04.30 WIB. Selasa, 18 November 2025. Di sebuah
kota yang tak pernah tidur, di jantung beton dan aspal, Wayan membuka mata.
Wayan, sang Hakim. Jauh dari Bali, jauh dari bunyi gamelan yang seharusnya menyambut
Galungan.
Dia bukan Wayan yang sejak kecil akrab dengan
canang dan penjor. Garis keluarganya hijrah. Dia lahir di rantau. Tapi
darahnya, Hindu, Bali, tak bisa dinegosiasi. Pagi ini, besok lusa Galungan.
Udara terasa tipis, penuh makna.
Ritualnya setiap pagi: kopi pahit atau krimer.
Tapi pagi ini, dia menunda ngopi. Dia harus menyiapkan kamen, udeng, baju safari
putih. Perlu banten sederhana. Istri
sudah menyiapkan. Mereka harus membawa Bali ke kontrakan mereka.
Baca Juga: Cultural Shock Amidst The New Indonesia Criminal Code
Air mendidih. Dia buka laptop. Jemarinya
berhenti pada satu berita yang membuat hatinya mencelos—bukan sedih, tapi
bangga: "Seluruh Pengadilan Negeri di Bali Libur Besok, Rayakan
Galungan."
Simpel. Tapi mengena. Itu kebijakan daerah.
Pengakuan atas keyakinan yang hidup. Di Bali, besok, keadilan pun ikut
beristirahat.
Wayan menyesap kopi. Pikirannya mendadak
melompat ke Pasal 2 KUHP Nasional yang akan segera berlaku. The Living Law. Hukum yang Hidup di
Masyarakat. Ini yang pernah didengar dalam webinar seorang Profesor.
Dia cek lagi bunyinya. Tegas: KUHP tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup. Tapi ada catatannya: Harus diatur
Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah. Dan yang paling krusial: "berlaku
dalam tempat hukum itu hidup."
Pikiran Wayan, si anak Bali yang terdidik hukum
positif, berputar cepat. Ini bukan soal benar atau salah. Ini soal batas.
Apakah saya bisa? tanya Wayan dalam hati.
Bisakah dia, hakim di sini, menerapkan Perda
Adat Bali kepada warga Bali di kotanya? Katakanlah ada warga keturunan Bali di
sini yang melanggar awig-awig (hukum
adat) mereka sendiri.
Logika hukum positifnya segera menampar
kepalanya. "Tidak." Dia bergumam.
The
Living Law memang diakui, tapi
keberlakuannya punya pagar besi: batas teritorial.
Perda Bali hanya berlaku di Bali. Hukum adat
yang bersumber dari Bali tidak otomatis berlaku di luar Bali. Meskipun di luar
Bali ada komunitas "Masyarakat Adat" Bali dengan nilai yang sama
persis. Pengakuan hukum adat adalah pengakuan terhadap wilayah tempat hukum itu
tumbuh.
Libur pengadilan di Bali adalah pengakuan spesifik
wilayah. Bukan pengakuan terhadap semua orang Bali di seluruh Indonesia. Wayan
paham betul itu.
Dia habiskan kopinya. Anggukan pelan. Filsafat
hukum selesai.
Dia tutup laptop. Beranjak ke pelangkiran, tempat ibadahnya. Di sana,
di sudut kontrakan, Wayan memasang penjor
yang sederhana, jauh dari kemegahan. Istrinya membeli lamak dari aplikasi, sebagian dibuat sendiri. Kompromi
metropolitan.
Tapi Wayan sendiri harus mengenakan toga.
Satker-nya tidak dicakup oleh libur daerah Bali.
Esok hari Dharma
harus menang melawan Adharma. Wayan
tahu itu. Tapi kali ini, kemenangan Dharma
harus dirayakan di pagi hari, dan setelahnya dilanjutkan dengan kemenangan
Hukum di ruang sidang.
Dia menyalakan dupa. Asap kayu cendana
mengepul, membawa doa singkat: Memohon kebijaksanaan. Untuk dirinya, untuk
putusannya.
Baca Juga: Menjamin Independensi Hakim: Urgensi Pengaturan Gaji dalam UUD 1945
Dia adalah seorang hakim. Tunduk pada aturan
tertulis. Tapi di hatinya, ia adalah anak Bali. Merayakan hukum yang hidup.
Tugas negara menanti, tetapi jiwa tetap tersambung ke Pulau Dewata.
Dia sudah siap. Untuk Toga, dan untuk Udeng.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI