Hakim dalam beberapa bulan terakhir menjadi sorotan dan highlight baik perilaku yang diperbuat maupun hasil proses persidangan yaitu putusan. Lalu bagaimana seharusnya seorang hakim menjadi profesional?
Hakim sebagai penegak hukum mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam mengemban tugas penegakan hukum dan keadilan, hakim mempunyai kewajiban-kewajiban berat yang harus ditunaikan demi tercapainya tujuan yang ditentukan yaitu suatu masyarakat yang adil dan makmur. Tugas Hakim sungguh sangat berat. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir (the last resort) bagi para pencari keadilan (justiciable).
Dalam posisi seperti ini, hakim dituntut harus mempunyai kemampuan profesional, moral dan integritas yang tinggi agar dalam memutus suatu perkara pidana yang mencerminkan rasa keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum.
Beratnya tanggung jawab Hakim disebabkan hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, para pihak, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu pengetahuan hukum. Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan Hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berkomunikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat. Tugas Hakim selain bersifat praktis rutin, juga bersifat ilmiah. Sifat tugas hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa Hakim dalam menjaga perilaku dan berinteraksi sosial itu penting, dan dalam menjalankan yakni memutus suatu perkara harus benar-benar menegakkan hukum dan keadilan atas hal tersebut hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hukum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar penyusunan putusannya. Dengan cara ini pula Hakim dapat berperan aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masyarakat saat ini.
Putusan Hakim
Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di kalangan masyarakat. Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, putusan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, Undang -undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.
Hakim dalam menjatuhkan Putusan secara formiil terdapat 2 (dua) hal yang harus dipertimbangkan mengenai dua hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana struktur pengambilan keputusan adalah : Pertama, pertimbangan tentang fakta-fakta (apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; Kedua, mempertimbangkan tentang hukumnya (apakah perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana dan terdakwa bersalah, sehingga bisa dijatuhi putusan pidana.
Hakim dalam memutus suatu perkara bukanlah “mulut/corong undang-undang” (bouche de la loi atau spreekbuis van de wet). Hakim juga tidak boleh dipasung dengan rumusan perundang-undangan yang terasa rijid dan kaku/keras ketika dihadapkan pada fakta dominasi faktor-faktor yang meringankan yang bersubstansikan keadilan. Misalnya faktor meringankan yang terkait dengan perbuatannya (dalam perkara pidana misalnya akibat yang muncul dari perbuatan pidana tersebut), dan/atau yang terkait dengan orangnya (status atau kedudukan orang tersebut yang diduga melakukan tindak pidana), dan/atau yang terkait dengan korban (misalnya, adanya pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan terhadap kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan), sehingga perkara pidana yang diajukan dalam suatu persidangan memiliki karakteristik dan pertimbangan masing-masing, sehingga Pengadilan bukanlah merupakan lembaga stampel atau pengesah setiap terdakwa yang disidangkan harus bersalah.
Pada dasarnya hakim dalam menjatuhkan putusan, termasuk pula putusan terhadap pelaku tindak pidana, hakim dapat menggunakan beberapa hal yang menjadi dasar pertimbanganya, dan kemudian dasar pertimbangan tersebut dimasuk ke dalam putusan yang meliputi, pertimbangan yang bersifat yuridis hukum yang menjadi dasar perilaku dan acuan dalam memutus dan pertimbangan yang bersifat non yuridis dan hal-hal yang memberatkan serta hal-hal yang meringankan.
Putusan hakim merupakan proses akhir dalam persidangan diberi kebebasan untuk menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan dari segi obyektif yaitu aturan yang berlaku dan fakta hukum yang ada dengan mengacu pada dakwaan penuntut umum dan mempertimbangkan dari segi subyektif dalam berbagai aspek, mulai dari psikologis terdakwa, lingkungan sosial (sosiologis) serta berat dan ringannya suatu perbuatan pidana (tindak pidana) sehingga pidana yang diberikan kepada terdakwa mencerminkan rasa keadilan dan mempunyai nilai hukum.
Putusan Hakim dalam perkara pidana memiliki perlakuan dan tanggung jawab yang sama tidak ada perbedaan, sehingga terhadap putusan hakim berupa pemidanaan, lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan bebas merupakan suatu proses panjang dalam mempertimbangkan segala fakta hukum yang ada dengan berdasarkan persesusaian alat bukti dan keyakinan hakim dengan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, bagi terdakwa, korban dan masyarakat dengan pertanggung jawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Profesionalisme Hakim
Profesionalisme adalah sikap, perilaku, dan etika yang menunjukkan komitmen untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik. Profesionalisme juga dapat diartikan sebagai tingkah laku, kepakaran, atau kualitas dari seseorang yang profesional. Hakim dalam memutus harus memiliki kompetensi dan sikap profesional dalam proses peradilan sehingga dalam memutus perkara yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, dan sesuai dengan hukum. Beberapa kriteria tersebut misalnya: memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai, memiliki integritas, moral dan karakter yang baik, mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara ideologis, etnis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya) memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbicara dan menulis, mampu menegakkan Profesional dalam negara hukum dan bertindak independen dan impasial, memiliki kemampuan administratif, dan efisien.
Hakim dalam menjalankan tugasnya dipengaruhi oleh setidaknya dua aspek, yaitu integritas hakim dan peraturan perundang-undangan. Dalam sikap professional hakim Integritas hakim merupakan hal penting dan berpengaruh dalam memutus suatu perkara. Ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Hakim yang profesional sebagaimana pendapat Menteri Kehakiman Belanda, Odette Buitendam, menyatakan bahwa good judges are not born but made. Hal tersebut sejalan dengan sambutan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial Dr. Sunarto, S.H., M.H. dalam pembukaan Pendidikan Calon Hakim tahun 2019 bahwa untuk menjadi hakim yang profesional harus memenuhi 3 kriteria yaitu memiliki kompetensi yang baik, kemampuan (pengalaman), dan integritas dan selanjutnya beliau mengatakan bahwa judge is not born but made with integrity, intellectual, and skill.
Lebih lanjut Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. dalam Refleksi Akhir Tahun 2024 menyampaikan agar hakim dapat memperbaiki perilaku untuk menjaga integritas. Integritas pun juga akan menjadi isu utama dan dijadikan tema dalam Laporan Tahunan yang akan diselenggarakan pada bulan Februari Tahun 2025.
Komitmen Mahkamah Agung untuk menjadikan integritas sebagai kunci dalam upaya membangun lembaga peradilan yang berkualitas dan sebagai pondasi kepercayaan publik, sehingga para hakim diharapkan lebih baik lagi dalam berperilaku, lebih arif, bijaksana dan rendah hati dengan berpedoman pada pada etika profesi, dan dalam memutus dengan penuh professional berpegang teguh peraturan perundang-undangan.
Amirul Faqih Amza
Hakim/Jubir Pengadilan Negeri (PN) Sumber