Cari Berita

Mencari Akar Gratifikasi: Dari Romawi, Sriwijaya hingga UU Tipikor

Bagus Mizan Albab (Calon Hakim PN Cianjur) - Dandapala Contributor 2025-05-28 09:10:48
Bagus Albab (ist.)

ISTILAH gratifikasi sudah dikenal sejak zaman Romawi kuno. Di mana pada saat itu gratifikasi yang dikenal di mana individu memberikan hadiah kepada pejabat publik yang saat itu berpengaruh dengan harapan dari pemberiannya tersebut, akan mendapat perlakuan khusus berupa keuntungan yang didapat. 

Praktik gratifikasi di Indonesia pada awalnya ditemukan dalam catatan seorang Biksu Buddha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke-7, di mana pedagang dari Champa serta Cina yang datang berusaha untuk membuka perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya yang pada saat itu yaitu pada tahun 671 M merupakan pusat perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Para pedagang dari Champa dan Cina tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga kerajaan Sriwijaya pada saat akan bertemu pihak kerajaan Sriwijaya untuk membahas mengenai masalah perdagangan. Praktik pemberian tersebut dimaksud untuk mempermudah komunikasi dan menjalin hubungan baik antara pedagang dari Champa dan Cina agar dikenal baik oleh kerajaan Sriwijaya.

Berdasarkan catatan sejarah di atas, pada prinsipnya tujuan dari pemberian gratifikasi merupakan upaya untuk memperoleh manfaat baik langsung maupun tidak langsung agar terhadap kepentingan dari si pemberi dapat diperhatikan oleh pejabat publik atau penyelenggara negara yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu kebijakan. Praktik gratifikasi yang saat ini ada di masyarakat, menganggap bahwa pemberian hadiah/gratifikasi merupakan sesuatu yang lumrah bahkan merupakan sesuatu hal yang penting dalam hal “kohesi sosial” dalam masyarakat itu sendiri. 

Baca Juga: Melihat Alur Mudah Pelaporan Gratifikasi

Akan tetapi, apabila terhadap praktik gratifikasi ini tidak diatur, maka dikhawatirkan sebagai cikal bakal dari praktik korupsi di kemudian hari. Oleh sebab itu, praktik gratifikasi seyogyanya perlu untuk diatur dalam ketentuan peraturan guna membatasi terhadap praktik-praktik gratifikasi yang lebih mengarah kepada upaya “balas budi” bagi si penerima kepada si pemberi yang mengakibatkan kebijakan yang dikeluarkan tidak bersifat objektif dan sarat akan konflik kepentingan. Dengan demikian, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan gratifikasi di Indonesia serta ratio legis dari pengaturan tersebut.

Pengaturan Gratifikasi

Pengaturan gratifikasi saat ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) yang mana dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) yang mendefinisikan bentuk dari gratifikasi. Dengan demikian, sebagai upaya untuk menghindari konflik kepentingan tersebut, Mahkamah Agung selaku penyelenggara negara telah membuat kebijakan dan pedoman melalui Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025 tentang Petunjuk Teknis dan Pelaksanaan Pengendalian Gratifikasi pada Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya, serta telah diikuti dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pelaporan Gratifikasi sebagai bentuk mendorong pencegahan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan Mahkamah Agung termasuk di dalamnya badan peradilan umum.

Apabila dicermati dalam ketentuan Pasal 12 B ayat 1, UU 20/2001, definisi dari gratifikasi hanya sebatas pada bentuk gratifikasi bukan definisi yang menjelaskan apa itu gratifikasi. Oleh sebab itu, makna gratifikasi dalam Pasal 12 B ayat 1 memiliki makna yang netral, yaitu bisa bermakna positif dan juga bermakna negatif, itulah yang menyebabkan terhadap gratifikasi ada yang berupa gratifikasi wajib dilaporkan, dan tidak wajib dilaporkan berdasarkan kriteria dan ketentuan yang telah diatur. Sifat netral dalam definisi gratifikasi itulah yang menyebabkan kalimat dalam peraturan disebut sebagai “pengendalian” bukan “pencegahan” sebab pada dasarnya tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan gratifikasi yang terbatas pada unsur Pasal 12 B ayat 1 UU 20/2001 dan peraturan lainnya yang termasuk ke dalam kategori gratifikasi yang dilarang atau dengan kata lain, gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan/atau berlawanan dengan kewajiban atau tugas pada prinsipnya wajib ditolak dan penolakan wajib dilaporkan sebagaimana termuat dalam Keputusan Bawas Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025;

Pelaporan atas penerimaan gratifikasi yang wajib dilaporkan merupakan sesuatu hal yang penting, karena terhadap gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang termasuk ke dalam gratifikasi yang wajib dilaporkan, yaitu yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban tugasnya, dianggap sebagai pemberian suap apabila tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari. Oleh sebab itu, Keputusan Bawas Nomor 29/BP/SK/PW1/V/2025 memberikan pedoman untuk pembentukan Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) yang terdiri atas UPG Pusat dan UPG Satuan Kerja yang memiliki tugas di antaranya adalah; (i) Menerima, menganalisis, dan mengadministrasikan laporan penerimaan gratifikasi dari hakim dan aparatur pengadilan; (ii) Meneruskan laporan penerimaan gratifikasi kepada KPK; dan (iii) Melakukan sosialisasi aturan gratifikasi kepada pihak internal dan eksternal. Hal itu sebagai wujud rasa semangat dari Mahkamah Agung guna melakukan pengendalian terhadap penerimaan gratifikasi.

Menghindari Konflik Kepentingan

Memahami gratifikasi dengan cara membedakan suatu pemberian hadiah yang merupakan ke dalam kategori dilarang atau diperbolehkan, dapat dilihat dari sebuah contoh kasus ketika seorang siswa yang datang kepada guru untuk meminta fotokopi dari rangkuman materi pelajaran lalu guru tersebut memberikan, maka hal tersebut merupakan pemberian antara siswa dan guru yang wajar dan diperbolehkan. Hal ini akan berbeda ketika orang tua siswa datang kepada guru lalu memberikan sejumlah uang pada saat pengambilan rapor dengan harapan agar nilai dari si anak dapat diperhatikan, merupakan pemberian gratifikasi yang ilegal atau dilarang sebab terdapat konflik kepentingan atau bertolak belakang dengan kewajiban atau tugas;

Baca Juga: 15 Tahun Pengadilan Tipikor, Saatnya Bangkit untuk Keadilan Substantif

Dengan kata lain, pemberian hadiah kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri perlu untuk mengidentifikasi terkait dengan; (i) apa motif dari pemberian hadiah tersebut, apakah berkaitan dengan tugas dan kewajiban atau dapat memengaruhi keputusan sebagai pejabat publik; (ii) apakah pemberian tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di suatu masa yang akan datang; dan (iii) bagaimana kepantasan nilai dan frekuensi pemberian yang diterima. Ketiga ukuran tersebut merupakan sesuatu yang beralasan mengingat pemberian hadiah kepada penyelenggara negara dapat berakibat pada terbentuknya konflik kepentingan, selain dikhawatirkan dapat memengaruhi pembuatan kebijakan ke depannya juga akan berdampak pada; (i) memengaruhi objektivitas dan profesionalitas; (ii) mengaburkan tindak pidana korupsi; dan (iii) adanya vested interest dan kewajiban timbal balik sehingga tidak lagi independen.

Oleh sebab itu, untuk menghindari adanya konflik kepentingan yang timbul, hendaknya seluruh penyelenggara negara atau pegawai negeri dapat membuat suatu declaration of interest dan komitmen untuk tidak menggunakan kepentingan pribadi, guna memberikan pelayanan dan kebijakan yang objektif. Mulai dari lingkungan keluarga dengan mewujudkan prinsip kesederhanaan lalu diikuti di dunia kerja dengan mengedepankan profesionalitas dan kejujuran.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI