Cari Berita

Arsip Pengadilan 1928: 7 Fakta Sadisnya Pembunuhan 7 Orang Sekeluarga di NTT

Andi Saputra - Dandapala Contributor 2025-02-26 20:50:37
Dok.PN Larantuka

Larantuka- 97 tahun lalu, terjadi kasus pembunuhan sadis nan biadab pernah terjadi di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Satu keluarga yang berjumlah 5 orang dibunuh secara kejam oleh satu orang. Arsip pengadilan menceritakan secara detail.

Berikut 5 fakta yang dikutip dari salinan putusan pengadilan sebagaimana dihimpun DANDAPALA, Rabu (26/2/2025):


1. Raja di Flores Timur Jadi Hakim

Saat itu Larantuka masih dipimpin oleh seorang raja yang bernama A.B.de Rozari dan pengadilan di bawah pemerintahan Belanda baru saja terbentuk, setidaknya beberapa tahun sebelumnya. Kisah ini diambil dari arsip berkas perkara dari Pengadilan Negeri Larantuka yang bersampul “No. 23/1928  Raad Van Landshoofden te Larantoeka”.  Di beberapa buku sejarah tentang kota Larantuka salah satunya yang ditulis oleh Felix Fernandez (Bupati Flores Timur 2000-2005), pengadilan di Larantuka dikenal dengan nama pengadilan Swapradja. 

Sewaktu Belanda datang pengadilan ini diberi nama Raad Van Landshoofden atau RVL. Uniknya di tempat lain, contohnya di Kalimantan RVL ini oleh pemerintah Hindia Belanda dikhususkan untuk mereka bangsa timur asing atau Tionghoa.

Kenapa Felix menjelaskan bahwa pengadilan sebagai swapradja ? karena waktu itu hakim-hakim yang bertugas adalah para raja yang menguasi wilayah Kabupaten Flores Timur. Kita kembali kepada kasus No. 23/1928, duduk sebagai majelis hakim:

  1. Voorzitter: A.B.de Rozari radja van Larantoeka
  2. Leden: Kapitan Poera radja van Trong
  3. Gorang Solang kapitan van Lewo Tolo
  4. Adviseur: Bapa Ana kapitan van Adoenara
  5. Leider: W.J.Houwing fd Controleur van Oost Flores


2. Didakwa Membunuh 7 Orang Sekeluarga

Belang Tewololong dkk dituduh dengan Pasal 340 WvS. Yaitu pada suatu hari sekitar pukul 08.00 pagi dalam bulan Februari tahun 1927, tanggal pastinya sudah tidak diingat lagi, dengan sengaja dan direncanakan sebelumnya telah menghilangkan nyawa Doea Basa dan istrinya, Somi Nogo, serta tiga anaknya yang bernama Kasihan Doea, Dai Doea, dan Ola Does, yang berada di ladang milik Doea Basa di bagian Kampung Lemaniat, Gemeente, dan landschap Adonara. 

Selain itu, terdakwa juga membunuh dua anak lainnya, yakni Killa Doea dan Lesoe Doea, di dekat pohon-pohon nira milik Doea Basa di sekitar ladangnya, yang juga terletak di bagian Kampung Lamaniat, Gemeente, Adonara.


3. Alasan Membunuh: Sihir (Soeanggi)

Di muka persidangan diperiksa lima orang saksi yang bernama Saksi Waleng Boli, Saksi Bastian Dian, Saksi Mello Fernandez dan Saksi Kopong Barek. Dari pemeriksaan hakim menyimpulkan telah memperoleh fakta hukum:

Terdakwa Belang Tewololong pada suatu pagi di bulan Februari 1927, pada tanggal yang tidak lagi diketahui, telah memanggil anggota keluarganya, yaitu Bala Tewololong, Hering Tewololong, Bela Sengadji, dan Kene Ola Laba, ke rumah kecilnya di luar kampung Lamaniat. Di sana, ia memberi tahu mereka bahwa Doca Basa beserta istri dan anak-anaknya pasti menjadi penyebab kematian istrinya. 

Hal ini karena pada pagi hari saat istrinya mengalami persalinan yang sangat sulit, Terdakwa Belang Tewololong telah menampar wajah Somi Nogo karena ia telah mencuri jagungnya. Dengan kata lain, Terdakwa percara bahwa istrinya telah disihir (Soeanggi) oleh keluarga Somi Nogo tersebut, sehingga istrinya meninggal dunia tiga hari setelah melahirkan.

Setelah kejadian itu, Belang Tewololong membujuk para terdakwa lainnya untuk membunuh seluruh keluarga Soeanggi tersebut. Para terdakwa lainnya, yang percaya bahwa keluarga itu adalah penyebabnya, menerima usul tersebut dan bersama Belang Tewololong pergi ke rumah ladang Doca Basa, masing-masing membawa parang. 


4. Pembunuhan yang Sadis Nan Biadab

Sesampainya di lokasi kejadian, Belang Tewololong dan Bala Sengadji memasuki rumah ladang Doca Basa, sementara Bala Tewololong, Hering Tewololong, dan Kene Ola Laba berjaga di luar rumah.

Setelah masuk, Belang Tewololong langsung menebas leher Somi Nogo dengan parangnya hingga hampir putus, sehingga wanita tersebut langsung meninggal dunia. Pada saat yang bersamaan, Bala Sengadji menebas leher Doca Basa dengan parangnya hingga kepalanya terpenggal sepenuhnya.

Sementara itu, tiga anak kecil yang juga berada di dalam rumah melarikan diri ke luar. Namun, Hering Tewololong mengejar dan langsung menebas punggung anak bernama Kasihan Doea, sehingga anak tersebut langsung tewas. Pada saat yang sama, Bala Tewololong menebas leher anak bernama Emi Doea, yang juga langsung meninggal dunia. Kene Ola Laba menebas leher anak bernama Ola Doea hingga kepalanya terpenggal.

Terdakwa mengetahui bahwa Doca Basa memiliki lima orang anak, sehingga mereka mencari dua anak lainnya. Akhirnya, mereka menemukan kedua anak tersebut di dekat pohon-pohon milik Doca Basa. Hering Tewololong, yang paling cepat berlari untuk menangkap salah satu anak, menebas punggung anak bernama Kia Doea hingga anak itu langsung meninggal. Secara bersamaan, Bala Sengadji menebas pinggul kiri anak bernama Lesos Doen hingga mengenai tulang belakangnya, menyebabkan anak tersebut langsung tewas.


5. Korban Dimakamkan Pelaku

Lima hari kemudian, para terdakwa menguburkan mayat-mayat tersebut. Jasad Doca Basa, Somi Nogo, Kasihan Doea, Emi Doea, dan Ola Doea dikuburkan dalam satu lubang di dekat rumah ladang mereka, sedangkan Kia Doea dan Lesos Doea dikuburkan di lubang lain di dekat pohon-pohon milik Doca Basa.


6. Pertimbangan Hakim

Menimbang bahwa dari pengakuan para terdakwa dapat dipastikan adanya unsur kesengajaan dan perencanaan, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pembunuhan. Namun, sebagai faktor yang meringankan, harus diperhitungkan keyakinan kuat para terdakwa terhadap keberadaan Soeanggi (sihir), sebagaimana diyakini oleh seluruh penduduk di pulau-pulau ini.


7. Amar Putusan

Berdasarkan adat yang berlaku, dalam kasus seperti ini, para terdakwa sebenarnya tidak akan dituntut atas pembunuhan terhadap Soeanggi (sihir), tetapi atas pelanggaran terhadap adat. Sebab, adat telah menetapkan bahwa Soeanggi (sihir) harus dipindahkan ke pulau lain dalam wilayah ini, bukan dibunuh. 

Oleh karena itu, para terdakwa dijatuhi hukuman pengasingan seumur hidup ke pulau lain dalam wilayah ini.