Cari Berita

PN Kayu Agung Sumsel Fasilitasi Perdamaian Perkara Pencurian

article | Berita | 2025-08-16 10:00:22

Ogan Komering Ilir - Pengadilan Negeri (PN) Kayu Agung berhasil memfasilitasi perdamaian antara terdakwa dan korban dalam Perkara Nomor 351/Pid.B/2025/PN Kag, meskipun proses persidangan tetap akan dilanjutkan hingga putusan akhir. Kesepakatan damai ini menjadi bukti komitmen PN Kayu Agung untuk memberi ruang penyelesaian perkara yang berkeadilan dan berperikemanusiaan, sekaligus tetap menjamin kepastian hukum.Persidangan yang digelar pada Rabu (13/8/2025) dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dan terdakwa tersebut dipimpin Ketua Majelis Iqbal Lazuardi, dengan Hakim Anggota Eka Aditya Darmawan dan Kurnia Ramadhan. Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Ogan Komering Ilir melakukan pencurian dengan pemberatan sebagaimana Pasal 363 ayat (2) KUHP, karena dilakukan bersama orang lain dan pada malam hari.Dalam persidangan, Majelis Hakim menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, syarat penerapan RJ secara penuh tidak terpenuhi. “Ancaman pidana maksimum untuk dakwaan tunggal Pasal 363 ayat (2) KUHP yang diajukan Penuntut Umum adalah sembilan tahun penjara, sementara Perma mensyaratkan ancaman maksimal lima tahun,” ujar Majelis.Meski demikian, Majelis Hakim berhasil memfasilitasi perdamaian antara terdakwa dan korban. Kedua belah pihak sepakat saling memaafkan tanpa syarat ganti kerugian, karena terdakwa juga belum menikmati hasil kejahatannya. Kesepakatan ini akan menjadi salah satu pertimbangan meringankan dalam putusan nantinya.“Restorative justice di pengadilan bersifat sebagai pertimbangan yudisial yang meringankan, bukan sebagai dasar menghentikan persidangan. Proses tetap dilanjutkan demi kepastian hukum dan memastikan seluruh unsur dipertimbangkan sebelum menjatuhkan vonis,” tegas Majelis Hakim.Sidang akan dilanjutkan pada Rabu (20/8/2025) dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Penuntut Umum. Penerapan luas keadilan restoratif memberikan dua manfaat sekaligus: pertama, meningkatkan efektivitas penanganan perkara pidana dan kedua, menumbuhkan rasa keadilan masyarakat, sehingga tercipta peradilan yang adil, berperikemanusiaan, dan bermartabat.

PN Kotabaru Kalsel Putus Kasus Pencurian Sawit Dengan Keadilan Restoratif

article | Sidang | 2025-08-06 11:00:31

Kabupaten Kotabaru - Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Kotabaru menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 3 bulan kepada Ananda Riko Als Nanda (Terdakwa I), Joko Purnomo Als Joko (Terdakwa II), dan Filmon Dede (Terdakwa III) dalam kasus pencurian Sawit. Sidang pengucapan putusan tersebut digelar di Gedung Pengadilan Negeri Kotabaru pada hari Rabu tanggal 6 Agustus 2025. Duduk sebagai Ketua Majelis Guntur Pambudi Wijaya didampingi Isdaryanto dan Afan Firdaus masing-masing sebagai Hakim Anggota, serta dibantu oleh Panitera Pengganti Rudy Frayitno.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyebutkan bahwa perkara diputus dengan mekanisme keadilan restoratif atau (RJ). Diketahui bahwa perkara bermula pada Rabu 28 Mei 2025 sekitar pukul 20.30 WITA, D (DPO) mengecek kesiapan mobil Pick-Up Suzuki Mega Carry DA 8568 GL untuk memindahkan buah sawit. Ia lalu menghubungi Terdakwa I dan Terdakwa II membantu menurunkan pupuk dan berangkat bersama ke TPH (Tempat Pengumpulan Hasil) di areal perkebunan sawit milik saksi korban di Desa Sungai Kupang, Kec. Kelumpang Hulu, Kotabaru menggunakan motor Honda PCX merah. Lebih lanjut, sesampainya di lokasi, Para Terdakwa memindahkan buah sawit menyeberangi parit secara bergantian dengan karung. Setelah selesai, D menghubungi Terdakwa agar menyusul dengan mobil Pick-Up. Sekitar 30 menit kemudian, setelah Terdakwa III tiba, para terdakwa dan D mengangkut sawit ke atas mobil menggunakan tojok dan angkong merah. Saat mobil keluar dari areal perkebunan, D (sebagai sopir) dan Terdakwa I (menggunakan motor) dicegat oleh saksi Khairil Anwar dan rekan-rekannya yang berjaga malam. D berhasil melarikan diri, sedangkan Terdakwa I dan mobil bermuatan sawit tertangkap. Polisi dari Polsek Kelumpang Hulu kemudian dihubungi. Terdakwa II dan III, yang masih di lokasi, mendengar kegaduhan dan mendapat telepon dari D agar melarikan diri. Mereka kabur melalui kebun dan baru keluar dari area pukul 05.30 WITA, sempat beristirahat, lalu pada pukul 10.00 WITA mendapat telepon dari saksi Fuji Astutik agar menyerahkan diri. Keduanya kemudian dijemput oleh sdr. Gun dan dibawa ke Mapolsek. Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa para terdakwa mengambil 109 janjang sawit seberat 900 kg tanpa izin, menimbulkan kerugian korban sebesar Rp2.520.000. “Atas Perbuatan tersebut para Terdakwa terbukti bersalam melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan tunggal Pasal 363 Ayat (1) Angka 4 KUHP,” sebut Majelis Hakim.Proses persidangan berhasil diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyebutkan bahwa para Terdakwa telah datang langsung ke rumah korban untuk meminta maaf dan telah terjadi kesepakatan damai antara Para Terdakwa dengan saksi korban pada saat pemeriksaan di persidangan.Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim merujuk Pasal 6 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2024 sebagai pedoman dan persyaratan terpenuhinya suatu perkara dapat diadili berdasarkan keadilan restroratif, salah satunya adalah jumlah kerugian yang diderita korban bernilai tidak lebih dari Upah Minimum Provinsi Kalimantan Selatan sebagaimana tercantum dalam Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 100.3.3.1/1060/KUM/2024 tentang Penetapan Upah Minimum Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2025 adalah sebesar Rp 3.496.165. “Sesuai dengan amanat Perma Nomor 1 Tahun 2024, perkembangan sistem pemidanaan tidak hanya bertumpu pada penghukuman semata terhadap Terdakwa melainkan telah mengarah pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban Terdakwa,” sebut Majelis Hakim. (fac/aar/Isd)

2 Perkara Diputus dengan Keadilan Restoratif di PN Batulicin Kalsel

article | Sidang | 2025-08-04 18:10:09

Tanah Bumbu- Pengadilan Negeri (PN) Batulicin, Kalimantan Selatan (Kalsel) telah berhasil menerapkan keadilan restoratif dalam penanganan Perkara Nomor 116/Pid.B/2025/PN Bln. Keberhasilan PN Batulicin ini menambah daftar perkara yang berhasil diputus dengan pendekatan keadilan restoratif.Diketahui beberapa hari sebelumnya, PN Batulicin juga telah berhasil menerapkan restorative justice dalam perkara lainnya, yakni dalam Perkara Nomor 129/Pid.B/2025/PN Bln.Sejak Perma Keadilan Restoratif ini diterapkan, total sudah 16 perkara pidana yang diputus dengan pendekatan keadilan restoratif. Perkara-perkara tersebut terdiri dari perkara pidana umum, pidana khusus, pidana khusus anak hingga perkara tindak pidana ringan sejak 2024 sampai dengan 2025 saat ini. Meskipun demikian, penerapan keadilan restoratif juga sudah diterapkan jauh sebelum Perma Keadilan Restoratif ini diundangkan, tercatat sudah ada 4 perkara pidana yang menerapkan asas keadilan restoratif dalam penjatuhan putusannya sejak tahun 2021 sampai dengan 2023.Dalam Perkara Nomor 116/Pid.B/2025/PN Bln yang diperiksa dan diadili oleh Ketua Majelis, Bayu Dwi Putra dengan didampingi Para Hakim Anggota Denico Toschani dan Fendy Aditiya Siswa Yulianto, Terdakwa I Afga Do’a dan Terdakwa II Abdul Mulliansyah didakwa melakukan pencurian dengan pemberatan yakni karena dilakukan oleh dua orang dan dilakukan beberapa kali secara berlanjut. "Kendati demikian, dalam pertimbangannya Majelis Hakim menilai syarat penerapan keadilan restoratif dalam Perma Keadilan Restoratif tidak terpenuhi mengingat Para Terdakwa hanya didakwa dengan dakwaan tunggal yang ancaman maksimalnya 7 tahun penjara. Sementara Perma Keadilan Restoratif mensyaratkan hanya dapat diterapkan untuk tindak pidana dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara," demikian keterangan pers PN Batulicin yang didapat DANDAPALA, Senin (4/8/2025).Lebih lanjut, dalam pertimbangannya Majelis Hakim menganggap asas keadilan restoratif yakni asas pemulihan korban dan tanggung jawab dari Para Terdakwa telah terpenuhi dengan adanya kesepakatan perdamaian dan penggantian seluruh kerugian oleh Para Terdakwa, sehingga hal tersebut menjadi alasan meringankan pemidanaan terhadap Para Terdakwa. Para Terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama lima bulan jauh. Atau di bawah tuntutan Penuntut Umum. "Atas putusan tersebut baik Para Terdakwa maupun Penuntut Umum menyatakan menerima," ujarnya.Selain itu, dalam perkara 129/Pid.B/2025/PN Bln yang disidangkan oleh Andi Rachmad Sulistiyanto selaku Ketua Majelis dengan beranggotakan Domas Manalu dan Fendy Septian, Majelis Hakim telah mengupayakan perdamaian antara Terdakwa dan Korban yang mana keduanya sepakat untuk saling memaafkan dan melakukan perdamaian dengan adanya syarat berupa penggantian kerugian sejumlah uang. Dalam amar putusannya Majelis Hakim menjatuhkan pidana percobaan kepada Terdakwa dengan mencantumkan syarat khusus yang harus dipenuhi Terdakwa yakni pembayaran uang sejumlah Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) masing-masing kepada dua orang korban."Masifnya persidangan dengan berfokus pada upaya memulihkan kondisi korban di PN Batulicin telah menunjukkan komitmen Mahkamah Agung dalam menerapkan keadilan restoratif sesuai amanat Perma. Upaya ini dilakukan sebagai langkah inovatif untuk menyelesaikan perkara pidana secara lebih manusiawi dan mengedepankan aspek perdamaian serta pemulihan bagi korban maupun pelaku," ucapnya."Penerapan Keadilan Restoratif yang masif ini tidak hanya meningkatkan efektivitas proses peradilan pidana, tetapi juga memperkuat rasa keadilan masyarakat dan menciptakan sistem peradilan yang berkeadilan, manusiawi, dan bermartabat," pungkasnya. (wi/asp)

Lagi! PN Kuala Kapuas Kalteng Terapkan Restorative Justice di Kasus Penganiayaan

article | Sidang | 2025-07-29 13:30:32

Kuala Kapuas- Pengadilan Negeri (PN) Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng) kembali berhasil menerapkan Restorative Justice (RJ) dalam Perkara Penganiayaan. Majelis menjatuhi pidana penjara selama 3 bulan dan 10 hari kepada Jamsi, Pria (62) asal Kabupaten Kapuas  pada Kamis (24/07/2025).“Menyatakan Terdakwa Jamsi Bin Imran tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” sebagaimana dalam dakwaan tunggal,” ucap Ketua Majelis Christina Simanullang dengan didampingi Hakim Anggota Syarli Kurnia Putri dan Wuri Mulyandari di ruang sidang PN Kuala Kapuas terbuka untuk umum.“Dengan Putusan ini, maka masa pidana yang akan Terdakwa jalani masih sisa 10 (sepuluh) hari. Setelah menjalani masa pidana ini Saudara dapat kembali ke masyarakat dan agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama” tambah Ketua Majelis.Kasus bermula ketika Saksi Korban mempunyai hutang kepada Terdakwa sejumlah 3 juta rupiah. Kemudian Terdakwa menagih hutang kepada Korban beberapa kali. Namun, Korban tidak kunjung membayarkan hutangnya kepada Terdakwa. Bahkan Korban kemudian melarikan diri, hingga tidak diketahui lagi keberadaanya. Selanjutnya, pada hari Rabu (23/04/2025) sekitar Pukul 13.40 saat Terdakwa pergi berburu burung dan tupai di kebun, Terdakwa membawa dan menggunakan pistol Air Soft Gun miliknya. Lalu Terdakwa mampir di Toko Bangunan untuk membeli paku. Pada saat Terdakwa berada di Toko Bangunan, Terdakwa bertemu dengan Saksi Korban. Oleh karena Terdakwa merasa kesal hutangnya belum dibayar oleh Korban, maka Terdakwa langsung memukul Saksi Korban di bagian bahu belakang dengan tangannya.Kemudian Korban memberikan reaksi kaget hingga mendorong Terdakwa sampai terjatuh. Disebabkan masih emosi, Terdakwa langsung mengambil pistol Air Soft Gun miliknya dan memukulkan gagang pistol tersebut ke wajah Saksi Korban. Namun atas pukulan Terdakwa, Saksi Korban masih dapat menangkisnya. Kemudian Terdakwa menembakan pistol tersebut ke badan Saksi Korban sebanyak 3 (tiga) kali namun hanya 1 (satu) tembakan saja yang mengenai tangan kiri Korban. Selanjutnya, datang karyawan toko melerai keributan antara Terdakwa dan Korban.Di muka persidangan, Korban dan Terdakwa menerangkan pada tingkat penyidikan telah tercapai kesepakatan perdamaian. Isi Kesepakatan tersebut antara lain, Terdakwa dan Saksi Korban sudah saling memaafkan dan Terdakwa bersedia memberikan ganti rugi sebesar 6 juta rupiah.   Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan oleh karena sebelum persidangan telah terjadi perdamaian antara Korban dengan Terdakwa maka berdasarkan Pasal 9 Perma Nomor 1 Tahun 2024, Majelis Hakim menjatuhi pidana kepada Terdakwa dengan Pendekatan Keadilan Restoratif. Sehingga keadaan tersebut, menjadi keadaan yang meringankan bagi Terdakwa.Atas putusan tersebut Terdakwa dan Penuntut Umum menerima putusan tersebut. (zm/wi)

PN Tanjung Pinang Terapkan Restorative Justice ke Nakhoda WNA Kapal Rusia

article | Sidang | 2025-07-28 15:10:27

Tanjung Pinang- Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (Kepri) kembali menunjukkan komitmennya dalam menegakkan hukum yang berkeadilan dengan berhasil menerapkan mekanisme Restorative Justice (RJ). Hal itu dalam perkara pelanggaran pelayaran yang melibatkan seorang warga negara asing asal Rusia, Zamuraev Evgenii.Zamuraev Evgenii merupakan nakhoda kapal Fianit berbendera Vanuatu GT. 722 yang diamankan oleh Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PPLP) Tanjung Uban setelah kedapatan beroperasi di wilayah perairan Indonesia selama lebih dari 24 jam tanpa mengantongi Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Aktivitas kapal juga dinilai mencurigakan, sehingga tindakan hukum pun diambil sesuai ketentuan hukum pelayaran yang berlaku di Indonesia.Dalam proses persidangan, Ketua PN Tanjung Pinang, Irwan Munir selaku Ketua Majelis Hakim dengan Hakim Anggota Dr. Sayed Fauzan dan Dessy Deria Elisabeth Ginting memberikan pertimbangan berdasarkan Pasal 317 Jo Pasal 193 ayat (1) huruf b UU Pelayaran dan Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. “Majelis menilai bahwa perkara ini dapat diselesaikan melalui pendekatan restoratif mengingat adanya itikad baik dari terdakwa dan perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa diancam paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,” demikian bunyi pertimbangan majelis sebagaimana keterangan yang didapat DANDAPALA, Senin (28/7/2025).Serta akibat dari perbuatan Terdakwa tersebut tidak menimbulkan dampak kerugian yang mendalam bagi Negara dan masyarakat Indonesia sebagai korban. Sehingga Majelis Hakim berpendapat dalam perkara a quo dapat diupayakan penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif dengan ketentuan bahwa penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana.“Namun dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan terhadap Terdakwa dan di sisi lain terhadap korban tindak pidana dapat diupayakan pemulihan keadaan,” ujarnya.Hal itu diperkuat dengan adanya surat resmi dari Kedutaan Besar Rusia di Indonesia tertanggal 10 Maret 2025 yang menyatakan bahwa Pemerintah Rusia menghormati dan mematuhi peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam persidangan, Terdakwa pun secara terbuka mengakui kesalahannya dan bersedia menyampaikan permintaan maaf tertulis kepada Kementerian Perhubungan Laut Cq Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Republik Indonesia.“Majelis Hakim akhirnya menjatuhkan pidana bersyarat kepada Zamuraev Evgenii, dengan ketentuan syarat umum berupa penjara selama 2 (dua) bulan dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan oleh karena terdakwa melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 3 (tiga) bulan, serta syarat khusus berupa menghukum Terdakwa untuk meminta maaf secara tertulis kepada Pemerintah Republik Indonesia Cq. Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Pemerintah Republik Indonesia,” paparnya.Keberhasilan penyelesaian perkara ini melalui pendekatan Restorative Justice menjadi bukti bahwa sistem peradilan di Indonesia, khususnya di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, terus mengedepankan nilai-nilai keadilan substantif, pemulihan, dan kesadaran hukum, tanpa mengesampingkan keda

Sepekan, 2 Perkara Selesai Melalui Pendekatan RJ di PN Jeneponto

article | Sidang | 2025-07-26 08:20:45

Jeneponto — Pengadilan Negeri (PN) Jeneponto kembali menunjukkan komitmennya dalam mendorong penyelesaian perkara secara humanis dan berkeadilan. Dalam kurun waktu satu pekan, dua perkara pidana berhasil diselesaikan melalui pendekatan Restorative Justice (RJ). “Kedua perkara tersebut masing-masing tercatat dalam register dengan Nomor 27/Pid.B/2025/PN Jnp dengan nama Terdakwa Risman Alias Lallo Bin Sudirman dan Nomor 28/Pid.B/2025/PN Jnp dengan nama Terdakwa Benni Bin Kamiruddin. Keduanya merupakan tindak pidana pencurian yang memenuhi syarat untuk diterapkan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” kutip DANDAPALA dari riis yang diterima. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jeneponto menjatuhkan putusan dalam dua perkara pidana dalam sidang terbuka untuk umum, masing-masing pada Rabu, 9 Juli 2025, untuk perkara Nomor 27/Pid.B/2025/PN Jnp, dan Selasa, 15 Juli 2025, untuk perkara Nomor 28/Pid.B/2025/PN Jnp. “Majelis Hakim menyatakan bahwa perkembangan sistem pemidanaan, tidak hanya bertumpu pada pemidanaan terhadap terdakwa melainkan telah mengarah pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban terdakwa dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif. Keadilan restoratif tersebut kemudian diakomodir dan dituangkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” ucap Majelis Hakim dalam pertimbangannya. Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Taufiq Nur Ardian, dengan anggota Firmansyah Amri, dan Adhitia Brama Pamungkas, S.H., Terdakwa dalam perkara Nomor 27/Pid.B/2025/PN Jnp dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun, sedangkan perkara Nomor 28/Pid.B/2025/PN Jnp dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) bulan. Secara singkat, perkara Nomor 27/Pid.B/2025/PN Jnp berawal dari aksi pencurian satu unit sepeda motor Honda Revo, sedangkan perkara Nomor 28/Pid.B/2025/PN Jnp berkaitan dengan pencurian tiga buah pompa air merek Shimizu. Kemudian dalam persidangan Majelis Hakim berhasil memberikan pemahaman mengenai Perma 1 tahun 2024 kepada korban sehingga korban dapat memaafkan perbuatan dari Terdakwa dan sepakat untuk berdamai, kemudian dituangkan dalam surat perdamaian yang telah disepakati oleh keduanya; “Dengan keberhasilan penyelesaian dua perkara melalui pendekatan keadilan restoratif, PN Jeneponto berharap pendekatan serupa dapat terus dioptimalkan, karena keadilan restoratif tidak hanya mempercepat proses penyelesaian perkara, tetapi juga menghindarkan pelaku dari stigma negatif akibat proses pemidanaan yang berkepanjangan, sekaligus memberikan ruang bagi korban untuk memperoleh pemulihan akibat tindak pidana,” tutup rilis tersebut. (ldr)

Hakim Muda PN Tubei Lanjutkan Estafet Restorative Justice di Bumi Rafflesia

article | Berita | 2025-07-23 17:00:04

Tubei - Pengadilan Negeri (PN) Tubei, Bengkulu kembali menjatuhkan putusan dengan penerapan pendekatan restorative justice, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024. Namun hal yang berbeda adalah putusan ini dijatuhkan oleh para hakim baru yang memulai tugas di Pengadilan Negeri (PN) Tubei. Namun lebih dari itu, ini juga menjadi kelanjutan dari semangat yang telah dirintis oleh para hakim sebelumnya yang kini akan berpindah tugas. Selama masa pengabdiannya, para hakim tersebut telah menangani sejumlah perkara dengan pendekatan yang sama, membentuk iklim peradilan yang lebih humanis, bijak, dan berpihak pada penyelesaian yang memulihkan.“Ini seperti meneruskan tongkat estafet. Hakim-hakim sebelumnya sudah memberi contoh bahwa hukum bisa menjadi jalan untuk memulihkan, bukan hanya menghukum. Sekarang, hakim-hakim baru melanjutkan semangat itu,” ujar seorang pegawai pengadilan. Kasus bermula ketika seorang terdakwa yang mengancam korban menggunakan senjata tajam, memicu ketakutan dan trauma. Namun dalam proses persidangan, kedua belah pihak sepakat berdamai secara sukarela, tanpa tekanan, dan dengan disaksikan langsung oleh aparat penegak hukum. Perdamaian tersebut diterima oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Ria Ayu Rosalin, S.H., M.H., bersama dua hakim anggota yang baru yaitu Ekinia Karolin Sebayang, S.H. dan Yesica, S.H.Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai perkara tersebut telah memenuhi syarat keadilan restoratif setelah dilakukan penilaian menyeluruh terhadap proses perdamaian antara kedua pihak.(YBB/FAC)

Bantu Masalah Overcrowding, Majelis Hakim Arga Makmur Putus Pidana Bersyarat

article | Sidang | 2025-07-23 16:20:20

Arga Makmur, Bengkulu – Pengadilan Negeri (PN) Arga Makmur memutus seorang Terdakwa perkara pencurian melalui pidana bersyarat. Putusan tersebut diketuk Majelis Hakim yang diketuai oleh Silmiwati bersama Hakim Anggota Erlita Kusumawati, dan Vivi Nevida Hasibuan (22/7/2025).“Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 5 (lima) bulan berakhir” ucap Ketua Majelis tersebut.“Majelis Hakim Pengadilan Negeri Arga Makmur mengambil keputusan demikian disebabkan oleh beberapa alasan, dengan turut mendasarkan pada pedoman pemidanaan bagi hakim yang diatur dalam Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2023 yang mulai berlaku pada tahun 2026 mendatang. Pertama, menurut derajat kesalahannya, Terdakwa melakukan hal tidak terpuji tersebut karena terpaksa harus memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua, adanya pemaafan dari Korban dan keluarganya atas perbuatan Terdakwa. Ketiga, adanya kesepakatan perdamaian yang telah tercapai dan bahkan telah dilaksanakan sepenuhnya oleh Terdakwa”, bunyi rilis berita yang diterima DANDAPALA dari PN tersebut. Lebih lanjut dalam rilis berita tersebut, melalui perkara ini, Majelis Hakim berusaha untuk turut serta membantu penyelesaian permasalahan terkait overcrowding penahanan sehingga kemudian tercipta efisiensi sistem peradilan. (FAC)

Pengadilan Negeri (PN) Lembata Hadirkan Restorative Justice

article | Sidang | 2025-07-23 16:00:24

Lembata-Pengadilan Negeri (PN) Lembata, Nusa Tenggara Timur, (NTT) berhasil menyelesaikan perkara pidana Nomor 15/Pid.B/2025/PN Lbt berdasarkan keadilan restoratif, dengan menjatuhkan hukuman pidana berupa pidana percobaan  selama 4 (empat) bulan.Dalam sidang pertama yang dipimpin oleh Ketua Majelis Petra Kusuma Aji, bersama Hakim Anggota Muhammad Aljabbar Putra dan Entang Nuryanto, Terdakwa hadir langsung dan menyatakan keinginan untuk berdamai. Keinginan berdamai tersebut bersambut dengan keinginan korban yang juga ingin berdamai. Perdamaian yang terjadi kemudian dituangkan dalam sebuah kesepakatan perdamaian dengan kesepakatan korban hanya meminta permohonan maaf dari Terdakwa dengan tanpa adanya imbalan atau memberikan sesuatu apapun.Dalam pertimbangannya Majelis Hakim menilai adanya kesepakatan perdamaian tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, melainkan sebagai pertimbangan untuk meringankan hukuman pidana dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sebagaimana Pasal 19 Perma Nomor 1 Tahun 2024Selain itu Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa penjatuhan pidana tersebut sebagai upaya pembinaan atas diri Terdakwa pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya agar Terdakwa tidak mengulangi perbuatannya lagi dan masyarakat tidak meniru perbuatan Terdakwa. (YBB).

Kiat PN Lhokseumawe Berhasil Menerapkan Pendekatan Restorative Justice

article | Serba-serbi | 2025-07-23 15:00:36

Kota Lhokseumawe- Pengadilan Negeri Lhokseumawe berhasil menerapkan Restorative Justice terhadap 3 (tiga) perkara pidana. Adapun 3 (tiga) perkara pidana yang dimaksud teregister dalam perkara nomor 47/Pid.B/2025/PN Lsm, 50/Pid.B/2025/PN Lsm dan 60/Pid.Sus/2025/PN Lsm.“Pengadilan Negeri Lhokseumawe memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Para Pihak untuk menyelesaikan perkaranya dengan pendekatan Restorative Justice. Terlepas hasil yang diperoleh, apakah berhasil atau tidak dalam mencapai Restorative Justice”, ucap Ketua PN Lhokseumawe, Faisal Mahdi.Lebih lanjut, Faisal Mahdi dikatakannya Restorative Justice harus termuat dalam berita acara sidang dan putusan akhir agar dapat dilakukan pendataan.“Screening awal perkara Restorative Justice, Kepaniteraan Muda Pidana di Pengadilan Negeri Lhokseumawe juga telah melakukan pendataan awal sejak perkara dilimpahkan oleh Pihak Kejaksaan. Kemudian, terhadap perkara-perkara yang dapat digunakan pendekatan Restorative Justice akan dicatat dalam Buku Manual Bantu dan diberi tanda khusus dalam sampul berkas perkara. Hal ini, memudahkan Para Hakim untuk dapat mengetahui lebih awal bahwasannya perkara yang telah ditandai dapat digunakan pendekatan Restorative Justice”, bunyi rilis berita yang DANDAPALA terima dari pengadilan tersebut. Selain itu, Rafli Fadilah Achmad, selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Lhokseumawe menyampaikan dukungannya terhadap pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024. “Pemberian nestapa dan penjeraan dalam perkara pidana telah bergeser seutuhnya dengan konsep Restorative Justice.  Restorative Justice menjadi alternatif baru dalam model Pemidanaan dengan menitikberatkan adanya Kepuasan Para Pihak yang bersifat win win solution yang difasilitasi oleh Pihak Pengadilan” tegasnya. (FAC)

Pengadilan Negeri Sampang Berhasil Terapkan Restoratif Pada Kasus KDRT

article | Sidang | 2025-07-23 13:00:43

Sampang — Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sampang, Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa timur, berhasil memfasilitasi kesepakatan perdamaian dalam sidang perkara penganiayaan atau KDRT Nomor 135/Pid.Sus/2025/PN Spg. Kesepakatan tersebut tercapai dalam sidang yang digelar pada Rabu (23/7/2025), melalui pendekatan keadilan restoratif sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024.Perkara ini bermula dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap  Korban yang merupakan istrinya saat anak terdakwa menendang kepala terdakwa yang yang saat itu akan tidur, dan membuat terdakwa emosi, kemudian terdakwa memarahi anaknya hingga anaknya menangis, selanjutnya Korban keluar dari dapur menegur terdakwa karena telah membuat anaknya menangis, kemudian terjadi cekcok mulut antara terdakwa dan korban, lalu pada saat korban menyuguhkan teh yang masih panas tersebut, pada saat korban berbalik badan terdakwa yang masih emosi menyiram teh yang masih panas tersebut ke badan korban hingga korban berteriak kesakitan, selanjutnya korban keluar rumah dan hingga keesokan harinya melaporkan kejadian tersebut ke Polres Sampang;Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Adji Prakoso, bersama Hakim Anggota M.Hendra Cordova Masputra dan Fatchur Rochman serta dibantu Gufran Zakky selaku Panitera Pengganti, terdakwa hadir langsung dan menyatakan kesanggupan memenuhi permintaan korban agar terdakwa mau merubah sikapnya tidak kasar lagi dan berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang sama kepada korban serta mencintai anak dan korban dengan sebaik-baiknya di hadapan majelis hakim. Selain itu kesepakatan perdamaian yang telah dibuat dan ditanda tangani oleh terdakwa dan korban telah dilaksankan.Kesepakatan perdamaian dapat menjadi awal baru bagi korban dan terdakwa, dalam memulihkan hubungan yang sempat retak akibat timbulnya konflik.  Dengan demikian, kesepakatan perdamaian dalam persidangan ini merupakan momen yang berkesan baik bagi para pihak yang berperkara, maupun bagi para hakim yang berhasil mendamaikan kasus kejahatan dalam rumah tangga., jelas Eliyas Eko Setyo selaku Juru Bicara Pengadilan Negeri Sampang saat dietemui Tim Dandapala. EES/FAC)

Jelang Mutasi, Majelis Hakim PN Sengeti Berhasil Wujudkan Keadilan Restoratif

article | Sidang | 2025-07-19 15:00:26

Sengeti — Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Sengeti, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, berhasil memfasilitasi kesepakatan perdamaian dalam sidang perkara penganiayaan Nomor 142/Pid.B/2025/PN Snt. Kesepakatan tersebut tercapai dalam sidang yang digelar pada Selasa (16/7/2025), melalui pendekatan keadilan restoratif sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024.Perkara ini bermula dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh empat orang terdakwa terhadap M. Yunus bin Azhari, pada 13 April 2025 dini hari, di Desa Kasang Pudak, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi. Akibat peristiwa tersebut, Yunus mengalami luka robek di kepala yang memerlukan 25 jahitan, memar di mata, serta nyeri di beberapa bagian tubuh.Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Mohammad Harzian Rahmatsyah, bersama Hakim Anggota Hj. Eryani Kurnia Puspitasari dan Satya Frida Lestari, orang tua para terdakwa hadir langsung dan menyatakan kesanggupan memenuhi permintaan ganti rugi biaya pengobatan sejumlah Rp5,9 juta. Uang tersebut lalu diserahkan secara tunai kepada korban di hadapan majelis hakim, serta dituangkan dalam akta perdamaian yang ditandatangani para pihak. Kesepakatan perdamaian dapat menjadi awal baru bagi korban dan para terdakwa, dalam memulihkan hubungan yang sempat retak akibat timbulnya konflik. Menariknya, ketiga hakim yang memimpin persidangan dalam waktu dekat juga akan mengawali tugas baru di satker tujuan masing-masing, setelah menerima surat keputusan mutasi. Dengan demikian, kesepakatan perdamaian dalam persidangan ini merupakan momen yang berkesan baik bagi para pihak yang berperkara, maupun bagi para hakim yang akan segera melangkah ke tempat pengabdian berikutnya. (rh/fac)

Tok! PN Pekanbaru Terapkan RJ dalam Kasus Investasi Platform WX Coin

article | Sidang | 2025-07-18 15:25:03

Pekanbaru. Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru berhasil menerapkan prinsip Restorative Justice (RJ), dalam putusan perkara terdakwa Ari Setio Nugroho alias Ari, dalam perkara penipuan yang teregister dengan Nomor 491/Pid.B/2025/PN Pbr.  “Menyatakan terdakwa Ari Setio Nugroho Als Ari, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut Serta Melakukan Penipuan”. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 4 bulan dan 3 minggu,” bunyi amar putusan yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum Rabu 17/6. Putusan tersebut diucapkan oleh Indra Lesmana Karim, selaku ketua majelis, serta Lifiana Tanjung, dan Zefri Mayeldo Harahap masing-masing sebagai hakim anggota. “RJ ini menegaskan kembali komitmen PN Pekanbaru dalam mendorong penyelesaian perkara pidana yang berkeadilan, humanis, dan memulihkan,” ungkap rilis yang diterima DANDAPALA Jumat, 18/7. Rilis tersebut lebih lanjut menyampaikan Majelis Hakim memfasilitasi ruang dialog antara korban dan terdakwa. “Pendekatan Restorative Justice dipilih dengan mempertimbangkan tujuan utama pemulihan korban serta pertanggungjawaban moral dari pelaku. Sebagai wujud iktikad baik, terdakwa menyerahkan uang sejumlah Rp40 juta untuk mengganti kerugian yang diderita korban. Meski tidak menutup seluruh kerugian, namun korban menerima dan menyatakan kesediaan untuk berdamai serta menyelesaikan persoalan secara kekeluargaan,” tegas rilis tersebut. Perkara ini berawal dari ajakan investasi oleh Terdakwa bersama seorang rekannya, berupa penanaman modal pada platform WX Coin—sebuah mata uang kripto yang tidak memiliki legalitas dan izin dari BAPPEBTI. Terdakwa dan Rubianto meyakinkan korban bahwa keuntungan akan diperoleh secara rutin, dan korban pun menyerahkan modal hingga mencapai Rp49.500 juta. Meskipun pada awalnya korban menerima sejumlah profit, sejak Desember 2018 pembayaran terhenti, dan modal tak kunjung dikembalikan. Hingga akhirnya Korban kemudian melaporkan kejadian ini ke Polresta Pekanbaru. Rilis tersebut juga menyampaikan Majelis Hakim mempertimbangkan kesepakatan tersebut sebagai faktor meringankan dan menilai bahwa proses pemulihan korban merupakan elemen penting dalam mencapai keadilan substantif, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 19 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Wakil Ketua PN Pekanbaru sekaligus juru bicara Delta Tamtama, dalam rilis tersebut menyampaikan penerapan RJ dalam perkara ini merupakan wujud nyata dari transformasi budaya peradilan yang lebih berorientasi pada penyelesaian berkeadilan, sekaligus memperkuat citra pengadilan sebagai lembaga yang responsif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. “Pengadilan tidak hanya menjadi tempat menjatuhkan hukuman, tetapi juga menjadi ruang untuk membangun kepercayaan, memperbaiki kerusakan, dan memulihkan martabat korban,” tegas Delta Tamtama yang pernah menjabat sebagai Ketua PN Sei Rampah. “Penyelesaian perkara penipuan melalui pendekatan RJ ini menjadi contoh penting bagaimana sinergi antara proses hukum dan pendekatan dialogis dapat menghadirkan keadilan yang menyeluruh, bukan hanya bagi pelaku dan korban, tetapi juga bagi masyarakat,” tutup rilis tersebut. (ldr)

PN Dataran Hunipopu Berhasil Damaikan Paman dan Keponakan dalam Perkara Pidana

article | Sidang | 2025-07-17 20:50:39

Dataran Hunipopu. Pengadilan Negeri (PN) Dataran Hunipopu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, berhasil mendamaikan perkara pidana pengancaman yang dilakukan paman terhadap keponakannya, pada Rabu 16 Juli 2025. Perkara tersebut terdaftar dalam register No. 28/Pid.Sus/2025/PN Drh. ”Pada proses persidangan berlangsung, Majelis Hakim mengupayakan untuk menempuh mekanisme Restorative Justice atau Keadilan Restoratif dengan mengupayakan perdamaian bagi kedua belah pihak sesuai dengan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 1 Tahun 2024, dimana kemudian upaya mekanisme Keadilan Restoratif tersebut berhasil dan antara Terdakwa dan Saksi Korban sepakat menyusun kesepakatan damai” kutip Dandapala dari rilis yang diterima Kamis Malam 17/7. Perkara tersebut disidangkan oleh Majelis Hakim Dwi Satya Nugroho Aji dengan didampingi Hakim Anggota Yogi Triyono dan Yudhistira Ary Prabowo. Lebih lanjut rilis tersebut menyampaikan poin-poin kesepakatan perdamaian yang dilakukan antara lain: Terdakwa harus mengembalikan mobil Suzuki Carry Pickup yang masih ditahan Terdakwa untuk dikembalikan kepada Saksi Korban. Apabila Terdakwa telah mengembalikan mobil yang sedang ditahan Terdakwa kepada pihak Saksi Korban, maka Saksi Korban bersedia untuk mencabut laporan Polisi yang sedang berjalan di Polres Seram Bagian Barat, baik laporan penipuan, maupun laporan penggelapan atau perampasan terhadap mobil. Selambat-lambatnya mobil tersebut dikembalikan segera mungkin atau setidak-tidaknya sebelum tuntutan Jaksa Penuntut Umum. ”Setelah mencapai kesepakatan, selanjutnya dilakukan prosesi penandatanganan kesepakatan perdamaian antara Terdakwa dan Saksi Korban namun kesepakatan tersebut bukanlah suatu hal yang mengakhiri suatu perkara, akan tetapi menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam menyusun putusan nantinya bahwa kesepakatan perdamaian berhasil dalam mekanisme Restoratif Justice tersebut dan dapat sebagai hal yang meringankan bagi diri Terdakwa," tutup rilis tersebut.

PN Sinjai Hukum Pelaku Pencurian Motor Lewat Restorative Justice

article | Berita | 2025-07-17 16:45:20

Sinjai  – Pengadilan Negeri (PN) Sinjai, Sulawesi Selatan menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa pencurian sepeda motor, Muhammad Faiz (18), dengan menetapkan pidana penjara selama 3 bulan 12 hari atau sama dengan masa penangkapan dan penahanannya. Dengan demikian, Majelis Hakim memerintahkan agar Terdakwa dibebaskan seketika setelah putusan diucapkan.Putusan tersebut dibacakan Majelis Hakim yang diketuai Yunus, dengan hakim anggota Ristama Situmorang dan Hedyana Adri Asdiwati, pada Kamis (17/7). Dalam pertimbangannya, Majelis menekankan bahwa telah terjadi perdamaian antara Terdakwa dan korban, Wawan, yang dilakukan secara lisan tanpa syarat dalam persidangan. Perdamaian ini menjadi dasar penerapan pendekatan keadilan restoratif sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2024.“Pidana tidak hanya bertujuan menghukum, tetapi juga memulihkan keadaan korban dan memberi kesempatan bagi pelaku untuk bertanggung jawab,” ujar Ketua Majelis dalam sidang putusan.Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya menuntut Terdakwa dengan pidana satu tahun penjara.Kasus bermula dari laporan ibu Terdakwa, Erry Restuningati (41), yang mencurigai anaknya menggunakan sepeda motor tanpa kunci pada Minggu, 6 April 2025. Setelah melapor ke polisi, Faiz ditangkap dan mengakui telah mencuri sepeda motor dari parkiran Café D Simple, Sinjai, pada malam sebelumnya.Dalam proses persidangan, Majelis menjelaskan ketentuan Perma No. 1 Tahun 2024 yang memungkinkan perdamaian antara pelaku dan korban sebagai bentuk penyelesaian perkara secara adil dan manusiawi. Terdakwa menyampaikan permintaan maaf secara langsung yang kemudian diterima oleh korban.Putusan ini dinilai sebagai implementasi konkret dari prinsip keadilan restoratif, yang mengedepankan pemulihan dan perdamaian, serta menghindari pembalasan yang berlarut. (SNR/LDR)

Tok, PN Bangkalan Terapkan RJ Kasus Penipuan

article | Sidang | 2025-07-17 09:00:36

Bangkalan - PN Bangkalan menjatuhkan vonis yang lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum dalam kasus penipuan sewa mobil. Majelis Hakim menilai perbuatan Terdakwa mengembalikan uang Korban sebagai hal yang meringankan dalam penjatuhan pidana terhadap Terdakwa. ”Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan, menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama 4  bulan 20 hari,” bunyi amar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim dalam sidang terbuka untuk umum Rabu 16/7.Kasus penipuan ini bermula ketika Terdakwa Koes Restonia Haque (KRH) sedang terlilit hutang. Lalu, nekat melakukan kejahatan tersebut dengan cara mengaku sebagai pemilik sebuah mobil rental yang kemudian digadaikan pada Korban dengan nilai gadai sejumlah Rp25 juta rupiah. Perbuatannya terbongkar ketika pemilik mobil rental tersebut mengambil mobil tersebut dari penguasaan Korban. Saat itu korban sadar telah ditipu oleh Terdakwa dan selanjutnya melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian.Perkara tersebut terdaftar dalam Nomor 114/Pid.B/2025/PN Bkl dengan Majelis Hakim diketuai oleh Ery Acoka Bharata didampingi oleh Armawan dan Wienda Kresnantyo, masing-masing sebagai Hakim Anggota, serta dibantu Akhmad Taufik, selaku Panitera Pengganti.Humas PN saat dietemui Tim Dandapala Kadek Dwi Krisna Ananda, menjelaskan Kejadian menarik terjadi saat persidangan berlangsung. Korban sempat tidak mau menerima pengembalian sejumlah uang dari Terdakwa karena khawatir Terdakwa dapat bebas seketika dan dinyatakan tidak bersalah. ”Ketua Majelis juga menjelaskan apa yang dimaksud pendekatan restoratif justice dalam penyelesaian perkara pidana dimuka sidang. Lebih lanjut, Ketua Majelis juga menjelaskan bahwa sikap Terdakwa mau mengembalikan uang gadai tidak dapat membuat perkaranya dihentikan seketika atau menjadi dinyatakan bebas dari hukuman. Proses pemeriksaan tetap berlanjut, namun itikad baik Terdakwa tersebut akan dinilai sebagai bentuk Terdakwa bertanggungjawab untuk memulihkan dampak tindak pidana yang dibuatnya. Setelah menerima penjelasan tersebut, akhirnya Korban mau menerima pengembalian uang gadai dan memaafkan korban. Selanjutnya, Penuntut Umum menuntut Terdakwa bersalah dan layak untuk dijatuhi hukuman penjara selama 6 (enam) bulan,” bebernya. Dalam putusannya, Majelis Hakim menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif (Restoratif Justice/RJ) sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.”Berdasarkan putusan yang dibacakan, Majelis Hakim juga telah menguraikan aspek sosiologis sebagai hal objektif dan bijak dalam menjatuhkan pemidanan yang adil bagi Terdakwa, yaitu Terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, Terdakwa dipersidangan telah berterus terang mengakui perbuatannya, dan Terdakwa masih menjadi tulang punggung keluarga,” tutup Humas PN Bangkalan.(EES/LDR)

PN Painan Terapkan Keadilan Restoratif Perkara Penganiayaan

article | Berita | 2025-07-02 13:30:24

Painan - Pengadilan Negeri (PN) Painan dengan susunan Majelis Hakim Batinta Oktavianus P Meliala sebagai Hakim Ketua, Syah Putra Sibagariang dan Akhnes Ika Pratiwi sebagai Hakim Anggota, menghukum Terdakwa pelaku penganiayaan dengan menerapkan restorative justice.“Menyatakan Terdakwa Syafani Pgl. Saf Bin M. Salim (Alm) tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 5 (lima) hari”, bunyi amar putusan perkara nomor 70/Pid.B/2025/PN Pnn yang diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Senin, 30 Juni 2025.Dalam rilis berita yang diperoleh Tim DANDAPALA dari PN tersebut, bahwa perkara tersebut berawal dari adanya pertengkaran antara Saksi Korban dengan isteri Terdakwa, selanjutnya Terdakwa merasa emosi terhadap Saksi Korban dan mendatangi Saksi Korban dengan membawa sebilah parang. Kemudian Terdakwa mengarahkan parang ke perut Saksi Korban dengan cara menusuk tapi Saksi Korban dapat menghindar dan berhasil menjepit tangan kanan Terdakwa yang memegang parang tersebut dengan pergelangan tangan kiri di rusuk kiri Saksi Korban. Pada saat Terdakwa berusaha untuk melepaskan jepitan tersebut dengan cara menarik tangannya selanjutnya parang tersebut melukai bagian perut sebelah kiri Saksi Korban.Pada persidangan perkara tersebut antara Terdakwa dengan Saksi Korban telah terjadi perdamaian yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani di hadapan Majelis Hakim dengan isi perdamaian Terdakwa mengakui kesalahannya serta meminta maaf secara dan Saksi Korban telah memaafkan Terdakwa, serta Terdakwa dan Saksi Korban berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut di kemudian hari dan akan menjaga hubungan baik dalam lingkungan masyarakat.Majelis Hakim dalam putusannya mempertimbangkan perdamaian antara Terdakwa dan Saksi Korban tersebut telah menunjukkan kerendahan hatinya untuk meminta maaf, sedangkan Saksi Korban telah menunjukkan kebesaran hatinya untuk bersedia menerima dan memberikan maaf kepada Terdakwa, selain itu baik Terdakwa maupun Saksi Korban secara bersama-sama menunjukkan komitmennya untuk melakukan pemulihan hubungan baik. Di samping itu ternyata antara Terdakwa dengan Saksi Korban merupakan tetangga, sehingga pemulihan hubungan antara keduanya menurut Majelis Hakim merupakan suatu tujuan yang penting untuk dicapai, hal tersebut sebagaimana ungkapan ”Keluarga terdekat adalah tetangga” dalam kehidupan sosial yang menunjukkan pentingnya hubungan baik dengan orang-orang yang tinggal di sekitar. fac/bs

Nilai Keadilan Restoratif dalam Hukum Adat Minangkabau

article | Opini | 2025-06-25 10:30:20

Hukum pidana adat merupakan bagian integral dari sistem hukum adat yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat. Hukum ini mencerminkan nilai-nilai budaya, kearifan lokal, dan prinsip keadilan yang bertujuan menjaga harmoni sosial dalam komunitas. Dalam konteks modern, pendekatan keadilan restoratif menawarkan alternatif penyelesaian perkara pidana yang berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan semata-mata pembalasan. Hukum pidana adat Minangkabau memiliki kesamaan mendasar dengan prinsip keadilan restoratif, karena mengedepankan musyawarah, mediasi, dan pemulihan keseimbangan sosial berdasarkan falsafah adat, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, yang menjadi landasan moral dan hukum dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menjadi sebuah hal yang menarik untuk mengkaji dan menguraikan hubungan antara hukum pidana adat Minangkabau dan pendekatan keadilan restoratif, dengan fokus pada penerapannya dalam penyelesaian perkara pidana di masyarakat Minangkabau serta relevansinya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.Hukum Pidana Adat MinangkabauHukum pidana adat Minangkabau diatur dalam kerangka Undang-Undang Nan Duapuluh, yang terdiri dari Undang-Undang Nan Salapan dan Undang-Undang Nan Duobaleh. Undang-Undang Nan Salapan mencakup delapan jenis delik adat yang dianggap melanggar norma masyarakat Minangkabau, yaitu dago-dagi (perbuatan cabul atau asusila), sumbang-salah (pelanggaran adat perkawinan), samun-sakar (perampokan atau perbuatan kekerasan), maling-curi (pencurian), tikam-bunuh (pembunuhan), kicuh-kecong dan tipu-tepok (penipuan atau pengkhianatan), upeh-racun (peracunan), siar-bakar (pembakaran atau perusakan). Sedangkan Undang-Undang Nan Duobaleh menjelaskan tanda-tanda bukti pelanggaran terhadap delik-delik tersebut, seperti saksi, barang bukti, atau pengakuan pelaku. Sanksi dalam hukum pidana adat Minangkabau bersifat kolektif, di mana tanggung jawab pelaku tidak hanya ditanggung secara individu, tetapi juga oleh kaum atau sukunya. Sanksi yang diberikan meliputi denda (japuik), pengucilan sosial, hingga pengusiran dari nagari. Sanksi ini tidak hanya bertujuan memberikan efek jera, tetapi juga memulihkan keseimbangan sosial yang terganggu akibat tindak pidana.Lembaga Kerapatan Adat Nagari selanjutnya disebut dengan KAN, memainkan peran sentral dalam pelaksanaan hukum pidana adat di masyarakat Minangkabau. Lembaga KAN terdiri dari ninik mamak (pemimpin adat), alim ulama (tokoh agama), cadiak pandai (tokoh intelektual), bundo kanduang (tokoh perempuan), dan parik paga (tokoh keamanan nagari). KAN bertugas memfasilitasi musyawarah untuk menyelesaikan konflik sesuai dengan prinsip adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Proses musyawarah ini mencerminkan pendekatan mediasi yang menekankan keadilan, harmoni sosial, dan pemulihan hubungan antarpihak.Karakteristik Hukum Pidana Adat MinangkabauHukum pidana adat Minangkabau yang berakar pada prinsip adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah sebagai landasan moral memiliki beberapa karakteristik utama yaitu kolektivitas, yang bermakna bahwa tanggung jawab atas tindak pidana tidak hanya berada pada pelaku, tetapi juga pada keluarga atau sukunya. Hal ini mencerminkan nilai gotong royong dan solidaritas sosial dalam budaya Minangkabau. Selanjutnya adalah musyawarah yaitu penyelesaian konflik dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan semua pihak terkait, termasuk korban, pelaku, dan masyarakat, untuk mencapai mufakat. Kemudian pemulihan keseimbangan sosial yang bermakna bahwa sanksi adat, seperti denda atau permintaan maaf, bertujuan mengembalikan harmoni sosial yang terganggu,bukan hanya menghukum pelaku. Fleksibilitas yang mana hukum pidana adat bersifat fleksibel dengan sanksi disesuaikan dengan jenis pelanggaran, dampaknya, dan konteks sosial masyarakat. Karakteristik ini menjadikan hukum pidana adat Minangkabau sebagai sistem hukum yang berorientasi pada keadilan restoratif, yang memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan keadilan restoratif modern.Konsep dan Prinsip Keadilan RestoratifKeadilan restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Berbeda dengan pendekatan retributif yang menekankan hukuman terhadap pelaku, keadilan restoratif mengutamakan dialog, mediasi, dan restitusi untuk mencapai keadilan yang berkelanjutan. Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi korban untuk menyampaikan dampak tindak pidana terhadap mereka, mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, melibatkan masyarakat dalam proses penyelesaian konflik, menciptakan solusi yang memenuhi kebutuhan semua pihak.Prinsip utama keadilan restoratif meliputi partisipasi, restitusi, rekonsiliasi, pemberdayaan komunitas. Pendekatan keadilan restoratif telah diterapkan di berbagai negara, seperti Selandia Baru melalui family group conferences dan Kanada melalui circle sentencing, dengan hasil yang menunjukkan penurunan angka residivisme dan peningkatan kepuasan korban. Di Indonesia, keadilan restoratif mulai diadopsi dalam penyelesaian perkara pidana di dalam Perjak Nomor 15 Tahun 2020, Perkap Nomor 8 Tahun 2021, dan Perma Nomor 1 Tahun 2024.Bentuk Integrasi Hukum Pidana Adat Minangkabau Berlandaskan Keadilan RestoratifIntegrasi hukum pidana adat Minangkabau yang berlandaskan keadilan restoratif terlihat dengan diterapkanya mekanisme musyawarah di bawah lembaga KAN yang berfungsi sebagai mediator utama dalam penyelesaian perkara pidana ringan, seperti pencurian, penganiayaan ringan, atau sengketa perkawinan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan perwakilan masyarakat untuk mencapai kesepakatan yang memenuhi kebutuhan semua pihak. Kemudian sanksi adat sebagai alternatif hukuman, seperti denda (japuik), permintaan maaf publik, atau pengucilan sementara, dapat digunakan sebagai alternatif hukuman penjara dalam sistem keadilan restoratif. Sanksi ini tidak hanya memberikan efek jera, tetapi juga memungkinkan korban mendapatkan kompensasi dan harmoni di dalam Masyarakat tetap terjaga. Berikutnya pemulihan keseimbangan sosial, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum pidana adat Minangkabau bertujuan mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat tindak pidana, pemulihan ini dicapai melalui restitusi dan rekonsiliasi. Bentuk selanjutnya adalah integrasi hukum pidana adat Minangkabau dengan hukum formal, di mana hukum pidana adat dapat menjadi pelengkap hukum formal dalam penyelesaian perkara pidana ringan. Misalnya, setelah pelaku mendapatkan sanksi dari sistem peradilan formal seperti denda atau masa percobaan, lembaga KAN dapat menerapkan sanksi adat untuk memperkuat efek jera dan memastikan reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat. Pendekatan ini telah didukung oleh Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, yang mengakui peran lembaga KAN dalam penyelesaian sengketa adat.Untuk memberikan gambaran yang lebih konkrit tentang penerapan hukum pidana adat Minangkabau dalam konteks keadilan restoratif, penulis akan memberikan contoh kasus, yaitu kasus pencurian di Nagari Sungai Puar, di mana seorang pemuda melakukan pencurian kambing milik tetangganya. Kasus ini dilaporkan kepada KAN setempat sebelum masuk ke ranah hukum negara, setelah menerima laporan, kemudian KAN mengadakan musyawarah yang melibatkan pelaku, korban, keluarga kedua belah pihak, dan tokoh masyarakat. Hasil musyawarah menetapkan bahwa pelaku harus mengganti kambing yang dicuri dengan kambing baru, membayar denda adat (japuik) sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) kepada korban, meminta maaf secara adat di hadapan KAN dan masyarakat nagari. Proses ini berhasil memulihkan hubungan harmonis antara pelaku dengan korban, serta pelaku juga diterima kembali oleh masyarakat setelah memenuhi sanksi adat.Namun, untuk mengintegrasikan hukum pidana adat Minangkabau kita memiliki tantangan dan peluang, seperti belum optimalnya pengakuan hukum adat dalam sistem nasional, resistensi aparat, serta konflik nilai dengan hukum positif. Peluang integrasi muncul melalui dukungan regulasi seperti Perda Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2018, dan penerimaan luas masyarakat terhadap penyelesaian adat.Pada akhirnya, agar hukum pidana adat Minangkabau dapat menjadi bagian penting dari sistem peradilan pidana Indonesia yang inklusif, kontekstual, dan berbasis keadilan restoratif diperlukan dukungan secara sistematis dari seluruh elemen masyarakat, khususnya dari masyarakat adat Minangkabau. (WI/ZM)Daftar Pustaka Navis, A.A. 1984. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers. Datoek Toenan. 1989. Tambo Adat Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia. Hadikusuma, Hilman. 1990. Pengantar Ilmu Hukum Adat. Bandung: CV. Mandiri. HAFRIDA, & H. Dato. Sofrida. 2024. Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Depublish. Zulfa, Eva Achjani. 2011. Restorative Justice dan Peradilan Pro-Korban. Jakarta: Kerjasama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Departemen Kriminologi FISIP UI. Soekanto, Soerjono. 1981. Hukum Adat dan Pembinaan Masyarakat. Bandung: Alumni. Bushar, Muhammad. 1983. Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

Sepakat Damai Tanpa Ganti Kerugian, PN Sei Rampah Vonis Pencuri Sawit Pakai RJ

article | Sidang | 2025-06-20 17:00:39

Pengadilan Negeri (PN) Sei Rampah menghukum Terdakwa M. Rian Purba Alias Agok selama 10 hari penjara. Terdakwa di hukum karena telah terbukti mencuri 1 tandan buah kelapa sawit dengan berat keseluruhannya 15 Kg. Perkara tersebut diregister dalam perkara tindak pidana ringan. “Menyatakan Terdakwa M. Rian Purba Alias Agok telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pencurian Ringan”. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) hari,” bunyi Putusan yang dibacakan oleh Hakim Tunggal M. Luthfan Hadi Darus dengan didampingi oleh Emily Fauzi Siregar sebagai Panitera Sidang, Jumat Siang 20/6. Kasus bermula saat Terdakwa bersama rekan Terdakwa mengambil 1 tandan kelapa sawit milik korban dengan maksud untuk dijual. Namun, belum sempat Terdakwa menjual sawit tersebut, pserbuatan Terdakwa diketahui oleh warga sekitar dan Terdakwa langsung diamankan serta diserahkan kepada pihak yang berwenang. “Pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap karena Terpidana dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi suatu syarat yang ditentukan sebelum lewat masa percobaan selama 1 bulan,” lebih lanjut bunyi amar tersebut. Berdasarkan pantauan Tim DANDAPALA, dalam persidangan tersebut antara Terdakwa dengan Saksi Korban telah terjadi perdamaian, dimana Terdakwa telah meminta maaf kepada Saksi Korban. Selain itu, Saksi Korban telah memaafkan korban dengan syarat korban tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selain itu, Saksi Korban juga tidak meminta ganti kerugian, dikarenakan jumlah kerugian yang dideritanya hanya 15 Kg dengan total kerugian Rp40.500.- Dipersidangan juga disampaikan, antara Terdakwa dan Saksi Korban telah berdamai, korban juga tidak meminta ganti kerugian serta tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa menimbulkan kerugian Rp40.500.- atau tidak lebih dari Rp2.5 juta, maka demi keadilan dan kemanfaatan Hakim dapat menerapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. (ldr)

PN Pasaman Barat Terapkan Keadilan Restoratif Perkara Penganiayaan

article | Berita | 2025-06-18 14:00:09

Pasaman Barat - Adagium Hukum yang menyebutkan “sebaik-baik penyelesaian perkara adalah dengan perdamaian” terpancar dalam persidangan perkara Nomor 80/Pid.B/2025/PNPsb di Pengadilan Negeri Pasaman Barat Kelas IB. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan putusan pidana bersyarat terhadap Terdakwa MR. Pengucapan putusan dilaksanakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 16 Juni 2025 di Ruang Sidang Pengadilan Negeri Pasaman Barat.Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menyebutkan telah ada perdamaian antara Terdakwa dengan Korban. “Bahwa didalam persidangan Saksi korban secara langsung menyampaikan telah memaafkan Terdakwa atas perbuatan pemukulan yang dilakukannya terhadap saksi korban. Kemudian korban menyadari perbuatan Terdakwa tersebut hanyalah karena emosi sesaat dan Terdakwa sedang berada dalam pengaruh minuman keras (mabuk),” ucap Ketua Majelis Hakim, Ade Satriawan, didampingi oleh Riskar Stevanus Tarigan dan Safrijaldi, sebagai Hakim Anggota dalam rilis berita dari PN Pasaman Barat yang diterima Tim DANDAPALA.Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim juga menyebutkan bahwa penjatuhan pemidanaan berupa pidana percobaan adalah bentuk penerapan keadilan restoratif yang berpedoman kepada Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Keadilan Restoratif, dimana dalam Pasal 19 beleid dimaksud menyebutkan, kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan Terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak pidana menjadi alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.“Dengan adanya perdamaian antara Terdakwa dengan Korban, maka telah terjadi pemulihan hubungan antara keduanya, sehingga diharapkan antara terdakwa dan korban dapat menjalankan kehidupan sosial ditengah masyarakat seperti sedia kala,” sebut Hakim Ade Satriawan, yang juga menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Pasaman Barat. Setelah putusan dibacakan, terlihat raut muka kebahagian dari seluruh hadirin yang ada dalam ruang sidang. Atas putusan ini, baik JPU maupun Terdakwa menyatakan menerima putusan. (AAR/FAC)

PN Sarolangun Pakai Keadilan Restoratif di Kasus Pencurian Sawit Antar Keluarga

article | Berita | 2025-06-18 11:00:37

Sarolangun — Pengadilan Negeri (PN) Sarolangun, Jambi menjatuhkan putusan terhadap perkara pencurian sawit dengan terdakwa Riski Anggara Putra Bin M. Asmi melalui pendekatan keadilan restoratif, Senin (16/6). Pendekatan ini dilakukan sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.Terdakwa dinyatakan bersalah mencuri 59 janjang sawit milik Abdul Roni Bin M. Satar dengan total berat 637 kilogram. Peristiwa terjadi pada 22 Januari 2025 di Desa Temenggung, Kecamatan Limun, Kabupaten Sarolangun. Kerugian yang dialami korban ditaksir sebesar Rp1.719.900,00.Dalam sidang pada 26 Mei 2025 terungkap bahwa terdakwa dan korban masih memiliki hubungan keluarga. Terdakwa mengaku tidak mengetahui bahwa sawit yang dipanennya berasal dari kebun milik kerabatnya. Majelis hakim mempertimbangkan nilai kerugian yang tidak lebih dari Rp2.500.000,00 dan mendorong perdamaian antar pihak.Terdakwa dan korban sepakat berdamai dengan sejumlah ketentuan: terdakwa mengakui perbuatannya, menyatakan penyesalan, berjanji tidak mengulanginya, dan mengganti kerugian sebesar Rp2.000.000,00. Nilai ganti rugi ini mencakup dampak kerusakan pohon sawit akibat pemanenan yang tidak tepat.Majelis hakim yang diketuai Reindra Jasper H. Sinaga dengan anggota Juwita Daningtyas dan Dzakky Hussein menjatuhkan pidana penjara 6 bulan dengan masa percobaan selama 1 tahun serta kewajiban membayar ganti rugi sebagai syarat khusus.Dalam pertimbangannya, majelis hakim mengkritik tuntutan penuntut umum yang hanya mengandalkan pidana sesuai masa tahanan. Menurut hakim, diperlukan pengawasan terhadap terdakwa melalui pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 14a KUHP.Putusan ini mencerminkan komitmen PN Sarolangun dalam mengedepankan pemulihan dan rekonsiliasi dalam penyelesaian perkara pidana ringan, khususnya yang melibatkan hubungan keluarga, guna menciptakan keadilan yang berkelanjutan dan konstruktif. snr/fac

Terapkan Restorative Justice, PN Amuntai Pulihkan Hubungan Terdakwa dan Korban Penganiayaan

article | Sidang | 2025-05-28 12:00:31

Amuntai - Pengadilan Negeri Amuntai menjatuhkan pidana percobaan kepada Norifansyah (37) dalam kasus penganiayaan ringan terhadap Abdul Mukito (75). Putusan yang diucapkan oleh Gland Nicholas selaku Hakim tunggal tersebut mempertimbangkan keadilan restoratif (Restorative Justice) dengan mengedepankan pemulihan hubungan antara Terdakwa dan Korban.“Menyatakan Terdakwa Norifansyah Bin Suriani (Alm) tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan ringan. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 3 (tiga) bulan berakhir”, ucap Hakim Tunggal, Gland Nicholas dalam sidang terbuka untuk umum di ruang sidang Pengadilan Negeri Amuntai Senin (26/5/2025).Kasus antara Terdakwa dan Korban tersebut merupakan permasalahan yang sudah berlarut-larut bahkan di tahun 2022 dan 2023 perselisihan antara keduanya tersebut sudah sempat dilakukan mediasi di Kantor Desa. Tetapi hubungan antara Terdakwa dan Korban tidak kunjung membaik bahkan perselisihan berlanjut sampai terjadi perselisihan secara fisik. Perselisihan secara fisik tersebut bermula pada Selasa, 13 Mei 2025 sekitar jam 07.00 WITA dimana Terdakwa dan Korban bertemu di Jalan Norman Umar kemudian terjadi adu mulut antara keduanya yang berlanjut hingga Terdakwa memeluk Korban dan menjatuhkan Korban sampai tersungkur ke tanah serta menyebabkan luka pada bagian kaki dan lutut Korban yang mana hal tersebut tertuang dalam hasil pemeriksaan dr. Henny Dwi Nurlita.Dalam proses persidangan, Hakim tunggal yang ditetapkan dalam memeriksa perkara tersebut terus mengupayakan perdamaian guna memulihkan kembali hubungan antara Norifansyah selaku Terdakwa dan Abdul selaku Korban. Pada awal persidangan setelah dibacakan catatan dakwaan dari Penyidik atas Kuasa Penuntut Umum, Terdakwa tidak membenarkan semua perbuatannya yang kemudian Hakim melanjutkan proses persidangan dengan mendengarkan keterangan Para Saksi dan Terdakwa. Setelah mendengar keterangan tersebut Hakim kembali memfasilitasi kesepakatan perdamaian antara Terdakwa dan Korban dengan menekankan kepada pemulihan hubungan di hari yang akan datang, terlebih Terdakwa dan Korban merupakan tetangga di lingkungan tempat tinggalnya. Alhasil, Terdakwa dan Korban bersepakat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara kekeluargaan dengan saling memaafkan serta untuk saling menghormati di hari yang akan datang.Hakim dalam putusannya mempertimbangkan kesepakatan perdamaian tersebut dengan ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif serta mengaitkannya dengan hubungan antara Terdakwa dan Korban dimasa yang akan datang guna menjadi alasan yang meringankan dan menjatuhkan pidana bersyarat terhadap Terdakwa. Dalam putusan pidana percobaan yang dibacakan tersebut Terdakwa tidak perlu menjalani pemidanaan selama 1 (satu) bulan tersebut kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 3 (tiga) bulan berakhir. “Pendekatan Keadilan Restoratif yang diterapkan merupakan upaya nyata dari Pengadilan untuk mengedepankan penyelarasan kepentingan pemulihan Korban dan pertanggungjawaban Terdakwa serta memastikan bahwa proses penegakan hukum tidak hanya bertumpu pada pemidanaan berupa pemenjaraan terhadap Terdakwa”, ucap Juru Bicara Pengadilan Negeri Amuntai tersebut. fac

Pelaku dan Korban Pengeroyokan Berdamai, PN Tubei Terapkan Keadilan Restoratif

article | Sidang | 2025-05-24 14:20:36

Kabupaten Lebong, Bengkulu - Pengadilan Negeri (PN) Tubei menerapkan keadilan restoratif dalam mengadili perkara pengeroyokan yang dilakukan oleh Terdakwa Repaldo. Perkara tersebut diputus oleh Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tubei, Ria Ayu Rosalin selaku hakim ketua dengan Kurnia Ramadhan dan Adella Sera Girsang sebagai hakim anggota.“Menyatakan Terdakwa Repaldo, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di muka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang sebagaimana dalam dakwaan kesatu Penuntut Umum”, bunyi amar putusan Nomor 25/Pid.B/2025/PN Tub yang dikutip Tim DANDAPALA dari website Direktori Putusan MA.Majelis hakim tersebut menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.Perkara ini bermula dari pengeroyokan yang dilakukan oleh Terdakwa dan teman-temannya kepada Korban. Dalam pertimbangan putusan tersebut, bahwa antara Korban dan Terdakwa sudah membuat surat kesepakatan perdamaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa Korban dan Terdakwa sudah saling memaafkan dan berharap agar mereka bisa hidup seperti sebelum terjadinya tindak pidana dan disamping itu Korban sudah mengikhlaskan dan legowo akan kejadian ini.Lebih lanjut pertimbangannya, oleh karena antar pihak sudah berdamai, maka Majelis Hakim merasa tidak dibutuhkan lagi adanya hukuman yang memperlama pemidanaan bagi Terdakwa karena perdamaian antara para pihak tersebut menunjukkan telah tercapainya sejumlah tujuan mengadili perkara berdasarkan keadilan restoratif, sebagaimana Perma 1 Tahun2024.Selain itu, Mejelis Hakim dalam pertimbangannya juga tidak ada menemukan keadaan yang memberatkan. Melainkan adanya keadaan yang meringankan Terdakwa yaitu sudah tercapai kesepakatan perdamaian antara Terdakwa dan Korban. fac

Nenek Minah, Restorative Justice dan Lahirnya Perma 2/2012

article | History Law | 2025-04-25 14:10:56

KISAH Nenek Minah adalah kasus menimpa seorang wanita tua warga Banyumas, Jawa Tengah, yang dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Peristiwa ini terjadi pada tahun 2009 silam ketika Nenek Minah menunaikan pekerjaannya memanen kedelai di perkebunan RSA.Sebagaimana DANDAPALA kutip dari buku Restorative Justice: Alternatif Baru Dalam Sistem Pemidanaan yang ditulis Iba Nurkasihani, kasus Nenek Minah memang cukup fenomenal. Karena kasus ini bermula ketika Nenek Minah mendapati 3 buah kakao di atas pohon perkebunan tempatnya bekerja yang terlihat nampak matang. Maksud hati memetik untuk disemai sebagai bibit pada tanah garapannya. Kemudian dia meletakkan kakao di bawah pohon tak lama kemudian, mandor kakao perkebunan menegur Nenek Minah lantaran 3 buah kakao yang nampak tergeletak di bawah pohon. Tak mengelak dari perbuatannya, Nenek Minah mengaku dan memohon maaf kepada mandor dan menyerahkan kembali ketiga kakao itu,ungkap buku itu. “Sekitar seminggu kemudian, Nenek Minah menerima surat panggilan dari kepolisian atas dugaan pencurian,” beber buku tersebut.Pada akhirnya kasus itu naik di meja hijau yang kala itu disidangkan pada Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Nenek Minah kala itu didakwa atas pencurian (Pasal 362) terhadap 3 buah kakao seberat 3 kilogram dengan perhitungan harga Rp 2.000 per kilogram.Pada saat itu Majelis Hakim PN Purwokerto yang diketuai Muslih Bambang Luqmono,SH., memutuskan Nenek Minah dijatuhi hukuman 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Persidangan Perkara No. 247/PID.B/2009/PN.Pwt ini ramai dibincangkan dan menyita perhatian publik lantaran kasus kecil tetap diproses hukum hingga ke pengadilan.Kasus Nenek Minah adalah pembuka fenomena penerapan Restorative Justice (RJ) mengambil kakao dengan terdakwa Nenek Minah yang kemudian kasusnya menjadi referensi Jaksa Agung hingga Kapolri  menyuarakan penerapan restorative justice dalam berbagai kasus. Kasus Nenek Minah ini sampai sekarang bagai landmark case untuk penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice (RJ) dalam pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang.Konsep RJ sendiri sebetulnya berupaya untuk mengembalikan ke keadaan semula, tapi tidak kemudian menghapuskan kejahatan dari pelaku. Kesalahan akan tetap ada pada pelaku. Namun RJ membuka peluang bagi korban untuk memaafkan serta pelaku untuk mengkoreksi perilakunya. Tetap pada pokoknya hukum pidana memberi peringatan bagi masyarakat jangan membuat perbuatan yang melanggar UU karena terdapat ancaman pidana. Kasus Nenek Minah memberikan pelajaran bahwa hukum tidak hanya bekerja secara normatif atau teori semata, namun bagaimana hukum itu diterapkan dalam kasus di persidangan. Di tahun 2012  kemudian lahir Perma Nomor 2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP terkait Tindak Pidana Ringan. Di mana kerugian yang ditimbulkan kurang dari 2,5 juta. (EES/asp).

Paradigma Restorative Justice dalam Peradilan Pidana Modern

article | Opini | 2025-04-02 08:10:01

Dalam kurun waktu tiga tahun belakangan, restorative justice atau keadilan restoratif adalah istilah yang sangat jamak digunakan pada konteks penegakan hukum pidana. Dari hasil penelusuran Google Trends misalnya, kata kunci “restorative justice” mulai menunjukkan tren peningkatan pada tahun 2012. Salah satu penyebabnya karena UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang terbit pada tahun tersebut. Beleid ini merupakan aturan positif yang pertama kali memperkenalkan istilah “keadilan restoratif”. Prinsip keadilan restoratif terwujud dalam bentuk diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar peradilan pidana. Walaupun kini merupakan terminologi ilmu hukum, akan tetapi embrio awal restorative justice justru ditulis oleh psikolog bernama Albert Eglash. Dalam publikasi tahun 1958 bertajuk Creative Restitution. A Broader Meaning for an Old Term, Eglash mengemukakan upaya restitutif pada proses penghukuman sebagai “bentuk pendekatan mental, membangun kekuatan diri, mengembangkan ego yang sehat”. Kerangka ini dikembangkan lebih lanjut pada tahun 1990 oleh kriminolog asal Amerika Serikat Howard Zehr melalui Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice. Zehr yang kini dikenal luas sebagai the grandfather of restorative justice mengkritik paradigma sistem peradilan retributif (pembalasan) karena hanya cenderung menghukum pelaku tanpa memperhatikan kebutuhan korban. Maka dari itu, restorative justice hadir untuk mengakomodasi kepentingan korban dan mendorong pemulihan keadaan seperti semula.Di Indonesia, restorative justice memang merupakan paradigma penegakan hukum yang relatif baru. Pendekatan ini mulai diperhatikan pada sekitar tahun 2012 pasca kasus pencurian kakao Mbok Minah yang kala itu benar-benar menggegerkan publik. Minah, 55 tahun, dijatuhi pidana penjara selama 1 bulan dan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan karena terbukti mencuri 3 buah kakao. Perkara inilah yang selanjutnya melahirkan memorandum Nota Kesepahaman Mahkumjakpol tahun 2012 mengenai penerapan restorative justice dalam perkara tindak pidana ringan. Di samping itu, Mahkamah Agung juga menerbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Pada ketentuan ini, seluruh nilai denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali lipat agar sesuai dengan inflasi, sedangkan nilai kerugian pada beberapa delik tindak pidana ringan disesuaikan menjadi Rp2,5 juta.Pada tanggal 7 Mei 2024, Mahkamah Agung meluncurkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Dalam aturan tersebut, terdapat beberapa poin penting yang akan mengubah lanskap praktik hukum acara pidana. Pertama, mekanisme restorative justice tidak bisa diterapkan jika tak ada kesepakatan antara terdakwa dan korban, merupakan pengulangan tindak pidana sejenis dalam jangka waktu tiga tahun, serta jika terdapat relasi kuasa. Timpangnya kedudukan antara pelaku dan korban karena relasi kuasa inilah yang kerap luput dari perhatian penegak hukum. Akibatnya, korban terpaksa menyetujui kesepakatan damai disebabkan intimidasi, eksploitasi, atau kesenjangan hierarki status sosial. Hal ini terjadi contohnya dalam penghentian perkara kasus pelecehan pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan alasan korban telah dinikahkan dengan pelaku. Kedua, mekanisme restorative justice di persidangan dimulai setelah penuntut umum membacakan surat dakwaan. Apabila terdakwa membenarkan seluruh perbuatan yang didakwakan dan tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi), maka hakim melanjutkan agenda sidang dengan pemeriksaan saksi korban. Hakim kemudian menanyakan tentang kronologis tindak pidana yang dialami, kerugian yang timbul dan kebutuhan korban, serta adanya perdamaian dengan terdakwa sebelum persidangan, termasuk realisasinya. Pada tahap ini, hakim memiliki peran aktif untuk menggali informasi mengenai dampak tindak pidana, kerugian ekonomi, dan biaya medis korban serta kemampuan terdakwa dalam melaksanakan kesepakatan perdamaian. Dengan menyampaikan permasalahan dan kebutuhan masing-masing, terdakwa dan korban akan terlihat sebagai individu yang lebih manusiawi. Melalui paradigma restorative justice, korban dapat mengerti apa motif dan tujuan seseorang melakukan tindak pidana, sedangkan terdakwa memahami bagaimana dampak perbuatannya akan mempengaruhi kehidupan seseorang.Ketiga, kesepakatan perdamaian antara korban dan terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan berupa pidana bersyarat/pengawasan (voorwaardelijke straf). Demi memastikan terdakwa melaksanakan kesepakatan perdamaian, hakim juga dapat memasukkannya sebagai syarat khusus dalam diktum putusan. Dengan demikian, restorative justice dapat mendorong alternatif pemidanaan selain pidana penjara dan berpotensi mengurangi tingkat overcrowding lapas/rutan yang kini telah menyentuh angka 92%. Hal ini sekaligus membantah kekeliruan umum bahwa tujuan restorative justice pasti bermuara ke penghentian perkara. Padahal, penerapan prinsip keadilan restoratif sama sekali tidak menihilkan pertanggungjawaban pidana.Restorative justice merupakan pendekatan yang berorientasi pada pemulihan keadaan dan kondisi korban dengan melibatkan peran serta pelaku. Pada sistem peradilan pidana modern, restorative justice menuntut peran sentral hakim dalam proses penegakan hukum yang lebih humanis. Melalui Perma Nomor 1 Tahun 2024, tugas hakim kini bukan hanya sekedar menjatuhkan hukuman, akan tetapi juga turut mengupayakan kesepakatan perdamaian. Dengan demikian, proses peradilan dapat memastikan agar hak-hak korban terpenuhi, mendorong partisipasi pelaku, serta membuka alternatif pemidanaan selain penjara.

Perma RJ Tahun 2024: Mencegah Pergeseran Paradigma Sekadar Perdamaian

article | Opini | 2025-03-31 08:10:06

Restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif adalah salah satu konsep pendekatan pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana yang telah dikenal oleh sistem hukum negara-negara dunia maupun di Indonesia. Terminologi Restorative justice berasal dari kata dasar “restore” berarti mengembalikan, memulihkan atau memperbaiki. Lebih lengkap "restorative justice" berasal dari gabungan dua kata yaitu "restorative" (pemulihan) dan "justice" (keadilan). Istilah "restorative" mengacu pada proses atau kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan yang rusak atau terganggu ke kondisi semula atau lebih baik. Dalam konteks keadilan, ini berarti memulihkan kerugian yang diderita oleh korban dan memperbaiki dampak kejahatan terhadap masyarakat dan pelaku. Sedangkan istilah “justice” adalah prinsip moral dan hukum yang memastikan bahwa setiap individu diperlakukan dengan cara yang benar, adil, dan setara. Ini melibatkan pemberian hak yang sesuai dan penanganan yang adil terhadap pelanggaran hukum. Konsep Restorative justice secara garis besar berfokus pada pemulihan kerugian yang dialami oleh korban, rehabilitasi pelaku, dan pemulihan hubungan sosial di masyarakat yang terganggu akibat perilaku tindak pidana. Tahun 2024 lalu, Mahkamah Agung Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif yang mengukuhkan prinsip-prinsip restorative justice ini dalam sistem peradilan Indonesia. Sebelum restorative justice disebutkan secara eksplisit dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, konsep restorative justice telah ditemukan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).Ketentuan pasal 1 angka 6 UU SPPA menyebutkan “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan” dilanjutkan pada Pasal 5 ayat (1) UU SPPA berbunyi” Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif”. bunyi pasal tersebut menjelaskan dalam sistem peradilan pidana anak mengutamakan pendekatan restoratif dalam penanganan kasus anak sebagai pelaku.Selang sewindu setelah konsep pendekatan restorative justice sering didengungkan, institusi-institusi penegak hukum menerbitkan peraturan internal mereka antara lain Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Badilum) Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan beberapa ketentuan lain yang tidak secara langsung mengatur restorative justice tetapi pengaturannya telah menggunakan pendekatan yang lebih restoratif.Empat tahun setelah Badilum menerbitkan pedoman tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Perma Nomor 1 Tahun 2024 tersebut dengan tujuan mendukung kelancaran penyelenggaraan peradilan, mengisi kekosongan dalam hukum dan sebagai letigimasi pengaturan restorative justice. Pasal 1 angka 1 Perma Nomor 1 Tahun 2024 menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait lainnya untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Perma tersebut menjelaskan pada pokoknya restorative justice dapat diterapkan pada tindak pidana ringan, delik aduan, tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara, pelaku anak yang diversinya tidak berhasil, dan tindak pidana lalu lintas berupa kejahatan. Namun, Pasal 6 ayat (2) Perma tersebut juga membatasi kewenangan Majelis Hakim pada perkara yang tidak dapat menerapkan restorative justice, antara lain jika korban atau terdakwa menolak perdamaian, terdapat relasi kuasa, atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu tiga tahun.Mekanisme yang diatur dalam Perma ini singkatnya adalah pada sidang pertama, jika terdakwa membenarkan perbuatan dan tidak ada nota keberatan, proses dilanjutkan dengan mekanisme restorative justice (vide Pasal 7). Majelis hakim memeriksa kehadiran korban dan meminta keterangannya mengenai kronologis tindak pidana, kerugian, dan perdamaian sebelumnya (vide Pasal 8). Jika sudah ada perdamaian, majelis hakim memeriksa kesepakatan tersebut dan menjadikannya pertimbangan dalam putusan (vide Pasal 9).Jika perdamaian belum terjadi atau belum dilaksanakan sepenuhnya, majelis hakim mengupayakan kesepakatan baru yang disanggupi oleh kedua belah pihak. Kesepakatan harus dicapai tanpa kesesatan, paksaan, atau penipuan (vide Pasal 10-13).Dalam kasus delik aduan, kesepakatan antara terdakwa dan korban dapat berupa terdakwa melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan penarikan pengaduan. Jika ditandatangani di hadapan majelis hakim, penuntutan dianggap gugur. Jika belum ada perdamaian, majelis hakim akan menganjurkan terdakwa dan korban untuk mencapai kesepakatan. Jika disetujui, majelis hakim membantu mencapai kesepakatan (vide Pasal 14-15).Majelis hakim dapat memerintahkan penuntut umum memanggil pihak terkait, seperti tokoh agama atau masyarakat, untuk mendukung kesepakatan perdamaian. Mekanisme restorative justice harus dilakukan sebelum tuntutan pidana diajukan, dengan memperhatikan masa penahanan terdakwa dan jangka waktu penyelesaian perkara (vide Pasal 16-17).Implementasi dalam putusan majelis hakim setelah mekanisme mengadili berdasarkan restorative justice telah dilalui sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan kesepakatan perdamaian yang berisi penggantian kerugian, pelaksanaan atau tidak melaksanakan perbuatan tertentu adalah majelis hakim menerapkan dalam putusan menjadi pertimbangan yang meringankan hukuman atau sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan (vide Pasal 18-19). Adapun tanda pengukuhan bahwa restorative justice telah diterapkan yaitu majelis hakim akan mencantumkan ketentuan peraturan Mahkamah Agung ini dalam putusannya (vide Pasal 21).Uraian tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pendekatan restorative justice adalah pendekatan yang lebih komprehensif daripada sekadar perdamaian. Namun, sering kali ditemukan dalam praktik peradilan pidana, baik pada tahapan sejak penyidikan hingga penuntutan di persidangan, ditemukan terjadi pergeseran pemahaman dimana restorative justice menjadi sekadar upaya untuk mencapai perdamaian antara pelaku dan korban. Dalam beberapa kasus, pendekatan restorative justice diinterpretasikan sebagai mediasi sederhana tanpa adanya upaya untuk mengatasi dampak-dampak dari kejahatan yang terjadi. Misalnya, dalam kasus tertentu, pelaku dan korban lebih ditekankan untuk berdamai tanpa menekankan upaya untuk memperbaiki kerugian yang dialami korban atau rehabilitasi bagi pelaku, ketika ada permaafan dari korban. Pencapaian restoratif berupa pemulihan seolah menjadi asesor. Seolah ada atau tidak ada ketentuan pemulihan yang ditetapkan tidak menjadi masalah asalkan perdamaian telah tercapai.Contoh keresahan mengenai pergeseran paradigma mengenai restorative justice antara lain dapat dilihat dalam tulisan Nurul Nur Azizah yang berjudul “Riset Komnas Perempuan: Restorative Justice Harus Berperspektif Korban, Realitasnya Belum” (2023). Ia menyebutkan bahwa restorative justice tidak seharusnya dianggap sebagai upaya untuk mendamaikan korban dan pelaku demi melupakan kasus atau menyelesaikan kasus dengan menikahkan pemerkosa dan korbannya.Dalam tulisan Nurul Nur Azizah tersebut juga menyajikan data dari riset Komnas Perempuan bahwa dari 68 responden, 45 orang merasa belum pulih, sementara 21 lainnya merasa lebih pulih dengan hasil atau kesepakatan yang dicapai. Jumlah korban yang merasa pulih relatif merata di tiga wilayah, tetapi yang merasa belum pulih lebih banyak di wilayah timur (18 orang) dibandingkan dengan wilayah barat (15 orang) dan tengah (12 orang). Data tersebut menunjukkan masih banyak divergensi persepsi akan penerapan restorative justice yang ditunjukkan dari riset hasil yang dirasakan oleh korban-korban.Tercapainya suatu perdamaian bukanlah hal buruk dalam suatu perkara pidana karena sejak dahulu dalam praktik peradilan pidana, perdamaian juga sering disebutkan sebagai keadaan yang meringankan terdakwa.  Akan tetapi, apabila membahas mengenai perkara yang dinyatakan telah menerapkan pendekatan restorative justice hanya ketika perdamaian telah tercapai adalah belum tepat sepenuhnya karena konsep tercapainya perdamaian dibandingkan penerapan restorative justice adalah berbeda. Restorative justice semestinya memiliki mekanisme yang bertujuan untuk mengedepankan bentuk pemulihan kepada korban. Hal itu merupakan kesatuan dari perdamaian, keterlibatan pihak terkait, batasan syarat, batasan waktu pelaksanaan, mekanisme proses berjalan, memperhatikan hak korban dan tanggung jawab Terdakwa, sehingga mencapai pemulihan yang berkeadilan.Restorative justice dalam perspektif Perma Nomor 1 Tahun 2024 memberikan uraian baik teknis maupun administratif dalam Sistem Peradilan Pidana, terkhusus kepada para hakim dalam mengadili perkara pidana dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan restoratif. Artinya, restoratif dianggap telah diterapkan ketika mekanisme telah dilaksanakan sesuai ketentuan tersebut hingga pelaksanaan bentuk pemulihan yang dihadirkan kepada seluruh pihak terkhusus bagi korban. Selanjutnya, pergeseran paradigma keadilan restoratif berupa anggapan restorative justice telah diterapkan bila pencapaian perdamaian telah terlaksana tetapi tanpa menekankan pemulihan masih perlu dikoreksi, karena tidak sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan oleh restorative justice. Di sisi lain beberapa kalangan memandang kehadiran Perma tersebut dirasa membatasi ruang gerak untuk menerapkan restorative justice dalam beberapa perkara karena pengaturan batasan kategori-kategori dan mekanisme yang cukup kompleks. Pada akhirnya, terlepas dari perbedaan pendapat mengenai penerapan restorative justice, kehadiran Perma tersebut dengan segala ketentuan yang terkandung di dalamnya, membantu mempertahankan paradigma mengenai restorative justice agar tetap sesuai dan tidak diartikan sederhana sekadar perdamaian.

Saat PN Sintang Berhasil Terapkan Restorative Justice Kasus Kades vs Warga

article | Berita | 2025-03-24 14:00:01

Sintang- Pengadilan Negeri (PN) Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) berhasil melakukan upaya keadilan restoratif antara Kepala Desa (Kades) Vs warganya. Bagaimana ceritanya?Sebagaimana dirangkum DANDAPALA, Senin (24/3/2025), kasus itu tertuang dalam perkara Nomor 211/Pid.B/2024/PN Stg. Perkara tersebut berawal dari konflik yang terjadi antara Kades dengan warga Desa Penjernang, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Konflik muncul akibat pemberlakuan peraturan desa tentang larangan penjualan minuman keras dan praktik perjudian yang mendapat penolakan oleh sebagian warga desa. Penolakan tersebut membuat Kades Penjernang melakukan tindak pidana perusakan kaca mobil dan pintu rumah milik para warga yang kontra dengan pemberlakuan peraturan tersebut. Para warga tidak terima dengan sikap Terdakwa. Kemudian melaporkan perbuatan perusakan tersebut ke kepolisian hingga akhirnya perkara tersebut dilimpahkan ke PN Sintang. Konflik tersebut juga telah menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat desa. Sebagian mendukung Terdakwa dan sebagian lagi mendukung para korban. Perseteruan ini berlangsung lama dan telah menjadi konflik sosial yang mendapatkan perhatian dan penanganan serius dari Pemkab Sintang. Namun sayangnya sampai dengan perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan persoalan tersebut tidak dapat didamaikan sebab para korban menolak untuk berdamai.Awal mula persidangan, Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 406 ayat (1) KUHP. Maka sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf c Perma 1/2024, majelis hakim menerapkan keadilan restoratif dan kemudian menganjurkan Terdakwa dan Para Korban untuk menempuh jalan damai dan membuat kesepakatan perdamaian.Berdasarkan anjuran dari majelis hakim, Terdakwa dan para korban bersedia untuk membuat kesepakatan perdamaian, kemudian sesuai dengan Pasal 12 dan Pasal 15 Perma 1/2024 tersebut, majelis hakim menggali informasi antara lain berupa:a. dampak tindak pidana terhadap Para Korban;b. kerugian ekonomi dan/atau kerugian lain yang timbul sebagai akibat tindak pidana; danc. kemampuan Terdakwa untuk melaksanakan kesepakatan;Kemudian Terdakwa dan Para Korban sepakat untuk membuat kesepakatan perdamaian sebagai berikut:1. Terdakwa telah memohon maaf kepada Korban Stepanus Lewi dan Korban Stepanus Lewi telah memaafkan kesalahan Terdakwa;2. Terdakwa dan Korban Stepanus Lewi sepakat berdamai dan tidak akan menuntut apabila dalam Pengadilan Negeri Sintang menyatakan Terdakwa lepas dari semua tuntutan;3. Terdakwa bersedia membayar ganti kerugian sejumlah Rp 5 juta kepada Korban Stepanus Lewi;4. Terdakwa dan Korban Matius Bungsu sepakat untuk berdamai;5. Terdakwa telah mengganti kerugian yang dialami Korban Matius Bungsu dan melaksanakan syarat Adat Istiadat (Mali Rumah); dan6. Korban Matius Bungsu berjanji tidak akan menuntut dalam bentuk apa pun kepada Terdakwa di kemudian hari;Berdasarkan kesepakatan perdamaian tersebut dan oleh karena poin-poin dalam kesepakatan perdamaian tersebut telah dilaksanakan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 19 Perma Nomor 1/2024, majelis hakim menggunakan kesepakatan perdamaian tersebut sebagai alasan yang meringankan hukuman bagi Terdakwa dan kemudian menjatuhkan pidana bersyarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (asp)

Pakai RJ, PN Bangkalan Berhasil Damaikan Perkara Penadahan Ringan

article | Berita | 2025-03-21 18:15:10

Bangkalan- Pengadilan Negeri (PN) Bangkalan, Jawa Timur (Jatim) berhasil mendamaikan perkara jual beli handhhone hasil kejahatan, Kamis (20/3). Kasus ini bermula saat Anak Terdakwa I memberikan handphone hasil curiannya tersebut kepada Terdakwa I yang bernama M. Anas, kemudian dijual oleh Terdakwa M. Anas. Hakim menyidangkan perkara tersebut dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif (Restoratif Justice/RJ) sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif. “Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu masing-masing dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan, menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain disebabkan karena Para Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) bulan berakhir” ucap Hakim Tunggal Kadek Dwi Krisna Ananda. Dalam persidangan antara korban dengan Para Terdakwa telah saling memaafkan. “Para Terdakwa mengakui segala perbuatannya, lalu meminta maaf kepada Saksi Rifai dan Saksi Mutmainnah, dan permintaan maaf tersebut dikabulkan oleh para korban,” ungkap Humas PN Bangkalan saat ditemui Tim Dandapala. Korban dalam perkara pencurian tersebut juga meminta Terdakwa M. Anas agar mendidik anaknya lebih baik dan berharap anak Terdakwa M. Anas tidak lagi melakukan pencurian dan semoga kejadian ini pertama dan terakhir bagi bapak dan anak tersebut. Perdamaian di ruang persidangan tersebut ditutup dengan jabat tangan antara Para Terdakwa dan Korban. (EES)

PN Nanga Bulik Terapkan RJ Perkara Pencurian, Ini Alasannya!

article | Berita | 2025-02-21 10:20:10

Lamandau - Pengadilan Negeri (PN) Nanga Bulik terapkan Restoratif Justice (RJ) dalam perkara pencurian. Adanya perdamaian dengan korban, menjadi alasan dijatuhkannya pidana bersyarat kepada Terdakwa Nur Sokhib dan Feris Sofyan.“Menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama sepuluh bulan. Menetapkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama satu tahun berakhir”, ucap Ketua Majelis Denny Budi Kusuma didampingi Hakim Anggota Rendi Abednego Sinaga dan Mohammad Pandi Alam pada persidangan yang terbuka untuk umum pada Kamis (20/02/2025).Perkara yang teregister nomor 2/Pid.B/2025/PN Ngb., tersebut bermula dari kedua terdakwa ditangkap massa saat hendak membawa lari motor korban. Meski berhasil diamankan, motor korban mengalami kerusakan karena terjatuh.“… perbuatan Para Terdakwa memenuhi unsur pasal sehingga harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.” kata Ketua Majelis dalam sidang di gedung PN Nanga Bulik, Kabupaten Lamandau. Sedangkan Para Terdakwa mengikuti persidangan secara daring dari Rutan Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat.Penerapan RJ sendiri sebagaimana PERMA Nomor 1 Tahun 2024. “Menyelaraskan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku,” dikutip dari putusan yang dijadikan dasar Majelis Hakim mendorong komunikasi konstruktif hingga tercapai perdamaian.Lebih lanjut, dilansir dari pertimbangan putusan, fakta mengenai nilai kerugian tidak lebih dari 2,5 juta rupiah sebagaimana Pasal 6 Perma 1/2024) dan kedua terdakwa telah membenarkan dakwaan menjadi alasan kuat dijalankan RJ dalam perkara tersebut.“Para Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dengan mengganti kerugian yang dialami korban dan telah saling memaafkan,” ujar Majelis Hakim. “Dalam RJ, pidana penjara merupakan upaya terakhir, terjadinya perdamaian menghindarkan penerapan perampasan kemerdekaan terhadap kedua terdakwa,” tegas Majelis Hakim.“Kami menerima Yang Mulia,” jawab kedua terdakwa. Sedangkan JPU menyatakan pikir-pikir.