Cari Berita

Hikmah Ramadan: Puasa Sebagai Refleksi Integritas Bagi Insan Peradilan

Radityo Muhammad Harseno, S.H. - Dandapala Contributor 2025-03-19 10:45:23
Dok. Penulis

Sudah lebih dari separuh bulan Ramadan berjalan menemani dan hadir di tengah-tengah kesibukan kita sebagai insan peradilan. Di antara tumpukan berkas perkara, jadwal sidang yang padat, dan tanggung jawab memberikan keadilan bagi masyarakat, bulan suci ini senantiasa menyapa dengan lembutnya. Kami sangat bersyukur bisa dipertemukan kembali dan ditemani bulan Ramadan. Bagi kami yang bekerja di institusi Mahkamah Agung RI, Ramadan bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan momentum berharga untuk berkontemplasi dan memperkuat fondasi integritas dalam mengemban amanah.

Sederhana Namun Sarat Makna

Setiap pagi selama Ramadan, sebelum memeriksa jadwal persidangan dan membuka berkas-berkas perkara, kami memulai hari dengan niat berpuasa. Hal yang sederhana namun penuh dengan makna. Sebuah tekad pribadi untuk menahan lapar, dahaga, dan segala keinginan hawa nafsu, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Kesederhanaan inilah yang justru sarat akan makna mendalam bagi kami seorang Hakim.

Baca Juga: Dirjen Menyapa : Marhaban Ya Ramadan, Saatnya Pertebal Integritas

Ketika seorang Hakim menahan hausnya kerongkongan di tengah persidangan yang panjang, seorang panitera yang tetap teliti mencatat jalannya sidang meski perut kosong, atau seorang pegawai pengadilan yang tetap melayani dengan ramah walau tenggorokan kering, di situlah integritas kita masing-masing dalam beribadah diuji dan dilatih secara nyata. Barangkali semua biasa terjadi tanpa adanya pengawasan CCTV, tanpa tatapan atasan, bahkan tanpa pengetahuan rekan kerja sekalipun.

Bayangkan bagaimana seseorang yang berhasil menahan diri dari seteguk air minum di ruangannya yang sepi, padahal tak seorang pun akan tahu bila ia meminumnya. Bukankah orang seperti ini sudah seharusnya bisa lebih kuat menolak amplop suap yang disodorkan kepadanya secara diam-diam? Bukankah latihan spiritual ini dapat menjadi benteng integritas terkuat dalam melawan godaan?

Melampaui Prosedur, Menggapai Esensi

Di ruang sidang, kami terbiasa dengan prosedur. Ada hukum acara yang bersifat limitatif dan imperatif yang harus diikuti. Tahapan persidangan yang tak boleh dilewati, formalitas acara yang mesti dipenuhi. Namun kami sadar, terkadang kebiasaan mengikuti prosedur secara berlebihan bisa jadi membuat kami lupa pada esensi.

Hal yang serupa terdapat pada puasa. Rasa-rasanya mudah bagi kami—sebagai orang dewasa—untuk sekadar “tidak makan dan minum” selama jam kerja. Namun jika demikian semata yang dirasa, pastilah kami akan kehilangan esensi pengendalian diri yang sesungguhnya. Sebagaimana puasa tanpa penghayatan hanya akan menghasilkan rasa lapar dan dahaga, begitu juga proses peradilan yang terpaku pada prosedur tanpa penghayatan nilai-nilai kode etik profesi, hanya akan menghasilkan pekerjaan atau putusan tanpa makna.

Ketika azan Magrib berkumandang di masjid maupun surau-surau terdekat, kami merasakan kepuasan dan kebahagiaan yang tidak hanya berasal dari waktunya berbuka, akan tetapi lebih dari itu, yaitu kesadaran diri bahwa kami telah bekerja dengan baik dan tetap menjaga integritas. Putusan telah dijatuhkan dengan adil, pelayanan telah diberikan dengan prima, dan godaan telah ditepis dengan tegas. Inilah berbuka yang sesungguhnya bagi insan peradilan.

Refleksi dari Ruang Sidang

Bulan Ramadan memberi kami ruang yang lebih dalam untuk muhasabah atau introspeksi diri. Membaca berkas dan memeriksa perkara di persidangan sambil menahan lapar dan dahaga membangkitkan sensitivitas rasa tersendiri dalam memahami dinamika batin para pihak yang berperkara. Setiap lembar tumpukan berkas, setiap keterangan saksi, dan setiap alat bukti terasa memiliki dimensi makna tersendiri ketika pikiran dan tubuh dilatih untuk bersabar.

Puasa juga mengajarkan kita untuk mempertajam rasa kemanusiaan dan keadilan. Bagi seorang Hakim, pelajaran ini sangat penting dalam memutus sebuah perkara. Hakim harus mampu menyeimbangkan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Inilah yang oleh Sir Wendell Holmes dikatakan sebagai, “the life of law has not been logic, it has been experience.” (Abdul Ghofur Anshori: 2018). Kondisi fisik yang tengah menahan lapar dan dahaga justru harus mendorong fokus yang lebih tajam, mencegah keputusan yang tergesa-gesa, dan menghadirkan pertimbangan yang lebih jernih, arif, dan bijaksana.

Integritas dari Kesadaran Diri

Setiap saat kami menyusun putusan dengan diawali kalimat, "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat ini bukan sekadar formalitas sebuah dokumen putusan semata, melainkan pengingat bahwa setiap keputusan yang kami ambil harus dipertanggungjawabkan, tidak hanya kepada institusi dan masyarakat, tetapi yang lebih utama adalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selama Ramadan, kesadaran ini terasa lebih nyata. Ketika perut kosong dan tenggorokan kering, pikiran justru menjadi lebih jernih untuk membedakan antara kewajiban menegakkan hukum dan keadilan dan kepentingan pribadi (baca: haq dan bathil). Sebagaimana pernah disampaikan dalam suatu kesempatan oleh K.H. Ahmad Baha’uddin Nursalim atau populer dikenal sebagai Gus Baha, tentang tingkatan derajat antara takwa dan syukur, kami menyadari bahwa menjaga integritas bukan hanya bentuk upaya meraih ketakwaan, tetapi juga wujud syukur atas amanah yang dipercayakan.

Integritas yang tumbuh dari kesadaran diri jauh lebih tangguh jika dibandingkan dengan yang dipaksakan oleh pengawasan eksternal. Sudah seharusnya para insan peradilan menjaga integritas bukan semata karena takut pada sanksi atau sorotan media dan pengawasan, tetapi lebih kepada keyakinan diri bahwa setiap tindakan kita selalu diawasi oleh Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa.

Transformasi Diri, Transformasi Institusi

Transformasi peradilan telah menjadi agenda urgen yang sejak lama didengungkan. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari pembaruan regulasi hingga penerapan teknologi-informasi. Namun kami menyadari, transformasi terdalam memang harus dimulai dari diri sendiri.

Puasa di bulan Ramadan ini benar-benar memberikan model transformasi diri yang efektif. Dari latihan menahan diri, tumbuh kemampuan untuk mengendalikan ego pribadi. Dari kesederhanaan berbuka, tumbuh kepedulian dan kepekaan terhadap sesama. Dari ibadah yang konsisten, tumbuh etos kerja dan disiplin yang penuh komitmen. Hal ini sejalan dengan apa yang kurang lebih disampaikan oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Bapak H. Bambang Myanto, S.H., M.H., dalam tulisan beliau di rubrik Dandapala Digital (27/02/2025), bahwa sudah seharusnya, nilai atau hikmah dari puasa di bulan Ramadan dapat diinternalisasi oleh seorang Hakim dalam bertindak sehari-hari.

Ketika setiap insan peradilan berhasil mencapai transformasi diri semacam ini, perlahan namun pasti, Mahkamah Agung RI dan seluruh peradilan di bawahnya pun akan bertransformasi menjadi lebih baik. Dengan demikian, budaya integritas akan tumbuh dengan sendirinya, bukan karena dipaksakan, melainkan karena telah mendarah daging dalam diri setiap personilnya. 

Penutup: Pelajaran dari Ramadan

Tidak lama lagi, bulan Ramadan akan berlalu. Namun, hal yang tak boleh luput bagi kita semua adalah hikmah atau pelajaran di dalamnya yang harus tetap hidup dalam keseharian kita sebagai insan peradilan. Kebiasaan menahan diri selama sebulan penuh harus ditransformasi menjadi wujud integritas yang konsisten sepanjang hayat.

Bagi kami insan peradilan Indonesia, khususnya umat muslim, Ramadan adalah momentum sakral, bulan tarbiyah atau pendidikan yang intensif untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa, tak terkecuali integritas di dalamnya. Dari pengalaman spiritual ini, kami bertekad dan berharap dapat membangun Mahkamah Agung RI dan badan peradilan di bawahnya menjadi institusi peradilan yang bermartabat dan dipercaya oleh masyarakat.

Saat Ramadan berakhir, nilai-nilai yang telah ditempa selama sebulan penuh sebelumnya harus menjadi suluh dalam setiap langkah di tengah kegelapan zaman. Dengan begitu, irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam putusan, dapat diaktualisasikan secara nyata melalui komitmen menegakkan hukum dan keadilan yang berintegritas. Itulah kiranya harapan dan warisan bulan suci Ramadan bagi insan peradilan di Indonesia. (LDR)

Baca Juga: Profesi Hakim dan Kisah Nabi Sulaiman Adili Perkara Rebutan Bayi

* Hakim Pengadilan Negeri Putussibau


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum