Jakarta - Mahkamah Agung Republik Indonesia resmi menerbitkan SK Kepala Badan Pengawasan Nomor 29/BP/SK.PW1/V/2025 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Gratifikasi di lingkungan Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.
Keputusan ini diterbitkan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sekaligus membangun budaya integritas dan akuntabilitas di tubuh peradilan Indonesia.
“Gratifikasi kepada Hakim atau Aparatur Pengadilan jika berhubungan dengan jabatan dan/atau berlawanan dengan kewajiban, atau tugas pada prinsipnya wajib ditolak dan penolakan wajib dilaporkan,” tegas Sugiyanto, Plt. Kepala Badan Pengawasan MA RI, dikutip dalam Lampiran SK Kabawas tsb.
Baca Juga: Melihat Alur Mudah Pelaporan Gratifikasi
Melalui petunjuk teknis ini, Mahkamah Agung memperjelas struktur dan mekanisme kerja Unit PengendalianGratifikasi (UPG) terdiri dari UPG Pusat dan UPG Satuan Kerja (UPG Tingkat I sampai dengan UPG Tingkat III).
Sebut saja salah satunya tugas UPG tingkat III terdiri dari:
- Menerima, menganalisis, dan mengadministrasikan laporan penerimaan gratifikasi dari hakim dan aparatur pengadilan;
- Menerima dan mengadministrasikan laporan penolakan gratifikasi dalam hal hakim dan aparatur pengadilan melaporkan penolakan gratifikasi;
- Melakukan pendampingan kepada pelapor untuk melakukan pelaporan mandiri melalui aplikasi GOL KPK;
- Melakukan sosialisasi aturan gratifikasi kepada pihak internal dan eksternal;
- Melakukan pemantauan dan evaluasi penerapan pengendalian gratifikasi di satuan kerja;
- Menyampaikan laporan pelaksanaan pengendalian gratifikasi di satuan kerja secara periodic kepada UPG tingkat II.
Seluruh laporan gratifikasi dapat disampaikan melalui aplikasi gratifikasi online (GOL) KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi melalui formulir pelaporan gratifikasi yang dapat diunduh pada tautan berikut https://bit.ly/mari_laporgratifikasi atau UPG Pusat jika gratifikasi diterima oleh hakim dan aparatur lingkungan eselon I Mahkamah Agung.
SK ini menegaskan kembali ketentuan bahwa hakim dan aparatur peradilan dilarang menerima hadiah, janji, pinjaman, atau fasilitas dari pihak beperkara atau yang berkepentingan terhadap perkara, termasuk juga larangan kepada keluarga hingga derajat ketiga.
Meski begitu, ada pengecualian tertentu seperti pemberian dalam rangka pernikahan, kelahiran, keuntungan atau bunga dari investasi, manfaat dari koperasi hingga pemberian sesama rekan kerja dalam rangka pisah sambut, mutasi, pensiun atau ulang tahun hingga pemberian cendera mata/plakat selama tidak melampaui nominal yang telah ditentukan dan tidak melanggar kepatutan.
Baca Juga: Mencari Akar Gratifikasi: Dari Romawi, Sriwijaya hingga UU Tipikor
Hakim dan aparatur pengadilan yang melaporkan gratifikasi berhak atas perlindungan identitas dan tidak terdapat intimidasi dan diskriminasi dalam aspek kepegawaian. Pelapor gratifikasi yang menghadapi ancaman/potensi ancaman yang bersifat fisik ataupun psikis, termasuk terhadap karir pelapor dapat mengajukan permintaan perlindungan kepada Badan Pengawasan dan/atau KPK.
Dengan terbitnya SK ini, Mahkamah Agung RI mengirim pesan kuat dan komitmen sekaligus mengingatkan kembali pesan Ketua Mahkamah Agung RI dalam sambutannya pada penyerahan Sertifikat SMAP, Penganugerahan Insan Antigratifikasi dan Seminar Nasional Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun 2024 bahwa “integritas ibarat lentera yang cahayanya dapat menerangi gulita. Agar lentera integritas tetap menyala, diperlukan komitmen bersama untuk saling menjaga”, tegas Prof. Sunarto. IKAW
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI