Jakarta- Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis bebas Kepala Bappeda Kabupaten Yapen, Rony Theo Ayorbaba (51) dalam kasus korupsi. MA mengubah hukuman Ronny menjadi hukuman 6 tahun penjara.
Kasus yang menjerat Ronny yaitu terjadi pada 2013-2016. Saat itu Ronny adalah Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Yapen. Dalam kepemimpinannya, terdapat kebocoran anggaran terkait sejumlah fasilitas pendidikan. Alhasil, Ronny diproses secara hukum.
Pada 4 April 2024, Pengadian Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jayapura menyatakan Rony tidak bersalah dan membebaskan Ronny. Atas hal itu, jaksa tidak terima dan mengajukan kasasi.
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar Rp 300 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” demikian bunyi amar putusan yang dikutip DANDAPALA dari website MA, Rabu (5/3/2025).
Putusan itu diketok oleh hakim agung Prim Haryadi selaku ketua majelis serta hakim ad hoc Arizon Mega Jaya dan hakim agung Prof Yanto selaku hakim anggota. Majelis juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1.583.133.800.
“Dengan ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda milik Terdakwa akan disita oleh Jaksa dan dilelang untuk melunasi pembayaran uang pengganti tersebut, dan apabila Terdakwa tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk melunasi pembayaran uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun,” bunyi putusan itu.
Berikut alasan MA mengubah hukuman Rony:
Terdakwa sebagai Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kepulauan Yapen Tahun 2013 sampai dengan awal Tahun 2016, dan juga menjabat selaku Pengguna Anggaran dan penanggungjawab pada kegiatan Program Sarjana Kependidikan Bagi Guru Dalam Jabatan (PSKGJ), tidak melakukan pengawasan dan pengendalian atas dana yang telah dikeluarkan dalam kegiatan PSKGJ Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2015, sehingga terdapat pembayaran yang tidak sesuai dengan kegiatan mahasiswa PSKGJ seperti Pembayaran Pelatihan Komputer, Pembayaran PPL, dan Pembayaran KKN, dimana kegiatan-kegiatan tersebut tidak pernah dilakukan untuk mahasiswa PSKGJ (fiktif). Pertanggungjawaban yang dibuat oleh Saksi Julius Renmaur selaku Bendahara kegiatan PSKGJ yang tidak sesuai dengan fakta penggunaan yang sebenarnya, dan hal tersebut juga diketahui oleh Terdakwa;
Bahwa terdapat permintaan dana yang tidak sesuai disebabkan karena tidak adanya perjanjian kerja sama antara Pemerintah Daerah Kepulauan Yapen dengan Universita Negeri Manado (UNIMA) yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak serta rincian anggaran biaya yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Yapen sehingga pihak PSKGJ UNIMA meminta dana tanpa adanya standar biaya yang disepakati bersama, yang menjadikan mudah dilakukan manipulasi dan penyimpangan;
Bahwa perbuatan Terdakwa bersama Saksi Julius Renmaur selaku Bendahara Kegiatan PSKGJ dan Saksi Prof. Dr. Maria Josephtine Wantah, M.Pd., selaku Direktur Eksekutif PSKGJ UNIMA dalam kegiatan PSKGJ pada Tahun 2011-2015, yang telah merekayasa kegiatan dan menggelembungkan harga satuan kegiatan dan jumlah mahasiswa, telah mengakibatkan sejumlah 263 mahasiswa PSKGJ tersebut belum diberikan ijazah dan transkrip nilai dari UNIMA sesuai keterangan Saksi Prof. Dr. Julyeta Paulina Amelia Runtuwene selaku Rektor Universitas Negeri Manado (UNIMA) Tahun 2016, dikarenakan tidak adanya surat persetujuan ujian akhir komprehensif oleh Pembantu Rektor I atas nama Rektor yang menjadi dasar pelaksanaan ujian akhir mahasiswa, sehingga pada tahun 2019 dilaksanakan ujian ulang komprehensif dengan anggaran sebesar Rp 810.073.800, setelah dipotong pajak, setelah ujian tersebut 263 mahasiswa PSKGJ tersebut mendapat ijazah dan Transkrip Nilai pada Tahun 2020 dan Tahun 2021
Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Papua tanggal 19 Oktober 2021, jumlah kerugian Keuangan Negara/Daerah sebesar Rp6.073.711.300,00 (enam miliar delapan ratus delapan belas juta delapan ratus delapan belas ribu delapan ratus rupiah)
Bahwa meskipun yang menyatakan adanya kerugian negara adalah BPKP, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 31/PUU-X/2012 berpendapat bahwa KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, sehingga berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut BPKP dapat menghitung kerugian keuangan negara;
Bahwa selanjutnya dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang mendeclare kerugian keuangan negara, namun instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daeral tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau mendeclare adanya kerugian keuangan Negara, dan dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara;
Bahwa dengan mempertimbangkan fakta bahwa terdapat uang yang penggunaannya tidak dapat dipertanggungjawabkan Saksi Prof. Dr. Maria Josephtine Wantah, M.Pd., sebagai Direktur Pelaksana/Eksekutif Program Sarjana Kependidikan Bagi Guru Dalam Jabatan (PSKGJ) maupun oleh Saksi Julius Renmaur sebagai bendahara kegiatan Program Sarjana Kependidikan Bagi Guru Dalam Jabatan (PSKGJ) pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kepulauan Yapen periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 pada Kerja Sama Pengembangan Bidang Pendidikan, Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua Antara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Yapen Dengan Universitas Negeri Manado Tahun Anggaran 2011 – 2016, yang disetujui oleh Terdakwa, mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara, maka secara materiil perbuatan Terdakwa merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang pada dirinya, sehingga perbuatan Terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP, sebagaimana dakwaan Subsidair Penuntut Umum;
Bahwa terkait dengan pidana tambahan uang pengganti berdasarkan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pidana Tambahan Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi maka berdasarkan Pasal 4 Ayat (2) Apabila harta benda yang diperoleh masing-masing Terdakwa tidak diketahui secara pasti jumlahnya, uang pengganti dapat dijatuhkan secara proporsional dan objektif sesuai dengan peran masing-masing Terdakwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukannya;
Bahwa oleh karena itu terhadap Terdakwa sepatutnya dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp1.583.133.800,00 (satu miliar lima ratus delapan puluh tiga juta seratus tiga puluh tiga ribu delapan ratus rupiah) dari kerugian Negara sebesar Rp6.073.711.300,00 (enam miliar tujuh puluh tiga juta tujuh ratus sebelas ribu tiga ratus rupiah), sedangkan sisanya dibebankan secara proporsional kepada Saksi Prof. Dr. Maria Josephtine Wantah, M.Pd. dan Saksi Julius Renmaur.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum