Pendahuluan
Dalam sistem peradilan pidana, jaksa sebagai penuntut umum memegang peran penting untuk mewakili kepentingan negara dalam menuntut pelaku/terdakwa yang diduga telah melakukan tindak pidana. Peran penting ini sering kali dikaitkan dengan konsep dominus litis, yaitu pihak yang memiliki kuasa untuk mengendalikan jalannya suatu perkara dalam proses hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur kewenangan penuntut umum menentukan jenis delik yang diancam kepada terdakwa. Namun, bagaimana apabila delik yang didakwa dalam surat dakwaan tidak terbukti akibat ketidakcermatan & kelalaian penuntut umum sendiri, sedangkan fakta pemeriksaan persidangan menunjukkan perbuatan terdakwa terbukti dalam jenis delik yang lain yang tidak didakwakan? Apakah Terdakwa dapat begitu saja dibebaskan tanpa mempertimbangkan aspek kerugian korban/keadilan masyarakat? Apalagi Terdakwa sudah mengakui perbuatannya? Disisi lain, KUHAP juga telah menetapkan batasan Hakim dalam menjatuhkan vonis. Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP telah mengatur bahwa dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, Hakim/Majelis Hakim tetap mendasarkan pada fakta hukum yang terbukti di persidangan dan musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan.
Asas dominus litis
Baca Juga: Kontroversi Sumpah Pocong: Sejarah dan Kedudukan dalam Sistem Peradilan
Asas dominus litis berasal dari istilah latin yang berarti "pemilik perkara". Dalam konteks peradilan pidana, dominus litis adalah pihak yang berhak untuk menentukan arah dari proses hukum, baik itu dalam bentuk penuntutan, keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan perkara, serta mengambil keputusan strategis lainnya terkait dengan jalannya perkara. Dalam sistem hukum Indonesia yang berlaku saat ini, jaksa sebagai penuntut umum bertanggung jawab atas proses penuntutan tindak pidana yang rincian fungsi utamanya sebagai berikut:
Mengawasi dan mengendalikan penyidikan: Jaksa memiliki peran untuk memeriksa dan mengawasi jalannya penyidikan oleh pihak kepolisian, serta memberikan petunjuk dan keputusan apakah penyidikan harus dilanjutkan atau dihentikan.
Mengajukan dakwaan: Setelah penyidikan selesai, jaksa berhak untuk memutuskan apakah dakwaan akan diajukan ke pengadilan atau tidak. Jaksa juga memiliki kewenangan untuk memilih dakwaan yang akan digunakan berdasarkan bukti yang ada.
Menuntut di pengadilan: Jaksa mempresentasikan dakwaan di persidangan dan bertanggung jawab untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Menuntut hukuman: Jaksa berperan dalam meminta hukuman yang sesuai dengan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Perlukah kewenangan mengoreksi dominus litis penuntut umum setelah pemeriksaan dinyatakan selesai?
Hakim memiliki peran sentral dalam menentukan nasib terdakwa. Peran itu meliputi sebagai kewenangan untuk menilai alat bukti yang diajukan dipersidangan, menentu kebenaran materiil, dan memberikan putusan berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam menjalankan tugas utama tersebut, tidak jarang hakim menemukan situasi tertentu yang sifatnya debatable, seperti kebenaran materiil yang terungkap di persidangan merupakan delik yang tidak didakwakan oleh Penuntut Umum.
Sebagai contoh dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986 tanggal 1 Juli 1986 yang mana Terdakwa didakwa atas dakwaan primer Pasal 365 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP dan subsider Pasal 362 jo. 55 KUHP. Kemudian Mahkamah Agung menjatuhkan putusan dan menyatakan Terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 363 ayat 1 ke-4 KUHP (yang notabene tidak didakwa oleh Penuntut Umum). Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung juga menegaskan kembali apabila Terdakwa didakwa dan terbukti melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Pasal 365 Ayat 1 dan Ayat 2 KUHP), artinya delik pencurian dalam arti lain yang lebih ringan (Pasal 363 Ayat 1 ke 4 KUHP) sudah termasuk di dalamnya (meski tidak didakwakan). Lebih lanjut, putusan ini telah menjadi yurisprudensi yang memuat kaidah hukum bahwa "Pengadilan dapat menjatuhkan vonis diluar dakwaan penuntut umum sepanjang satu rumpun dan jenis delik yang lebih ringan".
Kaidah hukum ini kemudian diterapkan pada putusan Nomor 404/Pid.B/2013/PN.Jr tanggal 2 Oktober 2013 yang memeriksa perkara narkotika dengan dakwaan Pasal 112 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hingga muaranya Hakim menjatuhkan vonis diluar pasal/delik yang didakwa oleh penuntut umum dengan menyatakan Terdakwa terbukti sebagai penyalahguna narkotika.
Namun, praktik ini kemudian disikapi oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, yang menyatakan “dalam hal yang terbukti di persidangan pasal 127 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mana pasal ini tidak didakwakan, Terdakwa terbukti sebagai pemakai dan jumlah relatif kecil (SEMA Nomor 4 tahun 2010), maka Hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus”.
Kemudian, hal itu ditegaskan kembali oleh Mahkamah Agung dalam Pada Point 2 huruf a Rumusan Hukum Kamar Pidana SEMA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dengan menyatakan “dalam hal Penuntut Umum tidak mendakwa Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tetapi fakta hukum yang terungkap di persidangan ternyata terdakwa terbukti sebagai Penyalahguna Narkotika Golongan I bagi dirinya sendiri, Mahkamah Agung tetap konsisten pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 angka 1, sebab selain hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara tetap mendasarkan putusanya pada fakta hukum yang terbukti di persidangan, musyawarah juga harus didasarkan atas surat dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP”.
Dua situasi tersebut cukup jelas menunjukkan adanya dualisme pandangan hakim dalam memutus perkara yang kebenaran materiilnya diluar delik/pasal yang didakwa penuntut umum.
Aktualnya, Putusan Nomor 14/Pid.B/2025/PN Bkl tanggal 26 Februari 2025 yang memuat perbedaan pendapat akibat Penuntut Umum hanya menyusun dakwaan tunggal pencurian (Pasal 362 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP), namun Majelis Hakim dalam perkara tersebut menilai perbuatan Terdakwa yang terbukti terkualifikasi delik penggelapan yang tidak didakwa Penuntut Umum.
Majelis Hakim dalam perkara tersebut juga mengutip pendapat Bernardus Maria Taverne (anggota Majelis Pidana Mahkamah Agung Belanda) yang pada pokoknya menyetujui terhadap putusan hakim yang masih mentolerir kekurangcermatan dalam penyusunan surat dakwaan, asalkan tidak mengganggu tujuan hukum acara pidana yakni mencari kebenaran materil.
Selanjutnya, Majelis Hakim juga berpendapat bahwa "terhadap kelalaian penuntut umum tersebut cukuplah menjadi perhatian dari institusinya agar memperhatikan pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia agar tidak terulang lagi dikemudian hari, sementara perbuatan Terdakwa tersebut tetap diputus guna perlindungan kepentingan umum dengan menerapkan pendekatan genus yang sama dimana baik kejahatan pencurian maupun kejahatan penggelapan masih termasuk dalam genus yang sama sebagai kejahatan terhadap harta benda”.
Momentum Pembahasan RKUHAP
Errare Humanum Est, Turpe In Errore Perseverare (membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan). Penulis berpendapat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana belum memberikan ruang bagi hakim untuk melakukan koreksi terhadap implementasi dominus litis
Penuntut Umum ketika kebenaran materiil yang terungkap di persidangan merupakan perbuatan yang tidak didakwa penuntut umum. Saat ini, Hakim menyimpangi pasal/delik yang didakwa Penuntut Umum setelah pemeriksaan dinyatakan selesai masih dikualifikasikan sebagai judicial activism. Penulis mengusulkan kewenangan mengoreksi tersebut perlu digagas atau setidaknya dipertimbangkan dalam penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sebagai pengecualian "kaidah musyawarah berdasarkan surat dakwaan" yang bersifat limitatif demi kepentingan korban dan masyarakat umum.
Baca Juga: Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indië, Pendahulu Mahkamah Agung pada Masa Kolonial Belanda
Penulis berharap RKUHAP dapat memperkuat kewenangan hakim sebagai tokoh sentral dalam menyeimbangkan aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Selamat Hari Kehakiman Nasional & Dirgahayu IKAHI ke-72.
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp Ganis Badilum MA RI: Ganis Badilum