Wakatobi adalah sepenggal surga yang jatuh ke bumi. Keindahan
bawah lautnya bukan sekadar aset pariwisata, melainkan nadi kehidupan bagi
masyarakat Sulawesi Tenggara dan identitas maritim Indonesia.
Namun,
di balik pesona terumbu karang yang memikat dunia, terdengar dentuman yang
menyayat hati: bom ikan. Praktik destruktif ini bukan hanya membunuh ikan,
tetapi juga menghancurkan masa depan ekosistem yang membutuhkan waktu puluhan
tahun untuk pulih.
Sebuah
kasus yang diputus oleh Pengadilan Negeri Wangi Wangi dengan Nomor
10/Pid.B/LH/2022/PN Wgw membuka mata kita tentang dilema penegakan hukum
lingkungan di negara berkembang. Dua nelayan lokal, Toni Cangu dan Awi Bin
Geni, tertangkap tangan melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan peledak.
Baca Juga: Izin Cerai dari Atasan Bagi PNS, Apakah Mutlak?
Ironisnya,
lokasi peledakan tersebut terjadi di perairan Karang Sombano yang secara hukum
telah ditetapkan sebagai Zona Pariwisata Taman Nasional Wakatobi. Wilayah ini
seharusnya sakral dari aktivitas eksploitatif karena diperuntukkan bagi
kepentingan pariwisata alam dan jasa lingkungan.
Majelis
Hakim pada akhirnya menjatuhkan vonis satu tahun penjara dan denda Rp10 juta
kepada para terdakwa. Putusan ini menarik untuk dibedah, bukan hanya dari aspek
pasal-pasal yang dilanggar, melainkan melalui pisau analisis Teori Hukum Pembangunan yang digagas
oleh begawan hukum Indonesia, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Teori ini
memandang hukum tidak boleh sekadar menjadi "penjaga malam" yang
statis, melainkan harus berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat (law
as a tool of social engineering) dan mengabdi pada kepentingan pembangunan
nasional.
Dalam
kacamata Mochtar, hukum di negara berkembang memiliki tugas ganda: menjamin
kepastian demi pembangunan dan memelihara rasa keadilan masyarakat. Putusan
hakim dalam kasus ini tampaknya berusaha meniti buih di antara dua gelombang
besar tersebut.
Pertama,
mari kita lihat dari aspek hukum sebagai pengawal pembangunan. Wakatobi telah
ditetapkan sebagai Taman Nasional dan destinasi wisata prioritas. Ketika
terdakwa meledakkan bom di Zona Pariwisata, mereka sejatinya sedang menyabotase
infrastruktur ekonomi daerah. Hakim menyadari hal ini dengan menyatakan
perbuatan terdakwa sebagai "keadaan yang memberatkan" karena
membahayakan kelestarian Sumber Daya Alam dan mengganggu kegiatan pengembangan
potensi wisata alam di Taman Nasional Wakatobi.
Langkah
progresif terlihat ketika hakim memutuskan untuk merampas barang bukti utama
berupa satu unit perahu body batang, mesin penggerak merk Jiandong 26
PK, dan satu unit mesin kompresor untuk negara. Ini adalah manifestasi dari
fungsi rekayasa sosial. Dengan mencabut alat produksi kejahatan, hukum berupaya
memutus mata rantai kerusakan secara fisik. Dalam perspektif pembangunan, ini
adalah langkah taktis untuk sterilisasi alat yang disalahgunakan untuk merusak
aset nasional.
*Namun,
Teori Hukum Pembangunan juga mengajarkan bahwa hukum harus "membumi"
dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Di sinilah letak
perdebatan menarik dari vonis tersebut. Jaksa Penuntut Umum awalnya menuntut
hukuman dua tahun penjara dan denda yang cukup fantastis, yakni Rp200 juta
subsidair 6 bulan kurungan. Namun, hakim memangkasnya menjadi satu tahun
penjara dan denda hanya Rp10 juta subsidair 1 bulan kurungan.*
*Mengapa
disparitas ini terjadi? Hakim mempertimbangkan sisi humanis. Dalam
pembelaannya, para terdakwa memohon keringanan karena mereka adalah tulang
punggung keluarga. Selain itu, faktor bahwa para terdakwa mengakui, menyesali
perbuatannya, dan belum pernah dihukum menjadi pertimbangan yang meringankan. Mochtar
Kusumaatmadja selalu menekankan bahwa hukum nasional harus sesuai dengan rasa
keadilan masyarakat. Menghukum nelayan kecil dengan denda Rp200 juta mungkin
dianggap tidak realistis secara sosiologis, yang justru bisa kontraproduktif
dengan tujuan pembangunan manusia itu sendiri.*
*Akan
tetapi, jika kita kembali pada fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan
perilaku, vonis ringan ini menyisakan celah kritik. Apakah denda Rp10 juta
cukup memberikan efek jera (deterrent effect) agar masyarakat luas tidak
lagi menggunakan bom? Teori Hukum Pembangunan menuntut hukum agar efektif
mengubah perilaku kolektif.*
Selain
itu, fakta persidangan mengungkap sebuah ironi: Terdakwa I dan II mengaku tidak
mengetahui bahwa perairan Karang Sombano adalah kawasan Zona Pariwisata yang
dilarang keras untuk menangkap ikan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum sebagai
sarana pembaharuan belum sampai pada tahap edukasi dan internalisasi nilai di
tingkat akar rumput. Hukum baru hadir sebagai "pemukul" di akhir,
bukan sebagai panduan perilaku sejak awal. Pembangunan hukum tidak hanya soal
mengetuk palu di ruang sidang, tetapi bagaimana regulasi zonasi Taman Nasional
itu dipahami hingga ke dapur-dapur nelayan.
Kesimpulannya,
Putusan Pengadilan Negeri Wangi Wangi ini adalah cerminan dari upaya kompromi
antara ketegasan menjaga aset pembangunan lingkungan dan empati terhadap
realitas sosial nelayan. Perampasan perahu dan mesin untuk negara adalah sinyal
ketegasan yang tepat, namun edukasi zonasi yang masif adalah pekerjaan rumah
yang belum selesai. Agar kelak, ledakan yang terdengar di Wakatobi hanyalah
ledakan kekaguman wisatawan, bukan ledakan bom yang menyisakan serpihan karang
mati. (ldr/asn)
Referensi
Kusumaatmadja, Mochtar. (1986). Pembinaan Hukum
dalam Rangka Pembangunan Nasional. Bandung: Binacipta.
Kusumaatmadja, Mochtar. (2002). Konsep-Konsep
Hukum dalam Pembangunan. Bandung: Alumni.
Prasetyo, T. (2010). Hukum Pidana dan Perspektif
Teori Hukum Pembangunan. Jurnal Hukum Progresif.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7651/Kpts-II/2002
tentang Penetapan Kawasan Kepulauan Wakatobi dan Perairan di Sekitarnya sebagai
Taman Nasional.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Nomor: SK.149/IV-KK/2007 tentang Zonasi Taman Nasional
Wakatobi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP
Putusan Pengadilan Negeri
Wangi Wangi Nomor 10/Pid.B/LH/2022/PN Wgw. (2022)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI