Sekayu, Sumatera Selatan — Pengadilan Negeri (PN) Sekayu kembali mencatatkan keberhasilan penerapan restorative justice (RJ) dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang melibatkan hubungan keluarga antara menantu dan ibu mertua. Putusan dijatuhkan pada Senin (24/11) oleh Majelis Hakim yang dipimpin Yuri Stiadi dengan anggota Devia Herdita dan Riyan Ardy Pratama.
Peristiwa bermula pada dini hari Selasa (24/9) bertempat di rumah M, korban sekaligus ibu mertua Terdakwa E O E, terjadi cekcok yang dipicu hal sederhana yakni keberadaan magic com (alat penanak nasi) milik korban yang tidak ditemukan di tempat semula. Saat korban menanyakan hal tersebut kepada suami korban, Terdakwa merasa diperlakukan berbeda dan akhirnya tersulut emosi. Pertengkaran meningkat hingga Terdakwa mencakar tangan korban, meludahi, dan menarik baju korban. Saat kejadian, Terdakwa telah tinggal di rumah korban selama enam bulan lantaran suaminya dipindah tugas ke Sekayu.
Akibat perbuatan tersebut, korban mengalami tiga luka lecet di lengan kiri sebagaimana visum RSUD Sekayu. Cedera itu menyebabkan korban tidak dapat mengajar di sekolah untuk sementara waktu.
Baca Juga: Terdampak Pembangunan Jalan Tol Betung – Jambi, 19 Warga Ajukan Keberatan ke PN Sekayu.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menegaskan bahwa seluruh unsur Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT telah terpenuhi. Hakim menilai perbuatan Terdakwa dilakukan dengan sengaja dan menimbulkan rasa sakit serta luka fisik pada korban, yang merupakan ibu mertua Terdakwa.
“Perbuatan tersebut merupakan bentuk kekerasan fisik yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga dan dilakukan atas kehendak serta kesadaran Terdakwa,” demikian salah satu bagian pertimbangan Majelis Hakim.
Dengan demikian, Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu Penuntut Umum.
Dalam proses persidangan, Majelis Hakim mengupayakan pendekatan keadilan restorative untuk memulihkan hubungan antara terdakwa dan korban yang masih dalam hubungan keluarga semenda. Akhirnya korban bersedia menerima permintaan maaf Terdakwa dan menyampaikan agar hukuman dijatuhkan seringan-ringannya.
Majelis Hakim memperhatikan pemulihan keadaan dan kondisi dimana terdakwa memiliki 3 orang anak yang masih dibawah umur tersebut sebagai dasar dalam menjatuhkan pidana. Disamping itu, secara filosofis, Majelis Hakim menegaskan bahwa tujuan pemidanaan tidak hanya pembalasan, tetapi juga pembinaan agar Terdakwa dapat memperbaiki diri dan tetap berperan dalam keluarga. Secara yuridis, perbuatan memang memenuhi unsur delik. Namun secara sosiologis, perdamaian dan pemulihan hubungan keluarga memberi dasar kuat untuk menerapkan pidana yang lebih berorientasi pada keadilan korektif dan proporsional.
Baca Juga: Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian
“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 bulan 15 hari, menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,” ucap Hakim Ketua saat membacakan putusan Nomor 422/Pid.Sus/2025/PN Sky dalam sidang terbuka untuk umum.
Keberhasilan PN Sekayu menerapkan keadilan restoratif menunjukkan bahwa RJ bukan sekadar teori, melainkan solusi nyata dalam penyelesaian perkara pidana, terutama yang menyangkut relasi keluarga. Dengan pendekatan yang hati-hati, transparan, dan sesuai regulasi, pengadilan dapat menghadirkan keadilan yang tidak hanya menghukum, tetapi juga memulihkan. IKAW/WI
Untuk Mendapatkan Berita Terbaru Dandapala Follow Channel WhatsApp : Info Badilum MA RI