Cari Berita

Keberatan Pihak Ketiga Dalam Perampasan Barang Bukti Perkara Narkotika

Rafli Fadilah Achmad - Dandapala Contributor 2025-02-05 10:50:47
Rafli Fadilah Achmad, S.H., M.H.

Perkara Narkotika sampai tahun 2024 masih mendominasi di setiap lingkungan Peradilan Tingkat Pertama. Berdasarkan Data yang dirilis oleh Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, MARTHINUS HUKOM, S.I.K., M.SI pada 25 November 2024, setidaknya terdapat 41.120 (empat puluh satu ribu seratus dua puluh) perkara Narkotika yang berhasil diproses sampai dengan bulan Oktober 2024. Salah satu permasalahan yang terjadi dalam penyelesaian perkara Narkotika yakni terkait Status Barang Bukti yang bernilai Ekonomis seperti kendaraan bermotor. Dalam prakteknya umumnya, barang bukti seperti kendaraan bermotor dalam tuntutan Penuntut Umum maupun Putusan Hakim akan dirampas untuk Negara sepanjang terbukti memiliki keterkaitan dengan Tindak Pidana Narkotika.

Namun dalam beberapa kasus Terdakwa memberikan keterangan dalam persidangan bahwasannya kendaraan bermotor tersebut ternyata bukanlah milik Terdakwa, melainkan milik Pihak Ketiga yang tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana narkotika. Tidak jarang, Terdakwa dalam perkara narkotika meminjam kendaraan bermotor milik Pihak Ketiga dengan dalih “jalan-jalan” ataupun “meminjam sebentar” sehingga pada saat tertangkap tangan barang bukti kendaraan bermotor disita dari Terdakwa karena sedang dalam penguasaan Terdakwa. Terlebih, Pihak Ketiga terlambat menerima informasi tentang pelaksanaan persidangan perkara pokok sehingga Pihak Ketiga tidak menjadi Saksi untuk menerangkan status barang bukti kendaraan bermotor miliknya.

Dirampasnya Kendaraan Bermotor Pihak Ketiga yang disita dari Terdakwa tentu menjadi suatu polemik karena menyebabkan kerugian bagi Pihak Ketiga yang tidak tahu menahu perihal tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Terdakwa. Sejatinya, terdapat 1 (satu) pasal yang mengatur mengenai prosedur pengajuan keberatan bagi Pihak Ketiga yang alat atau barangnya dirampas dalam perkara narkotika vide Pasal 101 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun ketentuan ini terasa sumir bagi sebagian Hakim karena tidak diikuti dengan peraturan turunannya yang mengatur hal-hal teknis prosedural sehingga mengakibatkan kebingungan dalam pelaksanaanya.

Adapun permasalahan teknis pelaksanaan persidangan keberatan Pihak Ketiga dalam perampasan barang bukti perkara Narkotika dirangkum oleh Penulis sebagai berikut:

  1. Bagaimana nomor register perkaranya? Apakah diregister dalam SIPP?
  2. Siapa yang menjadi Termohon keberatan?
  3. Apa Produk yang dikeluarkan oleh pengadilan? Apakah Penetapan atau Putusan?
  4. Bagaimana pelaksanaan hukum acaranya?

Oleh karena keterbatasan peraturan turunan tersebut, salah satu alternatif yang ditempuh oleh Pihak Ketiga apabila keberatan dengan status perampasan barang bukti yakni melebur dengan kepentingan Terdakwa melalui prosedur pengajuan upaya hukum yang dimohonkan oleh Terdakwa kepada Pengadilan Tinggi dan/atau Mahkamah Agung. Padahal Pihak Ketiga memiliki kepentingan yang berbeda dengan kepentingan Terdakwa, dimana Pihak Ketiga hanya memperjuangkan kendaraan bermotor yang dirampas melalui Putusan Pengadilan Tingkat Pertama sedangkan Terdakwa memiliki kepentingan mengenai pemidanaan maupun strafmaat straafmaat atau lamanya Pidana Penjara.

Maka dari itu artikel ini akan membahas mengenai prosedur keberatan Pihak Ketiga terhadap perampasan barang bukti dalam perkara Narkotika berdasarkan pengalaman Penulis dalam mengadili perkara keberatan Pihak Ketiga yang beritikad baik terhadap perampasan barang bukti dalam perkara Narkotika.

Ketiadaan prosedur seharusnya tidak menghalangi tercapainya keadilan substantif

 Pasal 101 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sudah barang tentu menjadi norma hukum dasar dalam menangani perkara a quo. Dimana Pihak Ketiga dapat mengajukan keberatan terhadap Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menetapkan barang bukti milik Pihak Ketiga dirampas dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.

Kemudian bagaimana dengan hukum acaranya yang tidak diatur secara khusus dalam suatu peraturan perundangan undangan? Untuk mengisi kekosongan peraturan, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang. Artinya, hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks undang-undang, namun hakim juga tidak mengabaikan prinsip hukum sebagai suatu sistem. Maka dari itu Konstruksi Hukum Argumentum Per Analogium (Analogi) diperlukan dalam menangani perkara a quo karena bagaimanapun juga berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengamanatkan Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Konstruksi Hukum secara analogis dalam perkara Narkotika perlu merujuk secara limitatif kepada Perma Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Hal itu telah dilakukan Penulis dalam mengadili perkara Penetapan Nomor 1/Keberatan-Pid.Sus/2024/PN Lsm Jo. Nomor 104/Pid.Sus/2024/PN Lsm di Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Dimana Pihak Ketiga diberikan akses secara khusus untuk mengajukan keberatan secara terpisah dengan perkara pokoknya. Pemohon Keberatan selaku Pihak yang mengakui kepemilikan kendaraan bermotor mengajukan keberatan atas perkara pokok yang telah menetapkan sepeda motornya dirampas untuk Negara.

Permohonan keberatan tersebut diajukan secara tertulis dengan Termohon yaitu Kejaksaan Negeri selaku eksekutor atas barang bukti. Selain itu, oleh karena perkara keberatan ini diajukan tanpa dipungut biaya, maka panggilan sidang dilaksanakan secara manual oleh Juru Sita Pengadilan Negeri. Kemudian, jalannya persidangan memiliki kemiripan dengan persidangan Pra Peradilan dengan tahapan beracara yaitu Pembacaan Permohonan Keberatan, Tanggapan dari Termohon, Pembuktian dari Para Pihak dan diakhiri dengan Pembacaan Penetapan. Secara keseluruhan Penetapan sudah harus dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak sidang pertama.

Hanya saja, dalam pelaksanaan persidangan keberatan, Majelis Hakim sekiranya perlu teliti untuk mengetahui apakah barang bukti tersebut sudah dieksekusi oleh Termohon ataukah belum, sebab apabila barang bukti tersebut sudah dieksekusi maka sudah sepatutnya perlu ditarik Menteri Keuangan sebagai Turut Termohon. Selain itu, oleh karena terdapat kemungkinan adanya Permohonan Keberatan dan Permohonan Banding dilakukan secara bersamaan maka Panitera Pengadilan Negeri harus memberitahukan adanya Permohonan keberatan kepada Majelis Hakim pada tingkat Banding dan/atau Kasasi.

Kemudian, apabila Permohonan Keberatan dikabulkan maka per se Putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menetapkan status keberatan barang bukti dirampas berubah menjadi dikembalikan kepada Pemohon Keberatan dan diperintahkan kepada Termohon untuk melaksanakanan Putusan keberatan tersebut.

Kesimpulan

Keterbatasan Peraturan Teknis dalam Prosedur Keberatan Pihak Ketiga dalam Perampasan Barang Bukti Perkara Narkotika menuntut Hakim melakukan Konstruksi Hukum analogis dengan Peraturan lain yang sejenis. Hal tersebut dilakukan guna memastikan pemberian akses kepada Warga Negara untuk memperjuangkan hak atas barangnya di persidangan. Ketidakhadiran Pihak Ketiga dalam perkara pokok tidak serta merta menghapuskan Hak Pihak Ketiga untuk dapat mengajukan Keberatan atas perampasan barang. Sepanjang Pihak Ketiga dapat membuktikan itikad baik, bukti-bukti yang relevan dan tidak ada keterkaitannya dengan tindak pidana narkotika maka hal tersebut dapat dipertimbangkan oleh Majelis Hakim untuk memutus status barang bukti secara berimbang dengan menerapkan asas audi et alteram partem.


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum