Poso. Sulawesi Tengah. Pengadilan Negeri Poso pada
Jumat, 24 Oktober 2025, melalui Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan dalam
perkara tindak pidana perkebunan atas nama terdakwa Jemi Mamma dengan Nomor
Perkara 288/Pid.B/2025/PN Pso, yang didakwa melanggar Pasal 107 huruf (d)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Dalam amar putusannya, Majelis
menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan secara
tidak sah memanen hasil perkebunan dan menjatuhkan pidana denda sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). Apabila denda tersebut tidak dibayar, akan
diganti dengan pidana kurungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Perkara ini berawal dari
kegiatan pemanenan buah kelapa sawit oleh terdakwa di lahan perkebunan PT
Nusamas Griya Lestari (PT NGL) yang terletak di Divisi II Blok H 56 Desa Peleru
Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali Utara pada Februari 2025.
Baca Juga: Dekatkan Keadilan Kepada Masyarakat, PN Poso Gelar Sidang di Luar Gedung
Terdakwa melakukan pemanenan
bersama beberapa orang lainnya tanpa izin dari perusahaan, dengan alasan bahwa
lahan tersebut merupakan bagian dari tanah kemitraan yang pernah ia serahkan
kepada PT NGL pada tahun 2016.
Hasil panen sawit tersebut
kemudian dijual oleh terdakwa ke tempat pembelian Tandan Buah Segar (TBS) di
Desa Taliwan dan menghasilkan uang sekitar Rp11.000.000. Pihak perusahaan
melaporkan kejadian tersebut karena menilai tindakan itu telah merugikan dan
dilakukan di dalam wilayah Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 00120/Morowali Utara atas
nama PT NGL.
Adapun atas perbuatan Terdakwa
tersebut, Penuntut Umum menuntut Terdakwa telah memenuhi pasal sebagaimana yang
didakwakan dengan tuntutan hukuman selama 6 (enam) bulan penjara.
Dalam pertimbangannya, Majelis
Hakim yang tediri dari Muamar Azmar Mahmud Farig, Pande Tasya, dan Arga
Febrian, menjelaskan bahwa unsur “setiap orang” dan “secara tidak sah memanen
dan/atau memungut hasil perkebunan” telah terbukti berdasarkan fakta hukum di
persidangan. Majelis menilai bahwa tanaman kelapa sawit di lokasi Divisi II
Blok H 56 merupakan hasil penanaman dan pengelolaan PT NGL, dan terdakwa tidak
memiliki izin atau hak untuk memanen hasil dari lahan tersebut.
Surat Penyerahan Tanah untuk
Kemitraan yang diajukan terdakwa hanya bersifat administratif untuk pendataan
hubungan kemitraan dan tidak membuktikan adanya hak kepemilikan atau hak kelola
atas lahan HGU. Dengan demikian, tindakan terdakwa dianggap telah memenuhi
unsur “secara tidak sah memanen hasil perkebunan” sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 107 huruf (d) UU Perkebunan.
Majelis juga menegaskan bahwa
forum peradilan pidana tidak berwenang menilai atau menetapkan status
kepemilikan tanah, karena hal tersebut merupakan ranah hukum perdata.
Pengadilan hanya menilai perbuatan terdakwa dari sudut pandang hukum pidana, bukan
status hak atas tanah.
Dalam menetapkan jenis pidana,
Majelis mempertimbangkan prinsip proporsionalitas dan keadilan substantif.
Majelis memperhatikan bahwa terdakwa telah menjalani masa penahanan selama
proses persidangan, bersikap sopan, kooperatif, serta mengakui perbuatannya.
Motif perbuatan terdakwa didorong oleh kekecewaan atas tidak terpenuhinya hak
kemitraan, bukan karena niat jahat atau keserakahan.
Majelis menilai bahwa tujuan
hukum dapat tercapai melalui penjatuhan pidana denda ringan, karena pemidanaan
tidak semata-mata bertujuan membalas kesalahan, tetapi juga untuk membina,
mendidik, dan mendorong kesadaran hukum masyarakat. Pidana denda dipandang
lebih tepat dibandingkan pidana penjara, mengingat latar belakang sosial
ekonomi terdakwa serta karakter konflik yang bersumber dari hubungan kemitraan
antara masyarakat dan perusahaan belum lagi pidana denda merupakan salah satu
pidana yang dicantumkan secara alternatif dalam Pasal 107 UU Perkebunan.
Majelis menegaskan bahwa
peradilan pidana tidak dimaksudkan untuk memperuncing konflik sosial, melainkan
untuk mengembalikan ketertiban hukum dengan tetap menjaga keseimbangan antara
kepastian hukum, keadilan, dan kemanusiaan.
Barang
Bukti dan Proses Persidangan
Selama persidangan, Penuntut
Umum menghadirkan sejumlah barang bukti berupa sertifikat HGU Nomor
00120/Morowali Utara atas nama PT NGL, dokumen izin usaha perkebunan, berita
acara penyerahan tanah dan kwitansi kompensasi, serta slip penimbangan hasil
panen. Sementara terdakwa menghadirkan barang bukti berupa Surat Penyerahan
Tanah untuk Kemitraan tahun 2016, peta lahan kemitraan, dan tangkapan layar
percakapan dengan pihak perusahaan.
Baca Juga: Potensi Konflik Internasional dan Pengaruhnya terhadap Proses Penegakan Hukum di Indonesia
Majelis menilai bahwa barang
bukti dari terdakwa relevan sebagai penjelas latar belakang kemitraan, namun
tidak memiliki kekuatan pembuktian sebagai dasar hak atas lahan HGU. Seluruh
barang bukti tersebut akan dilampirkan dalam berkas perkara sebagai bagian dari
kelengkapan administrasi peradilan.
Pesan Yudisial dan Makna Putusan Pengadilan Negeri Poso melalui putusan ini menegaskan bahwa penegakan hukum harus dilakukan dengan proporsional dan berkeadilan, serta menjadi sarana edukasi bagi masyarakat agar setiap sengketa hak atau kemitraan diselesaikan melalui jalur hukum yang sah. IKAW/LDR
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI