Cari Berita

Kisah Ketua MA Prof Sunarto Kembalikan Parsel dari Pemda

Tim Dandapala - Dandapala Contributor 2025-03-05 10:30:35
Ketua MA Prof Sunarto (dok.ma)

Jakarta- Kewajiban mengembalikan gratifikasi baru diatur tahun 2001 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK). Namun jauh sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Sunarto telah terbiasa mengembalikan pemberian yang berbau aroma koruptif itu. Bagaimana kisahnya?

Keteledanan itu bermula saat Prof Sunarto lulus kuliah pada 1984. Selepas meraih Sarjana Hukum dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu ia mendaftar menjadi hakim dan diterima dengan berdinas sebagai Calon Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Pada 1987, Prof Sunarto resmi menjadi hakim dan ditempatkan di Pengadilan Negeri (PN) Merauke, Papua. Kala itu, gaji hakim berkisar Rp 150 ribu dengan tiket pesawat Rp 1 jutaan sekali jalan.

Nah, saat berdinas di PN Merauke itu, Prof Sunarto mendapatkan parsel natal dari Pemda setempat.

“Di tengah rintikan gerimis, beliau meminjam sepeda motor pegawai PN Merauke untuk mengembalikan parsel tersebut,” kisah seorang sumber DANDAPALA, Rabu (5/3/2025).

Esok harinya jajaran Forum Komunikasai Pimpindan Daerah (Forkopimda) heboh mendengar kabar pengembalian parsel tersebut. 

“Hal yang tabu mengingat pada saat itu kita belum mengenal code of conduct,” tuturnya.

Di mana kode etik hakim secara universal baru disusun tahun 2002 di India dengan lahirnya ‘The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002’. Sedangkan kewajiban mengembalikan gratifikasi baru tertuang dalam UU Nomor 20/2001 yang ditandatangani pada 21 November 2001 oleh Presiden Megawati. Yaitu:

Pasal 12 B 


  1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian  bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima  gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 

  2. 2Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 


12C

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
  2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. 
  3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. 
  4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Saat bertugas di PN Merauke cobaan demi cobaan terus datang. Salah satunya kabar duka bila ibu kandungnya wafat. Dengan gaji Rp 150 ribuan, tiket pesawat tidak terbeli dan transportasi kapal laut butuh waktu perjalanan sebulan lamanya. Prof Sunarto akhirnya hanya bisa salat ghaib dari Merauke mendoakan kepergian ibunya.

“At that time, mudah saja sebenarnya beliau minta fasilitas dari Forkopimda. Tapi beliau kekeuh khawatir di kemudian hari pemda akan menjadi pihak berperkara di pengadilan,” ucapnya.

Meski dengan penuh keterbatasan, dinas di ujung timur Indonesia diselami Prof Sunarto dengan tulus. Hingga akhirnya Prof Sunarto mendapatkan promosi dekat dengan keluarga yaitu di PN Blora pada 1992 dan 6 tahun selanjutnya dinas di PN Pasuruan. Pada 2003 Prof Sunarto dipercaya menjadi Wakil Ketua PN Pasuruan dan dalam tahun yang sama menjadi Ketua PN Trenggalek.

Menginjak tahun 2005, Guru Besar Unair itu mulai menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Gorontalo. Setahun setelahnya menjadi hakim tinggi di Badan Pengawasan (Bawas) MA.

Setelah melalu proses yang panjang, Prof Sunarto menjadi hakim agung pada 2015. Hingga puncaknya menjadi Ketua MA pada Oktober 2024 kemarin.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum