Tidak terasa, dunia sudah memasuki seperempat abad di milenium kedua. Tahun 2025.
Berbeda dengan awal-awal milenium kedua. Tahun 2000. Waktu itu kita masih harus duduk di depan kotak televisi untuk bisa melihat pergantian tahun di berbagai belahan benua. Dari Melbourne, hingga San Fransisco. Kini semua peristiwa tersebut cukup lewat ponsel pintar di tangan kita masing-masing. Sambil rebahan di tempat tidur atau di tengah keramaian.
Dunia yang bergerak sangat cepat tersebut tentu membuat berbagai perubahan dalam masyarakat, termasuk di dunia peradilan. Seperti Mahkamah Agung (MA). Di bawah kepemimpinan Yang Mulia Prof Hatta Ali, MA mulai merintis untuk membuat Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dan memodernisasi sistem IT putusan sehingga menjadi sumber informasi putusan pengadilan terbesar di dunia saat ini.
Di luar pengadilan, masyarakat bergerak lebih cepat lagi. Media sosial tumbuh di luar kendali negara. Demokrasi dan pemilu kini sangat dipengaruhi pergerakan netizen. Kebijakan politik dalam hitungan detik langsung direspon masyarakat.
Sisi negatif tak bisa dihindari. Hoax beririsan dan berbaur dengan kebenaran. Muncul berbagai jenis kejahatan baru di dunia maya. Bahkan korbannya tidak hanya dari masyarakat awam semata.
Akhirnya masyarakat masuk dalam era Volatility(perubahan yang sangat cepat), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity(situasi yang rumit), dan Ambiguity(realitas yang kabur). Atau lazim disingkat VUCA.
Hal itu berbeda jauh dari dengan masa-masa televisi masih hitam putih. Pada tahun 1980-an umpamanya. Mahasiswa Fakultas Hukum harus mengetik manual dan menghabiskan kertas berrim-rim untuk menyelesaikan skripsi. Mahasiswa di daerah, harus datang ke ibu kota Jakarta untuk mencari bahan skripsi yang aktual. Buku yang berkualitas hanya beredar di toko buku kota besar.
Tapi itu dulu. Empat dasawarsa silam. Kini, semua informasi hukum tersaji dalam segenggam smartphone. Masyarakat langsung bisa mengoreksi apabila ada pejabat publik yang salah mengutip pasal atau ayat UU. Ruang aspirasi bergeser dari panggung demonstrasi jalanan ke media sosial.
Apa Peran Hakim Saat Ini?
Di tengah perubahan besar dalam masyarakat, muncul pertanyaan yaitu apalagi fungsi hukum dan hakim saat ini? Apakah hukum dan hakim akan tergantikan?
Jawabannya jelas tidak akan tergantikan. Malah, kondisi terkini semakin menegaskan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan yang tidak bisa digantikan oleh komputer, Artificial Intelligence (AI) dan entah apa lagi yang akan muncul nantinya.
Sebab komputer dalam menjawab suatu masalah tidak mempunyai wisdom, keyakinan dan Tuhan. Karena hukum bukan persoalan matematika belaka atau deret algoritma semata. Apalagi setiap putusan, hakim harus selalu mendasarkan pada Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ada nurani yang tidak bisa dimiliki AI.
Sistem dan jaringan teknologi hanyalah sebuah alat/ tools. Penentunya adalah siapa yang menggunakan tools tersebut. Sama seperti pistol. Penentunya adalah siapa yang memegang pelatuknya (a man behind the gun) . Sebagaimana dalam Perang Dunia II. Hitler bukan kalah karena teknologi perangnya ketinggalan zaman. Tapi karena kesombongan diri membuka medan perang di dua blok sekaligus yaitu blok Barat dengan Inggris dan blok Timur dengan Russia.
Dari rentetan perjalanan zaman itu, maka kini peran human being seorang hakim malah menjadi penentu untuk memecahkan segala Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity dalam masyarakat. Keyakinan hakim menjadi kunci dalam memandu menemukan fakta hukum. Begitu juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, hakim harus semakin dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa dan terus memegang teguh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sedangkan dalam rumah besar bernegara, Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum bersama.
Selamat Tahun Baru 2025!
Mari kita jadikan tahun ini sebagai tahun pencapaian terbaik bagi pencari keadilan.
Dirjen Badilum Mahkamah Agung
H Bambang Myanto SH MH