Jakarta- Meski tidak setenar tokoh politik kemerdekaan, nama R Satochid Kartanegara cukup melegenda di kalangan praktisi hukum, khususnya dunia peradilan. Satochid Kartanegara yang menduduki puncak karier sebagi Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) itu ternyata memiliki sejumlah fakta yang jarang diketahui nan patut dijadikan keteladanan.
Berikut 5 fakta seputar Satochid Kartanegara sebagaimana dirangkum DANDAPALA, Kamis (6/3/2025). Fakta ini dikumpulkan dari buku ‘Prof Dr Satochid Kartanegara SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya’ yang ditulis Poliman. Buku ini diterbitkan oleh Depdikbud, Juni 1981.:
1. Sederhana
Satochid lahir pada 21 Januari 1899. Ayahnya seorang Bupati Karanganyar, Jawa Tengah (Jateng) kala itu, Kadis Kartanegara. Namun, saat Satochid berusia 3 tahun, ayahnya wafat di usia 40 tahun.
Selapas ayahnya wafat, Satochid diboyong ibunya ke kampung halamannya di Banyumas, Jawa Tengah. Untuk kehidupan sehari-hari, kehidupan Satochid dan saudara-saudaranya, dibantu pamannya, Pangeran Ganda Subroto.
Sejak kecil, Satochid terbiasa hidup priyatin. Seperti saat kuliah di Leiden, Belanda, Satochid serius belajar dan tidak sempat untuk menikmati wisata di seputaran Belanda. Alhasil, Satochid sangat berhemat dan serius kuliah.
“Satochid tak pernah beliau berpesta-pesta maupun pergi berlibur ke negeri tetangga seperti halnya yang dilakukan oleh kawan-kawan Indonesia lainnya.”
Tabungannya sebagai hakim hanya cukup membeli kapal untuk berangkat ke Belanda.
“Lima tahun menjadi hakim, tabungannya hanya cukup membeli ongkos naik kapal ke Belanda,” kisahnya.
2. Tetap Humble
Meski anak priyadi dan dibesarkan di lingkungan bangsawan, Satochid menjadi lelaki yang tetap humble/rendah hati. Sejak kecil, ia gemar melucu dengan teman-temannya, jujur dan sopan kepada siapa pun. Begitu juga saat beranjak dewasa.
“Karena sifatnya yang tidak rendah diri dan terpuji kepada orang-orang Belanda, Satochid juga dapat menyamai kepandaian orang-orang Belanda dalam bidang ilmu pengetahun,” ujarnya.
Setelah menjadi hakim agung dan mengajar di Universitas Indonesia (UI), ia juga dekat dengan para mahasiswanya.
“R Satochid Kartanegara mudah dikenal dan cepat akarab dengan mahasiswa-mahasiswanya. Pelajaran yang beliau berikan mudah pula dimengerti, sehingga pelajaran yang beliau berikan itu berjalan dengan lancar.”
3. Hakim Tiga Zaman
Satochid menjadi salah satu hakim yang hidup di tiga zaman. Pertama zaman penjajahan Belanda, kedua zaman penjajahan Jepang dan ketiga zaman Kemerdekaan. Pengalaman lintas zaman itu membuatnya banyak makan asam garam dalam menggeluti hukum.
Di zaman penjajahan Belanda, ia berdinas di Landraad Purbalingga, Surabaya, Malang dan Yogyakarta. Ia juga pernah menjadi Ketua Landraad Jakarta dan Landraad Pontianak. Di zaman penjajah Jepang menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta. Dan di zaman kemerdekaan menjadi hakim agung/Wakil Ketua MA.
“Setelah Bapak Kusumah Atmaja meninggal dunia, Satochid diangkat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung,” kisahnya.
4. Teguh Menjaga Integritas
Keteladanan yang patut dicontoh lainnya adalah Satochid teguh menjaga integritasnya. Salah satunya saat ia menjadi Kepala Landraad (Pengadilan Negeri) Pontianak di zaman Belanda. Padahal dengan jabatan tersebut di era Belanda, peluang melakukan perbuatan koruptif sangatlah besar.
Selama menjadi hakim, Satochid tidak luput dari cobaan dan godaan yang dapat dianggap menyelewengkan hukum. Seperti ditawari uang sogok, uang semir dan lain sebagainya.
“Seorang tetangga telah mengirimkan makanan kepada ibu Satochid Kartanegara. Satochid saat tiba di rumah pulang dari kerja, dan mengerti dari mana datangnya kiriman itu, seketika itu pula memerintahkan istrinya untuk memulangkannya,” tulisnya.
Istrinya pada waktu itu pula tidak tahu maksud dari suaminya.
“Tetapi kemudian diketetahui duduk persoalannya, karena tetangga yang memberikan makanan adalah orang yang sedang kena perkara. Kebetulan Satochid yang akan memutuskan perkaranya di Pengadilan,” kisahnya.
5. Akademisi Ulung
Satochid kerap ditawari masuk dunia politik oleh teman-temannya. Namun ia menolak secara halus dan memilih aktif mengajar di luar pekerjaanya di Mahkamah Agung.
Satochid akif mengajar di berbagai kampus. Dengan belajar langsung ke Belanda awal abad ke-20, membuatnya menjadi ahli pidana dan ahli hukum acara pidana yang sangat mumpuni. Baik secara teori dan praktik.
Satochid menjadi guru besar di bidang hukum di Universitas Indonesia dan PTIK. Selain juga aktif di berbagai kampus seperti Ketua Dewan Pengurus Universitas Krisnadwipayana dan Universitas Tarumanegara.
Satochid tidak sempat membuat buku karena kesibukannya. Alasan lain, ia enggan membuat buku karena khawatir mahasiswanya tidak aktif kuliah lagi. Namun mahasiswanya berinisiatif mengumpulkan berbagai seri kumpulan kuliahnya menjadi buku dan kini menjadi buku bacaan wajib mahasiswa yang mengambil hukum pidana.
Satochid juga ikut menggagas agar KUHP diperbaharui dan baru terwujud dengan lahirnya UU Nomor 1/2023, jauh setelah Satochid wafat pada 1971.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum