Jakarta- Kewajiban mengembalikan gratifikasi baru diatur tahun 2001 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK). Namun jauh sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Sunarto telah terbiasa mengembalikan pemberian yang berbau aroma koruptif itu. Bagaimana kisahnya?
Keteledanan itu bermula saat Prof Sunarto lulus kuliah pada 1984. Selepas meraih Sarjana Hukum dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu ia mendaftar menjadi hakim dan diterima dengan berdinas sebagai Calon Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Pada 1987, Prof Sunarto resmi menjadi hakim dan ditempatkan di Pengadilan Negeri (PN) Merauke, Papua. Kala itu, gaji hakim berkisar Rp 150 ribu dengan tiket pesawat Rp 1 jutaan sekali jalan.
Nah, saat berdinas di PN Merauke itu, Prof Sunarto mendapatkan parsel natal dari Pemda setempat.
“Di tengah rintikan gerimis, beliau meminjam sepeda motor pegawai PN Merauke untuk mengembalikan parsel tersebut,” kisah seorang sumber DANDAPALA, Rabu (5/3/2025).
Esok harinya jajaran Forum Komunikasai Pimpindan Daerah (Forkopimda) heboh mendengar kabar pengembalian parsel tersebut.
“Hal yang tabu mengingat pada saat itu kita belum mengenal code of conduct,” tuturnya.
Di mana kode etik hakim secara universal baru disusun tahun 2002 di India dengan lahirnya ‘The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002’. Sedangkan kewajiban mengembalikan gratifikasi baru tertuang dalam UU Nomor 20/2001 yang ditandatangani pada 21 November 2001 oleh Presiden Megawati. Yaitu:
Pasal 12 B
12C
Saat bertugas di PN Merauke cobaan demi cobaan terus datang. Salah satunya kabar duka bila ibu kandungnya wafat. Dengan gaji Rp 150 ribuan, tiket pesawat tidak terbeli dan transportasi kapal laut butuh waktu perjalanan sebulan lamanya. Prof Sunarto akhirnya hanya bisa salat ghaib dari Merauke mendoakan kepergian ibunya.
“At that time, mudah saja sebenarnya beliau minta fasilitas dari Forkopimda. Tapi beliau kekeuh khawatir di kemudian hari pemda akan menjadi pihak berperkara di pengadilan,” ucapnya.
Meski dengan penuh keterbatasan, dinas di ujung timur Indonesia diselami Prof Sunarto dengan tulus. Hingga akhirnya Prof Sunarto mendapatkan promosi dekat dengan keluarga yaitu di PN Blora pada 1992 dan 6 tahun selanjutnya dinas di PN Pasuruan. Pada 2003 Prof Sunarto dipercaya menjadi Wakil Ketua PN Pasuruan dan dalam tahun yang sama menjadi Ketua PN Trenggalek.
Menginjak tahun 2005, Guru Besar Unair itu mulai menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Gorontalo. Setahun setelahnya menjadi hakim tinggi di Badan Pengawasan (Bawas) MA.
Setelah melalu proses yang panjang, Prof Sunarto menjadi hakim agung pada 2015. Hingga puncaknya menjadi Ketua MA pada Oktober 2024 kemarin.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum