Pada tanggal 8 Mei 2025, Pemerintah telah menetapkan PP No. 24 Tahun 2025 Tentang Pemberian Penghargaan Bagi Saksi Pelaku sebagai aturan pelaksana UU Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur hal yang sama. Di dalam internal Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan SEMA tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana dan saksi pelaku yang bekerja sama pada Perkara Tindak Pidana Tertentu. SEMA tersebut menjelaskan syarat dan pedoman sebagai saksi pelaku.
Pada PP No. 24 Tahun 2025 dijelaskan pimpinan LPSK akan berkoordinasi dengan Penuntut Umum dalam menyampaikan rekomendasi berupa keringanan penjatuhan pidana yang nantinya dimuat dalam surat tuntutan kepada Hakim berdasarkan kriteria pada pasal 17 PP No. 24 Tahun 2025, seperti kualitas, konsistensi dan sikap kooperatif dari saksi pelaku. PP ini merupakan langkah yang positif karena terdapat keringanan hukum bagi saksi pelaku yang bersedia bekerja sama namun, apakah Hakim harus mengikuti rekomendasi penuntut umum? Dan sejauh mana rekomendasi tersebut mempengaruhi kemandirian hakim.
Baca Juga: Dekonstruksi Pidana Penjara Jangka Pendek: Membongkar Paradigma Usang Tentang Pemidanaan
Kemandirian merupakan prinsip fundamental. Prinsip sikap mandiri ini ditegaskan dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009–02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sikap mandiri mendorong perilaku hakim yang tangguh, teguh pada prinsip, dan berpegang pada kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum.
Kemandirian hakim harus diterapkan secara menyeluruh, termasuk dalam menyidangkan perkara pidana. Dalam putusan perkara pidana, Hakim harus memasukkan hal yang memberatkan serta meringankan. Secara umum hal yang memberatkan dan meringankan tersebut juga terdapat pada surat tuntutan Penuntut Umum. Sebagaimana pasal 182 ayat (1) KUHAP bahwa setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana yang di dalamnya juga dapat memuat rekomendasi penghargaan yang diatur pada PP No. 24 Tahun 2025 Tentang Pemberian Penghargaan Bagi Saksi Pelaku. Namun penting untuk diingat berdasarkan pasal 182 ayat (4) KUHAP bahwa musyawarah yang dilakukan oleh hakim didasarkan atas surat dakwaan, bukan surat tuntutan.
Hakim dalam menjatuhkan putusan bisa saja sama, lebih tinggi atau lebih rendah dari surat tuntutan. Hakim tidak terikat pada tuntutan Penuntut Umum, termasuk mengenai rekomendasi penghargaan bagi saksi pelaku. Hakim tetap memiliki kemandirian untuk menerima, mengabaikan, atau menyesuaikan bobot rekomendasi tersebut selama sesuai dengan pertimbangan hukum yang logis dan obyektif. Bahkan dalam beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung, seperti Putusan No. 420 K/Pid.Sus/2014, hakim memberikan pertimbangan khusus terhadap saksi pelaku yang bekerja sama dalam mengungkap tindak pidana korupsi dan menyatakan layak mendapatkan peringanan pidana, tetapi tetap berdasarkan penilaian independen hakim, bukan semata rekomendasi dari penuntut umum atau LPSK.
Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak
Dengan demikian, PP No. 24 Tahun 2025 harus tetap diapresiasi karena memberi pengaturan keringanan hukum terhadap saksi pelaku yang bekerja sama. Namun, penghargaan terhadap saksi pelaku tidak bersifat mengikat bagi hakim. Hakim tetap harus berpegang pada kemandiriannya, menimbang secara cermat setiap rekomendasi yang diberikan dalam fakta hukum dan keadilan materiil. Oleh karena itu, penghargaan terhadap saksi pelaku dan prinsip kemandirian hakim bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi selama dijalankan sesuai porsi dan kewenangan masing-masing institusi dalam sistem peradilan pidana. (YPY, LDR)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI