Jakarta - Suasana ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mendadak tegang ketika Majelis Hakim yang dipimpin Dr. Saut Erwin Hartono A. Munthe, memperingatkan para saksi agar bersikap jujur dalam memberikan keterangan. “Jangan ada yang ditutup-tutupi! Kerugian negara di sini hampir menyentuh setengah triliun rupiah,” tegas Saut, Kamis (23/10), di hadapan 18 saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan diperiksa secara maraton.
Sidang yang menyita perhatian publik itu mengupas tuntas dugaan praktik kredit fiktif di Bank Jatim Cabang Jakarta sepanjang tahun 2023–2024. Dari 18 saksi yang dihadirkan, enam di antaranya berasal dari klaster Bank Jatim, yaitu Gunawan Ary Wibowo, Astried Resyan, Diane Renata, Raditya Krisna, Homban Tua Parulian, dan Agvesta Yosidia. Mereka duduk di kursi saksi secara bergantian menjawab pertanyaan hakim dan jaksa.
“Kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif perbankan, melainkan skandal besar yang menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan daerah,” ujar hakim Saut dengan nada menekankan tanggung jawab moral para saksi.
Baca Juga: MA Anulir Vonis Bebas-Lepas 6 Terdakwa Korupsi Kredit BNI Rp 14 Miliar
Dari berkas dakwaan yang dibacakan di persidangan terungkap, praktik manipulasi ini berawal dari niat Bun Sentoso, pemilik Indi Daya Group, untuk mendapatkan fasilitas kredit besar di Bank Jatim Cabang Jakarta. Ia bekerja sama dengan Benny, Pemimpin Cabang Bank Jatim Jakarta, yang saat itu baru diangkat secara definitif pada Mei 2024
Melalui serangkaian komunikasi dengan Agus Dianto Mulia, Sischa Dwita Puspa Sari, dan Fitriani Krisnasari alias Nisa, jaringan Indi Daya Group menyiapkan dokumen palsu untuk mengelabui sistem perbankan. Mereka menggunakan berbagai perusahaan bayangan, menyewa direktur boneka (nominee), memalsukan laporan keuangan, kontrak proyek, hingga rekening koran fiktif. Strateginya sederhana tapi efektif: memecah nilai proyek agar tidak melampaui batas kewenangan pemimpin cabang dan memindahkan domisili perusahaan agar tidak terdeteksi sebagai satu kelompok kendali. Semua itu dilakukan atas arahan langsung dari Benny dan disetujui oleh Bun Sentoso. Akibatnya, dalam waktu kurang dari dua tahun, jaringan ini berhasil mengucurkan kredit fiktif dengan total nilai Rp 299,39 miliar, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 10 Juni 2025.
Jaksa menyebut kelima terdakwa memiliki peran berbeda namun saling menopang satu sama lain:
- Benny, Pemimpin Cabang Bank Jatim Jakarta — diduga menerima Rp 2,92 miliar untuk melancarkan proses kredit dan memperkuat posisinya sebagai pimpinan definitif.
- Bun Sentoso, pemilik Indi Daya Group — disebut sebagai otak di balik rekayasa dokumen dan penerima utama keuntungan sebesar Rp 268,64 miliar.
- Agus Dianto Mulia, Deputi CEO Indi Daya — berperan dalam merekayasa legalitas perusahaan dan menyiapkan dokumen palsu senilai proyek.
- Fitri Kristiani alias Nisa, pegawai Indi Daya — membantu administrasi fiktif dan pengelolaan aliran dana dengan total keuntungan Rp 4 miliar.
- Sischa Dwita Puspa Sari, Manajer Keuangan Indi Daya — menyiapkan transfer dan laporan keuangan internal dengan nilai keuntungan Rp 3,7 miliar
Majelis hakim menggarisbawahi pentingnya keterbukaan dari pihak Bank Jatim. Hakim Saut bahkan sempat menegur beberapa saksi yang tampak ragu menjawab pertanyaan. “Ini bukan perkara kecil. Ini menyangkut dana publik, uang rakyat Jawa Timur. Jangan sampai ada rekayasa ulang di dalam persidangan,” ucapnya tegas.
Seluruh saksi diperiksa bersamaan, mencakup kelompok Bank Jatim, Indi Daya Group, pihak bohir (pemberi kerja), serta penasihat hukum perusahaan. Sidang berjalan maraton hingga sore hari, menghadirkan detail teknis tentang proses pengajuan kredit, manipulasi agunan, hingga penggunaan proyek fiktif sebagai dasar pencairan dana.
Baca Juga: Utamakan Kepentingan Negara, PN Jakpus Tolak Gugatan Artha Graha di Kasus Timah
Para terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Jika terbukti bersalah, mereka terancam hukuman penjara seumur hidup atau pidana paling lama 20 tahun, serta kewajiban membayar uang pengganti sesuai nilai kerugian negara.
Menutup jalannya persidangan, Hakim Ketua Dr. Saut Erwin Hartono kembali mengingatkan makna keadilan dalam perkara korupsi. “Korupsi di lembaga keuangan bukan sekadar soal uang, tapi soal kepercayaan publik. Sekali kepercayaan itu hilang, akan sulit dikembalikan. Maka jujurlah sebelum semuanya terlambat,” tutupnya. IKAW/LDR
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI