Setiap anak yang berhadapan dengan hukum, terlebih sebagai korban, berada dalam posisi yang rentan dan traumatis. Mereka bukan hanya menghadapi proses hukum yang kompleks dan menakutkan, tetapi juga harus berjuang memulihkan luka batinnya. Dalam situasi ini, peran orang tua bukan sekadar pendamping, melainkan sebuah kewajiban hukum dan moral yang absolut.
Sayangnya, komitmen ini sering kali absen, meninggalkan anak berjuang sendirian di tengah sistem yang bisa sangat keras. Oleh karena itu, sudah saatnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) diperkuat dengan memberikan sanksi hukum yang tegas bagi orang tua yang lalai menjalankan kewajiban mendampingi anaknya.
UU SPPA sejatinya telah memberikan perlindungan yang progresif. Pasal 3 menegaskan bahwa setiap anak dalam proses peradilan berhak mendapat pendampingan dari orang tua atau wali. Lebih lanjut, Pasal 23 ayat 2 secara eksplisit menyatakan bahwa Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Korban atau Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak Saksi, atau Pekerja Sosial.
Baca Juga: Menelusuri Penerapan Pidana Peringatan Terhadap Anak
Pasal ini adalah sebuah kemajuan besar karena UU tersebut memahami bahwa kehadiran orang tua memberikan rasa aman, dukungan psikologis, dan memastikan hak-hak anak dapat disampaikan dengan baik.
Namun, UU SPPA memiliki kelemahan krusial: tidak ada satu pun pasal yang mengatur konsekuensi hukum bagi orang tua yang dengan sengaja mangkir dari kewajiban ini. Aturan ini ibarat harimau tanpa gigi. Tanpa sanksi, kewajiban tersebut mudah diabaikan.
Dalam praktiknya, banyak orang tua yang karena alasan pekerjaan, ketidaktahuan, atau bahkan rasa malu, tidak hadir mendampingi anak mereka. Anak korban kekerasan seksual, misalnya, justru sering kali harus menjalani pemeriksaan yang berulang dan memerlukan keberanian untuk bercerita tanpa adanya figur pelindung
utama di sampingnya. Dampaknya, trauma anak semakin dalam dan proses hukum bisa terhambat karena anak tidak kooperatif akibat ketakutan.
Kelalaian orang tua dalam mendampingi anak bukanlah sebuah pelanggaran ringan. Dampaknya bersifat multidimensional, terutama pada aspek psikologis dan hukum. Secara psikologis, anak yang harus menghadapi interogasi, konfrontasi dengan pelaku, atau sekadar suasana ruang pemeriksaan yang formal tanpa dukungan orang tua akan mengalami peningkatan kecemasan, ketakutan, dan rasa terisolasi. Proses peradilan yang seharusnya menjadi jalan untuk mendapatkan keadilan justru berubah menjadi sumber trauma sekunder.
Kehadiran orang tua berfungsi sebagai pondasi keamanan yang secara emosional menstabilkan anak, membantunya mengelola stres, dan memberikan keberanian untuk bersuara. Secara hukum, ketidakhadiran orang tua dapat menghambat jalanya pemeriksaan karena anak menjadi lebih tertutup sehingga tidak dapat memberikan keterangan-keterangan secara lengkap dan konsisten.
Argumentasi bahwa pemidanaan terhadap orang tua yang lalai akan menambah masalah keluarga harus ditolak. Pemberian sanksi tidak harus selalu berupa pidana penjara. Sanksi dapat bersifat progresif, mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga pelayanan kerja sosial yang justru bertujuan untuk edukasi. Sanksi pidana kurungan atau penjara dapat dijadikan opsi terakhir jika kelalaian tersebut sangat fatal dan disengaja, menyebabkan anak mengalami trauma berulang atau kerugian dalam proses peradilan.
Baca Juga: Menelisik Eksistensi Sanksi Tindakan dalam KUHP Nasional
Pemberian sanksi ini juga harus dilihat sebagai bentuk ultimum remedium (upaya terakhir) sekaligus bentuk perlindungan negara terhadap anak. Jika orang tua saja tidak melindungi, maka negara harus turun tangan dan memastikan kewajiban itu dipenuhi. Selain itu, sanksi hukum akan menciptakan deterrent effect (efek jera) dan menyadarkan masyarakat bahwa mendampingi anak dalam proses hukum adalah bagian dari tanggung jawab parental yang tidak bisa ditawar.
Oleh karena itu, langkah-langkah kongkrit harus segera diambil:
- Perlu adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjabarkan secara detail sanksi administratif bagi orang tua/wali yang tidak memenuhi kewajiban mendampingi.
- Pekerja sosial, LPSK, lembaga-lembaga lain yang bergerak dalam bidang perlindungan anak harus ikut aktif memberikan pemahaman kepada keluarga tentang pentingnya pendampingan dan bantuan yang dapat mereka akses.
- Peran Aparat Penegak Hukum harus pro-aktif mengingatkan dan memastikan kehadiran orang tua dalam setiap pemeriksaan. Pemeriksaan tanpa didampingi orang tua seharusnya tidak dapat dilanjutkan, kecuali dalam kondisi yang sangat darurat dan dengan pendamping dari negara (seperti pekerja sosial).
Pada akhirnya, kehadiran orang tua adalah obat pertama yang paling mujarab untuk mengurangi penderitaan anak dalam proses hukum. UU SPPA lahir untuk melindungi masa depan anak, dan kelalaian orang tua dalam mendampingi adalah pengkhianatan terhadap masa depan tersebut. Memberikan konsekuensi hukum bukan untuk membebani keluarga, melainkan untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia, terutama yang paling rentan sebagai korban, mendapatkan perlindungan yang utuh dari keluarganya sendiri dan, jika keluarga gagal, maka negara harus hadir untuk memberikan perlindungan. (ldr)
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI