Cari Berita

Kesederhanaan Hidup: Benteng Integritas, Nilai Keagamaan dan Perlindungan Sosial

Christa Yulianta Prabandana - Hakim PN Putussibau - Dandapala Contributor 2025-05-23 12:05:43
Dok. Penulis.

Dalam sistem peradilan, integritas bukan sekadar tuntutan profesi, melainkan panggilan moral dan spiritual yang menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Hakim dan pegawai pengadilan adalah penjaga keadilan sekaligus representasi wajah hukum di tengah masyarakat. Oleh karena itu, kehidupan mereka, baik di ruang sidang maupun di ruang pribadi, harus menjadi cerminan dari nilai-nilai luhur yang dipegang bangsa Indonesia, termasuk nilai keagamaan dan budaya lokal yang menjunjung tinggi kesederhanaan.

Kesadaran akan pentingnya gaya hidup sederhana ini diperkuat melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (Ditjen Badilum) Mahkamah Agung Republik Indonesia. Surat ini bukan sekadar pedoman administratif, tetapi merupakan seruan moral dan sosial untuk memperkuat integritas aparatur peradilan melalui pola hidup yang bersahaja, bersih dari perilaku konsumtif, serta bebas dari godaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Baca Juga: Tips Memilih Klasifikasi Perkara Lingkungan Hidup di SIPP

Hidup sederhana dalam konteks ini tidak berarti menolak kemajuan atau menutup diri dari kemudahan modern. Justru sebaliknya, kesederhanaan adalah bentuk kebijaksanaan, yakni hidup sesuai kemampuan, tidak berlebihan, dan tetap fokus pada esensi tugas sebagai pelayan keadilan.

Konsep ini sejatinya sejalan dengan ajaran agama-agama besar di Indonesia, seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan lainnya, yang mengajarkan nilai qana’ah (rasa cukup), zuhud (tidak bergantung pada dunia), kerendahan hati, serta menjauhi riya (pamer) dan kesombongan.

Dalam Islam, misalnya, Rasulullah SAW adalah teladan utama kesederhanaan, meski beliau memiliki kesempatan untuk hidup mewah. Demikian pula ajaran Kristen mendorong hidup dalam kasih, kerendahan hati, dan menjauhi keserakahan.

Prinsip dharma dalam Hindu menekankan pada hidup bermakna dan menghindari hawa nafsu berlebihan. Nilai-nilai ini menjadi fondasi spiritual yang dapat memperkuat alasan moral dan religius bagi hakim serta pegawai pengadilan untuk menghindari gaya hidup hedonis yang berpotensi menyeret pada penyalahgunaan kekuasaan.

Nilai kesederhanaan ini juga telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Dalam banyak kearifan lokal-seperti falsafah “sederhana itu mulia” di Jawa, prinsip “ada adat, ada aturan” di Minangkabau, atau semangat mapalus di Sulawesi Utara—terdapat kesamaan nilai yang menjunjung harmoni, kesahajaan, dan rasa malu bila berlebihan. Dalam budaya Betawi, misalnya, dikenal istilah “hidup jangan neko-neko”—sebuah prinsip hidup yang sederhana, jujur, dan lurus. Nilai-nilai inilah yang menjadi perekat sosial dan moralitas publik terhadap pejabat dan tokoh masyarakat.

Dalam kerangka teori interaksionisme simbolik, simbol kesederhanaan ini akan membentuk persepsi publik tentang integritas. Ketika hakim tidak memamerkan kemewahan atau pegawai pengadilan hidup secara wajar, maka yang terbaca oleh masyarakat bukan sekadar gaya hidup, tetapi nilai kejujuran dan ketulusan. Hal ini memperkuat legitimasi sosial dan membangun jembatan kepercayaan antara rakyat dan lembaga peradilan.

Sebaliknya, teori konflik mengingatkan bahwa kesenjangan gaya hidup antara elite hukum dan rakyat biasa dapat memicu ketegangan sosial dan erosi kepercayaan. Oleh sebab itu, dengan mengadopsi kesederhanaan, aparatur peradilan bukan hanya melindungi dirinya dari godaan eksternal seperti gratifikasi, tetapi juga dari penilaian negatif masyarakat yang berujung pada delegitimasi institusi hukum.

Hidup sederhana juga selaras dengan Kode Etik Hakim dan Pegawai Pengadilan. Pasal 4 Kode Etik Hakim mengamanatkan untuk menjaga martabat jabatan baik dalam tugas maupun kehidupan pribadi. Pasal 5 menegaskan larangan menerima hadiah atau gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan.

Dalam konteks ini, kesederhanaan berfungsi sebagai filter moral yang secara otomatis mencegah lahirnya motif penyimpangan. Demikian pula bagi pegawai pengadilan, hidup sesuai penghasilan resmi bukan hanya bentuk ketaatan terhadap aturan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap masyarakat yang membiayai gaji mereka melalui pajak.

Secara praktis, penerapan kesederhanaan dapat diwujudkan dalam beberapa cara: tidak membeli atau memamerkan barang-barang mewah, menyelenggarakan acara keluarga dengan sederhana, menggunakan fasilitas dinas hanya untuk tugas resmi, dan menolak segala bentuk gratifikasi. Hal-hal ini bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi perwujudan dari nilai religius, budaya lokal, dan etika profesional.

Baca Juga: Potret Benteng Rotterdam, Tempat Hari-hari Terakhir Pangeran Diponegoro

Dalam kerangka hukum positif, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025 memberikan legitimasi legal untuk langkah-langkah tersebut. Ini menjadi bukti bahwa negara tidak hanya mendukung pola hidup sederhana secara moral, tetapi juga secara hukum. Dengan demikian, hidup sederhana bukan lagi pilihan personal, melainkan bagian dari tanggungjawab jabatan.

Kesederhanaan juga menjadi kekuatan sosial. Masyarakat akan lebih mudah bersimpati, menghormati, dan melindungi aparatur hukum yang menunjukkan sikap rendah hati dan tidak mencolok. Sosok hakim yang naik sepeda motor atau mobil sederhana ke kantor atau pegawai pengadilan yang tidak menggelar pesta mewah bukanlah simbol kemiskinan, melainkan lambang keteguhan moral. Di tengah era media sosial dan gaya hidup konsumtif, kesederhanaan adalah perlawanan elegan yang membangkitkan kepercayaan publik.

Kesimpulan, kesederhanaan hidup bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang berakar dari nilai agama, budaya, etika profesi, dan hukum. Bagi aparatur peradilan, kesederhanaan adalah jalan menjaga kehormatan pribadi dan institusi. Bagi masyarakat, ia adalah jaminan bahwa hukum dijalankan oleh manusia yang layak dipercaya. Dan bagi negara, kesederhanaan adalah benteng terhadap penyimpangan serta fondasi bagi peradilan yang kuat dan bermartabat. Di sinilah letak kekuatan sejati dari seorang hakim dan pegawai pengadilan—bukan pada simbol kemewahan, tetapi pada integritas yang membumi dalam kesederhanaan. (LDR)


Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI