Cari Berita

Menyoal Praktik Amicus Curiae dan Kebijakan Mahkamah Agung

Fadil Aulia S.H. - Dandapala Contributor 2025-03-07 10:20:25
Fadil Aulia, S.H.

“In criminalibus probationes bedent esse luce clariores”. Dalam perkara pidana bukti-butki harus lebih terang dari pada cahaya. Adagium ini menjelaskan bahwa untuk membuktikan seseorang sebagai pelaku tindak pidana, tidaklah hanya berdasarkan persangkaan semata tetapi bukti-bukti yang yang diajukan harus jelas, terang dan akurat dalam rangka meyakinkan hakim untuk menjatuhkan pidana tanpa adanya keraguan.

Bukti dan keyakinan hakim merupakan dua unsur penting yang bersifat kumulatif dalam perkara pidana. Penuntut umum harus bisa menyajikan bukti yang menimbulkan keyakinan hakim bahwa seseorang telah bersalah melakukan tindak pidana dan harus dijatuhi hukuman. Begitupun sebaliknya, terdakwa dan/atau penasihat hukumnya harus bisa menyajikan bukti dan menyakinkan hakim bahwa terdakwa tidak bersalah sebagaimana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga harus dibebaskan.

Konteks pembuktian dalam perkara pidana secara universal yang berlaku di dunia khususnya di Indonesia, kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa pada dasarnya merupakan kewajiban penuntut umum. Pada sisi lain, meskipun bukan merupakan suatu kewajiban terdakwa dan/atau penasihat hukumnya juga akan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum.

Beberapa tahun belakangan, dalam praktik peradilan telah terjadi perluasan konteks pembuktian dalam perkara pidana di Indonesia. Disamping penunutut umum dan/atau terdakwa yang harus membuktikan dakwaan, muncul pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam perkara yang juga ikut menyajikan “bukti-bukti” kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo. Pihak ketiga tersebut lazimnya disebut Amicus Curiae (sahabat pengadilan).

Eksistensi Amicus Curiae

Munculnya praktik amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia pertama kali terjadi sekitar tahun 2008 dalam kasus Prita Mulyasari, yang diajukan pada Pengadilan Negeri Tanggerang. Praktik amicus curiae tersebut terus berlangsung setiap tahunnya. Hingga Tahun 2024 setidaknya sudah lebih dari 60 praktik amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia. 

Amicus Curiae tersebut diajukan oleh berbagai kalangan, mulai dari para akademisi hingga Non Governmental Organization (NGO) seperti ICJR, Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM), YLBHI, KontraS, ELSAM, Komnas HAM, IMDLN dan beberapa NGO lainnya. Praktik amicus curiae biasanya dilakukan terhadap perkara-perkara yang menarik perhatian publik. Sehingga apabila dicermati beberapa tahun belakangan ini semua perkara yang cukup menarik perhatian publik terdapat pengajuan amicus curiae didalamnya.

Dasar Hukum

Maraknya praktik amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia tentunya menimbulkan suatu pertanyaan besar mengenai dasar hukum pemberlakuan praktik amicus curiae tersebut. Peraturan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya tidak ada satu aturanpun yang mengatur secara expressive verbis mengenai pemberlakuan amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia. 

Adapun aturan yang dijadikan dasar pemberlakuan amicus curiae ialah Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Akan tetapi apabila dilihat lebih mendalam Pasal a quo hanya menjadi dasar bagi hakim dalam penerimaan pengajuan amicus curiae. 

Tidak adanya aturan yang mengatur secara tegas dan lengkap mengenai praktik amicus curiae dalam peradilan pidana di Indonesia tersebut, tentunya membawa konsekuensi kepada praktik pengajuan amicus curiae tersebut dalam suatu perkara yang sedang berjalan di pengadilan. 

Terdapat dua bentuk pengajuan dan dua bentuk pemeriksaan amicus curiae yang berlangsung selama ini di pengadilan.

Pertama, amicus curiae menyajikan bukti-bukti kepada hakim yang memeriksa perkara dengan terlebih dahulu mengirimkan permohonan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri. Apabila Ketua Pengadilan Negeri mengizinkan, barulah amicus curiae bisa menyajikan bukti-bukti dan pendapatnya di depan persidangan. 

Kedua, amicus curiae menyajikan bukti-bukti dan pendapatnya melalui penasihat hukum terdakwa. Dalam persidangan, penasihat hukum terdakwa akan memohon izin kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara bahwasanya terdapat organisasi yang bertindak sebagai amicus curiae dan ingin menyajikan bukti-bukti dan menyampaikan pendapatnya.

Terhadap pengajuan amicus curiae tersebut terdapat dua sikap hakim dalam melakukan pemeriksaan. 

Pertama, Majelis Hakim akan memeriksa bukti dan pendapat amicus curiae tersebut dalam proses persidangan dan panitera pengganti mencatat hal tersebut dalam Berita Acara Persidangan. Lazimnya, praktik seperti ini terjadi ketika proses pembuktian dari penasihat hukum terdakwa. 

Kedua, Majelis Hakim akan memeriksa bukti dan pendapat amicus curiae diluar proses persidangan. Praktik seperti ini, hakim men-skors sidang terlebih dahulu untuk penyampaian pendapat amicus curiae dan membuka kembali apabila telah selesai. Praktik seperti ini konsekuensinya pada bukti dan pendapat yang disampaikan amicus curiae tidak dicatatkan dalam Berita Acara Persidangan.

Proses pengajuan dan pemeriksaan amicus curiae tersebut pada dasarnya berbeda antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya serta antara pengadilan yang satu dengan pengadilan yang lainnya. Perbedaan tersebut tidak terlepas dari tidak adanya dasar pengaturan mengenai praktik amicus curiae tersebut dalam pengajuan bukti dan pendapatnya dalam perkara pidana.

Perbedaan pengajuan dan pemeriksaan amicus curiae tersebut juga memberi kesempatan kepada pihak-pihak atau organisasi-organisasi yang bertindak sebagai amicus curiae untuk membenturkan praktik yang dilakukan oleh hakim pada pengadilan yang satu dengan praktik yang dilakukan oleh hakim pada pengadilan yang lainnya.


Kebijakan Mahkamah Agung

Tidak terdapatnya aturan di Indonesia yang mengatur eksistensi amicus curiae dalam peradilan pidana di Indoesia mulai dari proses pengajuan hingga pemeriksaannya tentunya berdampak kepada “ketidakteraturan” pemeriksaan khususnya di pengadilan. Guna menjaga marwah pangadilan, agar seseorang atau sekelompok orang tidak begitu saja masuk kedalam proses persidangan pidana yang sedang berlangsung diperlukannya suatu aturan yang mengatur amicus curiae tersebut. Adanya aturan tentunya akan memformalkan dan menyeragamkan praktik amicus curiae dalam persidangan pidana.

Kebijakan Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma) atau Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) atau bahkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum merupakan suatu alternatif yang bisa digunakan untuk mengatur praktik amicus curiae dalam persidangan perkara pidana di Indonesia. Setidaknya terdapat beberapa ratio kenapa Kebijakan Mahkamah Agung dalam bentuk Perma atau Sema atau Surat Edaran Dirjen Badilum bisa digunakan sebagai alternatif untuk mengatur praktik amicus curiae dalam persidangan pidana di Indonesia.

Pertama, praktik pengajuan amicus curiae dalam persidangan perkara pidana merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindarkan. Akan terus ada pengajuan amicus curiae yang dilakukan oleh akademisi dan/atau NGO dalam perkara yang menarik perhatian publik. Sehingga dibutuhkan aturan yang sifatnya lebih praktis seperti Perma atau Sema atau Surat Edaran Dirjen Badilum untuk mengatur hal tersebut. Kedua, Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya lebih mengetahui dan menguasai praktik amicus curiae yang terjadi di ruang sidang. 

Ketiga, Perma atau Sema atau Surat Edaran Dirjen Badilum bisa dikeluarkan lebih cepat dibandingkan UU. Apabila menunggu KUHAP direvisi untuk dimasukkan pengaturan mengenai amicus curiae tentunya akan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Adanya Perma atau Sema atau Surat Edaran Dirjen Badilum mengenai praktik amicus curiae tersebut, tentunya akan berdampak kepada tidak akan terjadi lagi perbedaan proses pengajuan dan pemeriksaan amicus curiae. Bahkan tidak akan terjadi lagi pembenturan antara praktik yang dilakukan oleh hakim yang satu dengan hakim yang lainnya. Keteraturan praktik persidangan tentunya akan lebih terjaga dengan adanya pengaturan mengenai praktik amicus curiae tersebut.

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum