Dalam paradigma hukum pidana konvensional, proses peradilan cenderung berfokus pada pemidanaan pelaku melalui pendekatan retributif. Keadilan diukur dari seberapa setimpal pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. Namun, dalam banyak kasus, pola ini tidak sepenuhnya menyelesaikan akar permasalahan, apalagi memulihkan relasi sosial yang rusak akibat tindak pidana. Di sinilah restorative justice (keadilan restoratif) hadir sebagai angin segar dalam sistem peradilan pidana Indonesia, dengan hakim berperan sentral sebagai jembatan menuju perdamaian.
Hakim dalam penerapan restorative justice tidak hanya berperan sebagai penegak hukum yang mengadili perkara pidana berdasarkan fakta hukum, bukti dan norma hukum saja, tetapi juga bertindak sebagai mediator yang memfasilitasi proses mediasi dan dialog antara pelaku, korban, dan pihak terkait demi mencapai perdamaian dan pemulihan hubungan serta kerugian.
Baca Juga: Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian
Dalam peran ini, hakim menjadi jembatan yang menghubungkan kepentingan para pihak, menciptakan ruang dialog yang aman dan terbuka, serta memastikan proses restorative justice berlangsung tanpa paksaan dan tekanan, sehingga menghasilkan kesepakatan yang adil dan mengikat yang mengutamakan pemulihan korban serta tanggung jawab pelaku secara sukarela.
Secara praktis, peran hakim dalam penerapan restorative justice tidak lagi terbatas pada fungsi yudisial semata, melainkan telah mengalami pergeseran yang bersifat “transformasional”. Artinya, hakim tidak hanya bertindak sebagai penegak hukum yang memutus perkara berdasarkan norma hukum positif, tetapi juga menjadi agen perubahan sosial yang mendorong terwujudnya keadilan yang holistik dan manusiawi.
Peran Hakim dalam Mendorong Restorative Justice di Persidangan Pidana
Restorative justice menempatkan korban, pelaku, dan masyarakat sebagai subjek penting dalam penyelesaian perkara pidana. Tujuannya bukan semata-mata menghukum, tetapi memulihkan keadaan, memberikan ruang dialog, dan memperkuat tanggung jawab moral pelaku terhadap dampak perbuatannya.
Pendekatan ini telah diakomodir dalam sistem hukum nasional Indonesia yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 mendatang dan diatur lebih lanjut secara khusus melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (PERMA Nomor 1 Tahun 2024) termasuk penerapan diversi pada perkara anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Dalam KUHP Nasional, konsep restorative justice tercermin, meski tidak disebut secara eksplisit, terutama dalam Pasal 54 ayat (1) huruf j yang mengatur bahwa dalam menentukan pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban atau keluarganya dengan memberikan peluang pengampunan (judicial pardon) dan mengarah pada perubahan paradigma pemidanaan yang lebih mengutamakan pemulihan daripada pembalasan.
Sedangkan, PERMA Nomor 1 Tahun 2024 sebagai pedoman resmi bagi hakim dalam mengadili perkara pidana berdasarkan prinsip restorative justice.
PERMA ini menjadi aturan yang mengakomodir praktik keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana di pengadilan dengan melibatkan para pihak terkait baik korban, pelaku, keluarga dan pihak lain. Pendekatan ini mengupayakan pemulihan dan perdamaian, bukan sekadar pembalasan pidana.
Sebagai aktor utama dalam ruang sidang, hakim memiliki posisi strategis untuk memastikan proses peradilan tidak semata-mata legalistik, tetapi juga menjunjung nilai kemanusiaan dan keadilan substantif. Ketika hakim akan menerapkan restorative justice untuk mengadili perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2024, jika memenuhi salah satu syarat seperti tindak pidana ringan, delik aduan, ancaman hukuman maksimal 5 tahun, pelaku Anak yang diversinya belum berhasil, atau tindak pidana lalu lintas, maka hakim dapat mengarahkan proses penyelesaian ke pendekatan restoratif, termasuk melalui mediasi penal atau musyawarah damai.
Namun, hakim juga memiliki batasan kewenangan yang ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2024 yakni Hakim tidak dapat menggunakan keadilan restoratif jika korban atau terdakwa menolak perdamaian, ada relasi kuasa, atau tindak pidana diulang dalam 3 (tiga) tahun.
Selain itu, hakim juga dapat menggali fakta yang menunjukkan adanya itikad baik dari pelaku untuk bertanggung jawab, serta memastikan bahwa korban telah mendapatkan pemulihan, baik secara moral, sosial, maupun materiil. Dalam kondisi demikian, hakim dapat mempertimbangkan untuk memberikan putusan yang lebih proporsional atas dasar keadilan dan kemanfaatan hukum.
Keadilan yang Membebaskan, Bukan Membalas
Dalam konsep keadilan restoratif, pusat perhatian bergeser dari penghukuman semata ke arah pemulihan korban dan perbaikan relasi antara pelaku, korban, dan masyarakat. Namun, pelaku tetap dituntut mengakui kesalahan, bertanggung jawab, dan menjalankan kewajiban pemulihan, misalnya melalui permintaan maaf, restitusi, atau bentuk kesepakatan lain yang disepakati bersama korban.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PERMA Nomor 1 Tahun 2024 secara tegas menyebut bahwa keadilan restoratif tidak bertujuan menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Hakim tetap harus menilai kesesuaian perkara untuk restorative justice, memastikan pelaku menjalankan seluruh kewajibannya berdasarkan hasil kesepakatan dan mempertimbangkan pemulihan dalam putusannya.
Pemidanaan seperti pidana bersyarat atau pengawasan, masih dapat dijatuhkan apabila syarat dipenuhi dan perdamaian tercapai secara adil tanpa tekanan pada korban.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 19 PERMA Nomor 1 Tahun 2024 ketika hakim menilai suatu perkara, jika ada kesepakatan perdamaian antara korban dan terdakwa atau terdakwa menunjukkan kesediaan untuk bertanggung jawab atas kerugian atau kebutuhan korban, maka hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk meringankan hukuman, menjatuhkan pidana bersyarat atau pengawasan dengan memperhatikan pelaksanaan seluruh kesepakatan yang telah disepakati oleh terdakwa dengan korban dalam proses restorative justice.
Ketentuan ini memperkuat fungsi restorative justice sebagai upaya penyelesaian perkara pidana yang mengutamakan pemulihan korban dan tanggung jawab pelaku, tanpa menghapuskan pertanggungjawaban pidana secara hukum.
Hakim wajib mencantumkan penerapan prinsip ini dalam putusan sebagai tanda bahwa pendekatan restoratif telah dilaksanakan dalam proses peradilan. Dengan demikian, restorative justice adalah bentuk pertanggungjawaban pidana yang lebih humanis, menekankan pada penyelesaian konflik, rehabilitasi, dan pemulihan, bukan pelepasan tanggung jawab atau pengabaian akibat hukum bagi pelaku tindak pidana.
Tantangan terbesar dalam penerapan restorative justice di dalam persidangan pidana adalah perubahan pola pikir aparat penegak hukum termasuk hakim dari pola pikir retributif ke restoratif. Namun demikian, semakin banyak hakim progresif yang berani membuka ruang untuk penyelesaian restoratif menjadi tanda bahwa sistem peradilan kita mulai bergerak ke arah yang lebih berkeadilan.
Pergerakan ini menjadi sinyal kuat bahwa keadilan tidak hanya diukur dari penjatuhan pidana semata, tetapi dari bagaimana proses hukum mampu menyelesaikan konflik, memulihkan korban, dan memperbaiki relasi sosial yang rusak. Dengan semakin luasnya ruang bagi praktik restorative justice, maka sistem peradilan pidana Indonesia akan semakin responsif terhadap kebutuhan hak asasi dan keadilan substantif bagi seluruh pihak.
Ketika hakim mengambil peran sebagai jembatan perdamaian, maka proses peradilan tidak lagi semata-mata menjadi ruang penghakiman, tetapi menjadi sarana penyembuhan sosial. Restorative justice bukan sekadar wacana, tetapi menjadi wujud nyata keadilan yang menyentuh nurani. Dalam tangan hakim yang bijaksana, palu sidang tak hanya menjadi simbol kekuasaan hukum, tetapi juga simbol harapan bagi pemulihan dan perdamaian. (AAR/ LDR)
Referensi:
Buku
Simanjuntak, J. C., 2023. Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia.
Sukardi. 2020. Restorative Justice dalam Penegakan Hukum Pidana lndonesia.
Jurnal
Muhammad Alvin Nashir, Aisyah Zafira, Nabila Maharani, Urgensi Pembentukan Undang-Undang Restorative Justice dalam Rangka Reformasi Keadilan dan kepastian Hukum di Indonesia. Jurnal Sapientia Et Virtus. Vol.9. No.1 (Maret 2024).
Peraturan Perundang-undangan
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Baca Juga: Perdamaian Gugatan Sederhana di PN Lamongan Hampir 50 Persen per Tahun
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 Mengadili Berdasarkan Keadilan Restoratif
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI