluit dirubah menjadi Woeker Ordonnantie 1938.
2. Berisi Aturan Tentang Riba / Praktek Rentenir (Lintah Darat)
Pada tahun 1938 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Woeker Ordonnantie 1938. Woeker secara bahasa memiliki arti sebagai “riba”. ribasendiri memiliki makna keuntungan yang tidak sah, bunga yang tidak layak tingginya yang diminta dengan menyalahgunakan keadaan seseorang yang sangat membutuhkan uang.
Pasal 2 : Woeker Ordonnantie 1938
Ayat (1) Bilamana antara kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian sejak permulaan terdapat perbedaan mengenai nilai yang demikian rupa dan dihubungkan dengan keadaan ketimpangan antara kewajiban-kewajiban itu melampaui kewajaran, atas permohonan pihak yang dirugikan atau juga karena jabatannya, Hakim dapat meringankan kewajiban para pihak atau menyatakan batal perjanjian itu, kecuali dapat diterima akal (itikad baik subjektif) bahwa pihak yang dirugikan telah menyadari sepenuhnya akibat perikatan yang diadakannya, kecuali dia telah bertindak tidak dalam keadaan gegabah, tidak dalam keadaan takut atau keadaan darurat.”
Ayat (2) Pembuktian dengan saksi diperkenankan dalam segala hal.
Ayat (3)Sebelum mengambil keputusan seperti dimaksud dalam ayat (1), Hakim membuka peluang (memberikan kesempatan) bagi para pihak untuk berbicara apa adanya (menerangkan) tentang keadaan-keadaan hingga dapat dibenarkan adanya ketimpangan-ketimpangan yang mencolok (tidak wajar/ tidak patut) antara kewajiban-kewajiban para pihak.
Ayat (4) Bilamana Hakim mengambil keputusan seperti dimaksud dalam ayat (1), ia harus juga mengatur berdasarkan keadilan akibat-akibatnya bagi kedua belah pihak (berdasarkan kepatutan), dengan pengertian bahwa dalam hal pembatalan perjanjiannya, para pihak sedapat mungkin dikembalikan ke keadaan seperti semula mereka berada sebelum mengadakan perjanjian.
3. Dibuat Untuk Tujuan Melindungi Masyarakat dari Bunga Selangit.
Tujuan Woeker Ordonnantie Woeker Ordonnantie melindungi pihak yang secara ekonomis dan / atau Psikis lemah dari penyalahgunaan keadaan oleh pihak lawan janjinya. Dalam arti Kelemahan Ekonomis tersebut berupa Terdesak secara ekonomi (darurat), sedangkan Kelemahan secara psikis tersebut berupa Ceroboh / gegabah dan Kekurang pengetahuan / pengalaman terhadap objek perjanjian;
4. Syaratnya Ada Ketimpangan Prestasi.
Penyalahgunaan keadaan yang mengakibatkan ketimpangan yang luar biasa antara prestasi dengan kontra prestasi para pihak, sehingga pelaksanaan perjanjian menjadi tidak wajar / tidak patut. Syaratnya, ketimpangan prestasi dan kontra prestasi antara para pihak, serta keadaan lemah (secara ekonomis / psikis) tersebut sudah ada pada saat perjanjian ditutup, dan keadaan tersebut harus diketahui atau sepatutnya diketahui (itikad baik subjektif) oleh lawan janjinya.
5. Hakim dapat Mengurangi Jumlah Bunga Hingga Batalkan Perjanjian.
a. Hakim dalam memeriksa perkara yang terdapat ketimpangan prestasi yang luar biasa antara para pihak, harus memperhatikan ukuran kepatutan atau kelayakan dalam tiap-tiap perkara, tidak dapat diberikan pedoman secara umum.
b. Hakim harus menilai, apakah nilai prestasi dalam perjanjian tersebut masih layak untuk dikurangi, sehingga selanjutnya setelah dilakukan pengurangan nilai prestasi dalam perjanjian tersebut, perjanjian yang bersangkutan akan menjadi layak atau patut untuk tetap dilaksanakan.
c. Apabila tingkat prestasi yang timpang sedemikian besar luar biasa tersebut, sudah tidak memungkinkan untuk dikurangi lagi maka terhadap perjanjian yang demikian Hakim sepatutnya membatalkan perjanjian tersebut.
d. Hakim melalui Woeker Ordonnantie, diberikan kewenangan untuk masuk ke ranah privat, bahkan dapat melebihi apa yang dikehendaki oleh para pihak dalam perjanjian timbal balik. Tetapi untuk dapat memperoleh kewenangan tersebut, terlebih dahulu harus ada pihak yang mengajukan perkara itu ke Pengadilan.
6.Masih Berlaku Hingga Kini
Aturan tersebut masih berlaku karena secara tegas belum dicabut oleh Pemerintah Indonesia dan pada Pasal II Aturan Peralihan U.U.D. 1945 (saat ini Pasal I Aturan Peralihan U.U.D. 1945) mengatakan : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
Berdasarkan kaidah hukum aturan peralihan tersebut, maka seluruh kaidah hukum yang sudah ada dan masih ada (berlaku) pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia, demi hukum menjadi bagian dari tata hukum Negara Republik Indonesia.
7. Sering Dipakai Hakim, Berikut Ini Contoh Kasusnya.
Ketentuan tersebut pernah digunakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu pada perkara nomor Nomor 1/Pdt.G.S/2024/PN Kfm dalam menangani perkara gugatan sederhana wanprestasi yang pada pokoknya kreditur menagih hutang pada debitur yang telah jatuh tempo. Namun setelah dilihat bahwa bunga yang dibebankan terlalu tinggi. Hakim melihat hal tersebut kemudian menggunakan ketentuan Woeker-Ordonnantie tersebut dalam memutus bunga yang sewajarnya.
Dalam pertimbangan putusan Nomor 1/Pdt.G.S/2024/PN Kfm yang menyatakan bahwa Hakim menilai dalam perkara aquo ada ketidakseimbangan yang sangat menyolok antara prestasi dan kontra prestasi ada penyalahgunaan atas kecerobohan, kekurang pengalaman dan keadaan terdesak pihak Tergugat dan Pihak Pengugat mendapatkan keuntungan yang luar biasa melampaui nilai prestasinya sendiri. sehinga Hakim secara arif dan bijaksana dengan berlandaskan asas kepatutan dan keadilan akan mengubah ketentuan mengenai bunga. Hakim mengubah besaran bunga berlandaskan obyektifitas dan kepatutan akan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia Rate pada bulan April 2024 yaitu pada angka 6,25% pertahun atau 0,52% perbulan.(disarikan dari FGD Bulanan Forum Kajian Dunia Peradilan pada tanggal 14 Oktober 2023)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum