Cari Berita

Kasus Pencabulan, Anak Pelaku Disabilitas Intelektual Dipidana Bersyarat di PN Saumlaki

Bima Cahyadi - Dandapala Contributor 2025-12-22 18:05:05
Gedung PN Saumlaki (dok.pn)

Saumlaki- Hakim Anak PN Saumlaki, Maluku menjatuhkan putusan progresif dalam perkara pidana Anak yang melibatkan Anak sebagai pelaku dan Anak sebagai Korban pada Selasa (18/11). Bagaimana putusannya?

Dalam putusannya, Hakim Anak menegaskan bahwa pemidanaan terhadap Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa dan penegakan hukum terhadap Anak harus mengutamakan asas kepentingan terbaik bagi anak. Dengan tetap memperhatikan perlindungan kepada Anak Korban, pertanggungjawaban pelaku, serta masa depan keduanya.

Sejak awal persidangan, Hakim tidak hanya menempatkan Anak sebagai pelaku tindak pidana, tetapi juga sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk dilindungi. Hal ini sejalan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang menegaskan bahwa peradilan pidana Anak dilaksanakan berdasarkan prinsip perlindungan, keadilan restoratif, serta kepentingan terbaik bagi Anak. 

Baca Juga: Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental dan Intelektual

Hakim tidak hanya berfokus pada pembuktian unsur pidana, tetapi juga memberi ruang bagi nilai kemanusiaan dan pemulihan. Salah satu momen paling krusial adalah ketika Hakim secara langsung memfasilitasi permintaan maaf Anak Pelaku kepada Anak Korban dan keluarganya di ruang sidang.

“Dengan didampingi orang tua, penasihat hukum, dan pembimbing kemasyarakatan, Anak menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Dihadapan Hakim dan keluarga Anak Korban, Anak telah mengakui kesalahannya, menyatakan penyesalan, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Permintaan maaf tersebut disampaikan dengan sikap tertunduk, suara lirih, dan ekspresi ketakutan sekaligus penyesalan sebuah gambaran Anak yang sedang berhadapan dengan konsekuensi perbuatannya, namun juga masih berada dalam fase perkembangan psikologis,” rilis PN Saumlaki.

Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perkembangan Anak Pelaku mengarah pada disabilitas intelektual tingkat sedang. Kondisi ini ditandai dengan keterbatasan kemampuan berpikir, kesulitan memahami konsekuensi perbuatan, serta ketidakmampuan menilai situasi secara matang sesuai usia kronologisnya. 

Dalam dunia pendidikan, Anak diketahui mengalami hambatan belajar yang signifikan dan kerap membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugas sederhana. Meskipun Anak memiliki keterbatasan intelektual, ia tetap mampu melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Namun, pendekatan yang bersifat menghukum tanpa membina justru berpotensi memperburuk kondisi Anak dan meningkatkan risiko pengulangan perbuatan di kemudian hari. 

“Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 60 ayat (3) UU SPPA secara tegas mewajibkan Hakim untuk mempertimbangkan Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) sebelum menjatuhkan putusan. Laporan ini, yang diperkuat oleh hasil pemeriksaan psikologis, merekomendasikan agar Anak tidak dijatuhi pidana penjara, melainkan dikenai tindakan atau pidana bersyarat yang bersifat pembinaan,” kutip Rilis PN Saumlaki.

Dalam perkara ini, Penuntut Umum telah menuntut Anak terbukti secara sah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 82 Ayat (1) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan PERPU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang serta menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan 4 (empat) bulan dikurangi masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani dan pelatihan kerja selama 2 (dua) bulan. 

Kemudian, Hakim Anak dalam Putusannya telah menjatuhkan pidana kepada Anak dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan dan pidana denda diganti dengan pelatihan kerja di gereja selama 1 (satu) bulan. Pidana tersebut tidak usah dijalani, dengan syarat Anak melakukan pelayanan masyarakat dengan membersihkan Gereja selama 120 (seratus dua puluh) jam yang dilakukan pada hari kerja serta memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk mengawasi pidana bersyarat tersebut dan memerintahkan kepada Pembimbing kemasyarakatan untuk membimbing serta membina Anak menjalani pidana bersyarat.

Hakim dalam pertimbangannya menekankan bahwa pidana penjara terhadap Anak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). 

Baca Juga: Menelusuri Putusan Mahkamah Agung terkait Penyandang Disabilitas

Hakim menilai bahwa pendekatan yang terlalu represif berpotensi menimbulkan stigma dan menghambat proses tumbuh kembang Anak. Selain itu, Hakim juga menilai bahwa pembinaan yang terstruktur dan pengawasan berkelanjutan lebih efektif untuk mencegah pengulangan perbuatan dibandingkan pemenjaraan.

Putusan tersebut juga memberikan pesan penting bahwa keadilan Anak tidak selalu diukur dari beratnya hukuman, melainkan dari sejauh mana putusan mampu melindungi, membina, dan mencegah terulangnya perbuatan serupa di masa depan. (zm/wi/asp)

Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI

Memuat komentar…